Mengenai Saya

Foto saya
Way Kanan, Lampung, Indonesia
Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu

Kamis, 17 Februari 2011

PARATE EKSEKUSI vs EKSEKUSI GROSSE AKTA
Dalam Lembaga jaminan Hak Tanggungan

D.Y. Witanto, SH


A.     PENDAHULUAN
Dalam perjanjian kredit sering pihak kreditur berada dalam posisi yang tidak diuntungkan ketika lawan janjinya (debitur) lalai dalam melaksanakan prestasinya (wanprestasi) padahal utangnya telah melewati batas jatuh tempo pembayaran, hal ini disebabkan karena proses untuk mengambil pelunasan melalui penjualan objek jaminan tidak semudah seperti yang kita bayangkan, apalagi jika debitur atau si pemilik jaminan tidak beritikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya, maka akan selalu ada cara untuk dapat menghambat proses pelunasan dengan objek jaminan, baik dengan upaya-upaya yang disediakan menurut prosedur hukum acara perdata,[2] maupun dengan cara-cara lain yang pada akhirnya dimaksudkan agar si kreditur gagal atau tidak berhasil mendapatkan pelunasan dengan objek jaminan miliknya.
Pada asasnya tidak ada kredit yang tidak mengandung jaminan,[3] karena undang-undang telah menentukan bahwa setiap kebendaan milik debitur baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan atas utang-utangnya (ex: Pasal 1131 KUH Perdata), namun meskipun undang-undang telah menentukan demikian bukan berarti bahwa setiap proses pelunasan dengan objek jaminan akan berjalan dengan lancar dan mudah, karena kenyataanya pihak kreditur yang menghadapi persoalan kredit macet (wanprestasi) selalu harus dihadapkan dengan segala macam problem dan masalah dalam upaya mengambil pelunasan piutangnya.
Kreditur pemegang hak kebendaan yang diberikan oleh jaminan hipotik, gadai, hak tanggungan dan fidusia adalah jaminan yang bersifat perbendaan (zakelijk zakerheidsrechten).[4] Para pemegang jaminan kebendaan akan selalu didahulukan dari kreditur-kreditur kongkuren untuk dapat mengambil pelunasan dari objek jaminan milik debitur.  Hak-hak istimewa itu antara lain: hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) dan hak untuk melakukan eksekusi secara grosse dengan menggunakan titel eksekutorial ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang tercantum dalam jaminan-jaminan kebendaan melalui fiat ketua pengadilan negeri berdasarkan Pasal 244 HIR/258 Rbg.
Hak jaminan kebendaan berisi hak untuk pelunasan utang (vehaalsrecht) dan tidak mengandung hak untuk memiliki bendanya (verval beding), kreditur pemegang jaminan diberikan hak oleh undang-undang maupun hak untuk memperjanjikan kuasa untuk menjual sendiri objek jaminan tersebut ketika dikemudian hari debitur wanprestasi.[5] Berdasarkan ketentuan undang-undang, kreditur pemegang jaminan kebendaan, dapat memilih beberapa alternatif pelunanasan piutangnya melalui beberapa cara antara lain:
1.      Dengan cara melakukan penjualan objek jaminan atas kekuasaanya sendiri atau yang kemudian disebut parate eksekusi bagi pemegang jaminan pertama;
2.      Dengan menggunakan titel eksekutorial melalui fiat ketua pengadilan negeri dengan menggunakan ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg tentang eksekusi grosse akta;
3.      Dengan cara penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak untuk mendapatkan harga penjualan yang lebih tinggi;
Beberapa alternatif diatas dapat menjadi pilihan bagi pemegang jaminan kebendaan untuk melunasi hak-hak piutangnya, sejumlah utang pokok dan bunga. Kemudahan yang ditawarkan undang-undang dalam kenyatannya tidak selalu mudah untuk ditempuh, terlebih didalam praktiknya proses pelaksanaan parate eksekusi telah mengalami pergeseran makna, karena dewasa ini penjualan objek jaminan dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi) tidak dapat lagi dipergunakan oleh para kreditur pertama dalam Jaminan Hak Tanggungan dengan alasan bahwa setiap penjualan umum (lelang) terhadap objek jaminan harus melalui fiat ketua pengadilan.[6] Secara logika, jika parate eksekusi masih harus melalui fiat dari ketua pengadilan, maka dimana lagi letak parat-nya sebagai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri? Bukankah parate eksekusi pada prinsipnya merupakan suatu pelaksanaan eksekusi yang disederhanakan tanpa melibatkan pengadilan? Jika dalam parate eksekusi masih harus adanya perintah berdasarkan penetapan ketua pengadilan, maka penjualan tersebut bukan lagi ”atas kekuasaan sendiri” melainkan ”atas kekuasaan pengadilan” sehingga tidak lagi ada bedanya dengan eksekusi grosse akta dan eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT).
Kesemberawutan diatas dilatarbelakangi oleh adanya kekeliruan para pembentuk undang-undang dan lembaga peradilan dalam memahami dua lembaga eksekusi yaitu antara parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta. Pendirian lembaga peradilan (Yurisprudensi) yang kemudian ditindak lanjuti oleh keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan Hak Tanggungan yang telah mencampuradukan antara pengertian parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, hal ini menimbulkan kebingungan pada banyak kalangan terutama para pemegang jaminan (kreditur) yang sebelumnya telah memperjanjikan hak untuk melakukan penjualan objek jaminan atas kekuasaannya sendiri, apalagi dengan dengan adanya pertimbangan Putusan MA-RI Nomor: 3201 K/Pdt/1984 yang menyatakan bahwa penjualan objek jaminan tanpa melalui pengadilan merupakan ”perbuatan melawan hukum”, hal tersebut telah menimbulkan ketakutan bagi para pelaksana lelang untuk menerima permohonan pelelalangan berdasarkan titel parate eksekusi dari para pemegang jaminan pertama. 

B.     PENGATURAN PARATE EKSEKUSI MENURUT UNDANG-UNDANG
Parate eksekusi atau hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri dapat kita temukan dalam beberapa lembaga jaminan kebendaan antara lain:
·          Gadai;
·          Hipotik (yang saat ini hanya berlaku atas benda berg)
·          Hak tanggunganrak selain tanah)
·          Fidusia
Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata mengatur tentang hak parate eksekusi pada lembaga gadai:
”apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka siberpiutang adalah berhak, jika siberutang atau si pemberi gadai bercidera janji setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika telah tidak ditentukan suatu tenggang waktu setelah dilakukannya suatu peringatan, untuk membayar, menyuruh menjual barangnya gadai di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut”
Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata mengatur tentang hak parate eksekusi untuk lembaga hipotik:
”namun diperkenankanlah kepada siberpiutang hipotik pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutang tidak bayar ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan dimuka umum untuk mengambil pelunasan uang pokok maupun bunga serta biaya dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebut dibukukan dalam register-register umum sedangkan penjualan lelang harus dilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam Pasal 1211”
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Jaminan Hak Tanggungan menyebutkan:
”Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”
Pasal 15 Ayat (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia menyebutkan:
”Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”
Kalau kita perhatikan Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata diatas, maka sebenarnya pembentuk undang-undang telah menentukan bahwa setiap pemegang jaminan gadai demi hukum selalu akan memiliki kewenangan parate eksekusi, kecuali jika sejak awal para pihak telah memperjanjikan lain. Artinya sekalipun tidak diperjanjikan, maka dianggap hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri itu selalu turut diperjanjikan. Hal ini dapat kita fahami mengingat pada jaminan gadai objek jaminannya dikuasai oleh si kreditur, sehingga dengan adanya peralihan penguasaan itu (atas objek benda bergerak) sepatutnya si pemegang jaminan memiliki hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri ketika si debitur wanprestasi.
Berbeda dengan prinsip yang diberikan undang-undang terhadap lembaga hipotik undang-undang mensyaratkan agar hak untuk dapat melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri itu dinyatakan secara tegas dalam perjanjiannya. Prinsip ini di ikuti oleh Jaminan Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996. Sedangkan jaminan fidusia memiliki karakteristik yang sama dengan jaminan gadai dimana para pihak tidak perlu memperjanjikan akan ada hak parate eksekusi undang-undang telah secara otomatis memberikan hak tersebut kepada si kreditur.
C.     KONFLIK PENALARAN MENGENAI KLAUSULA ”MENJUAL ATAS KEKUASAAN SENDIRI
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), kita dapat menemukan klausula ”hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri” atau ”beding van eigenmactig verkoop” adalah dari kalimat  ”... maka ia akan diberi kuasa secara mutlak untuk menjual persil yang terikat itu dimuka umum...” dalam Pasal 1178 ayat (2)  KUH Perdata yang mengatur tentang lembaga jaminan hipotik. Ketentuan tersebut diberikan oleh undang-undang kepada pemegang hipotik pertama dalam bentuk sarana/cara pelunasan yang selalu siap ditangan pada waktu ia membutuhkannya, sehingga orang menyebutnya sebagai eksekusi yang selalu siap di tangan atau parate eksekusi.[7] Ketentuan yang maknanya sejenis dengan Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata diatas dapat kita temukan juga dalam Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata yang mengatur tentang jaminan gadai, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Ketentuan hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri dalam jaminan hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, mengalami miss understanding dari pembuat undang-undang karena telah memberikan pengertian yang tidak konsisten dan saling bersinggungan dengan apa yang dimaksud dalam Pasal 224 HIR/258 Rbg tentang eksekusi grosse akta. Hal itu dapat kita lihat pada ketentuan penjelasan atas Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 tahun 1996 pada bagian umum sub 9 dimana terdapat pernyataan yang berbunyi sebagai berikut: ...”dipandang perlu untuk memasukan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini yaitu yang mengatur tentang lembaga parate eksekusi sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 224 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui dan Pasal 258 Reglemen Acara Perdata untuk Daerah Luar jawa dan Madura”. Jika kita telaah penjelasan undang-undang diatas menggambarkan bahwa pembentuk undang-undang tidak memahami perbedaan antara parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, sehingga pembentuk undang-undang menganggap bahwa parate eksekusi tunduk pada ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg padahal parate eksekusi sama sekali tidak berhubungan dengan Pasal 224HIR/258 Rbg. Berbeda dengan apa yang disebutkan dalam penjelasan sub 9 tersebut justru dalam ketentuan Pasal 20 Ayat (1) Bab V dua lembaga eksekusi tersebut dipisahkan secara tegas. Jadi disinilah letak inkonsistensinya karena antara ketentuan dalam batang tubuh Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 dengan ketentuan penjelasannya telah saling bertentangan.
Jauh sebelum adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 memang telah terjadi pencampuradukan pengertian antara lembaga parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, yaitu dengan munculnya Putusan MA-RI Nomor: 3201 K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1986 terhadap sengketa tentang pelaksanaan parate eksekusi yang dilakukan oleh kreditur pemegang hipotik, dalam putusannya MA-RI memberikan perimbangan bahwa penjualan lelang (parete eksekusi) tersebut sebagai perbuatan melawan hukum,[8] sehingga Sutardjo dalam makalahnya yang berjudul ”Penyelesaian Kredit macet Melalui Lelang” pernah menyebutkan bahwa: ketentuan Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata telah dilumpuhkan oleh Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3201/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986.[9]
Riwayat pendirian pengadilan menyangkut penjualan lelang melalui hak parate eksekusi berawal dari masuknya gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung yang mana atas gugatan tersebut PN Bandung menjatuhkan putusan tertanggal 20 Mei 1980 No. 425/1979/G/Bdg yang amar putusannya antara lain:
menyatakan bahwa tindakan perbuatan Tergugat I dan II dengan perantaraan Tergugat III melelang umum tanah dan bangunan setempat terkenal dengan nama ”shoping center kandaga” pada hari Senin Tanggal 10 Desember 1979, tanpa melalui Ketua Pengadilan Negeri Klas I Bandung adalah merupakan perbuatan yang melawan hukum.[10]
Pada tingkat banding atas permohonan Tergugat telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dengan putusannya tanggal 17 November 1981 No. 76/1981/Perd/Pt.B yang amar putusannya dalam pokok perkara antara lain:
Menyatakan bahwa pembelian lelang yang dilaksanakan Terbanding, semula Tergugat IV dalam konvensi, Penggugat IV dalam rekonvensi untuk sebagian dengan perantaraan Kantor Lelang Negara Bandung atas persil serta bangunan pertokoan sebagaimana terurai dalam risalah lelang tanggal 10 Desember 1979 No. 184 adalah sah menurut hukum.[11]
Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung memberikan pertimbangan pada intinya sebagai berikut:
a.       bahwa berdasarkan Pasal 224 HIR pelaksanaan pelelangan sebagai akibat adanya Groose Akta Hipotik dengan memakai kepala ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan hukum sama dengan suatu putusan pengadilan, seharusnya dilaksanakan atas perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri apabilan ternyata tidak terdapat perdamaian pelaksana
b.      bahwa ternyata di dalam perkara ini, pelaksanaan pelelangan tidak atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Bandung, tetapi dilaksanakan sendiri oleh Kepala kantor Lelang Negara Bandung atas perintah Tergugat asal I (Bank Kreditur), oleh karenanya, maka lelang tersebut adalah bertentangan dengan Pasal 224 HIR sehingga pelelangan tersebut adalah tidak sah.
c.       Bahwa dengan demikian, maka para Tergugat asal (Bank Kreditur-Kantor Lelang Negara dan pembeli lelang) telah melakukan perbuatan melawan hukum.[12]
Kesesatan dalam memahami pengertian parate eksekusi pernah disampaikan juga oleh Budi Harsono dalam sebuah seminar dengan menyatakan bahwa ”bagi kreditor pemegang hipotik atas tanah, hukum menyediakan 2 (dua) kemudahan dalam melaksanakan eksekusi jika debitur cidera janji. Tanpa harus melalui pengajuan gugatan perdata biasa menurut Pasal 224 HIR kreditor dapat minta kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk diadakan apa yang disebt parate eksekusi”.[13] Memang benar bahwa jaminan hipotik/hak tanggungan memiliki dua lembaga eksekusi yaitu eksekusi grosse akte dan parate eksekusi berdasarkan hak yang telah diperjanjiakan antara kreditur dan debitur bahwa kreditur diberikan hak untuk menjual objek jaminan dalam kekuasaanya sendiri. Namun walaupun kedua lembaga tersebut melekat pada satu kreditur karena kebetulan sebagai pemegang hipotik/hak tanggungan pertama, secara substansial dua lembaga tersebut jelas sangat berbeda karena hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) tidak tunduk pada Pasal 224 HIR/258 Rbg.
Beberapa kesimpangsiuran ini bukan hanya membuat para pemegang jaminan hak tanggungan menjadi kebingungan, namun juga telah membuat para petugas pelaksana lelang menjadi ragu untuk melaksanakan penjualan umum atas objek jaminan yang tidak melalui fiat ketua pengadilan negeri dan akibatnya para petugas kantor lelang selalu menolak pengajuan penjualan umum yang dimintakan tanpa adanya penetapan dari ketua pengadilan,[14] dengan alasan khawatir jika dikemudian hari penjualan lelangnya dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, hal ini jelas akan mempersulit kreditur pemegang jaminan pertama untuk melakukan pelunasannya secara secerhana dan mudah.
D.    PARATE EKSEKUSI DAN TITEL EKSEKUTORIAL
Titel eksekutorial yang berbunyi ”DEMI KETUHANAN YANG MAHA ESA” memang merupakan simbol bahwa suatu dokumen atau naskah memiliki kekuatan eksekusi (pelaksanaan secara paksa) dengan bantuan alat negara. Dokumen atau naskah tersebut bisa dalam bentuk putusan pengadilan, grosse akta hipotik, sertifikat hak tanggungan, sertifikat fidusia, surat paksa yang dikeluarkan oleh PUPN maupun grosse akta pengakuan utang. Atas adanya titel eksekutorial tersebut si pemegangnya dapat mengajukan permohonan pelaksanaan secara paksa kepada pengadilan dan pengadilan akan melaksanakannya melalui prosedur eksekusi.
Ada anggapan bahwa parate eksekusi dijalankan berdasarkan titel eksekutorial yang tercantum dalam grosse akta hipotik atau sertifikat hak tanggungan/fidusia,[15] padahal kekuatan untuk melaksanakan parate eksekusi bukan didasarkan atas suatu titel eksekutorial melainkan didasarkan atas kuasa mutlak yang diberikan oleh si pemberi jaminan (debitur) kepada si pemegang jaminan (kreditur) dalam bentuk mandat.[16] Sebagai bukti sederhana adalah pada jaminan gadai, meskipun pada jaminan gadai tanpa adanya titel eksekutorial namun pemegang jaminan tetap dapat melakukan parate eksekusi jika batas waktu penebusan telah terlewati, sehingga ada atau tidaknya titel eksekutorial sama sekali tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya kewenangan kreditur pemegang jaminan pertama untuk melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri.
Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan maupun Undang-Undang Fidusia pada bab yang mengatur tentang eksekusi telah dirumuskan secara terpisah antara eksekusi dengan menggunakan titel eksekutorial dengan parate eksekusi berdasarkan hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri. Jadi sebenarnya aturan hukum yang ada sudah cukup jelas walaupun disatu sisi dan lainnya terdapat kesimpangsiuran pengertian antara parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, sehingga keragu-raguan selama ini karena adanya pendapat bahwa pelaksanaan penjualan umum objek jaminan tanpa fiat ketua pengadilan adalah suatu perbuatan melawan hukum sudah mulai dijawab dengan keluarnya beberapa Surat Edaran Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) No. SE-21/PN/1998 jo SE-23/PN/2000/ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, maka lembaga parate eksekusi seharusnya dapat dihidupkan kembali untuk membantu para kreditor dalam mengatasi masalah kredit macet di dunia perbankan.

DAFTAR PUSTAKA
J. Satrio, Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, cet ke-5 Intermasa, Jakarta, 1986.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda cet ke-4, Liberty, Yogyakarta, 1981.
Yahya Harahap, Kedudukan Grosse Akte Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Media Notariat no: 8-9 tahun III Oktober 1988.
J Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan Buku I, Citra Aditya Bakti Bandung, 1997, hal: 224, lihat juga J. Satrio Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bandung, 1993.
H.P. Panggabean, Himpunan Keputusan MA-RI mengenai Perjanjian Kredit Perbankan jilid I.
Sutardjo, Penyelesaian Kredit Macet Melalui Lelang, Makalah Dalam Panel Diskusi UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Tantangan dan Pelaksanaannya
Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Objek Hak Tanggungan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2007.


Sumber: Varia Peradilan Bulan September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar