Mengenai Saya

Foto saya
Way Kanan, Lampung, Indonesia
Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu

Kamis, 17 Februari 2011

METODA PENYELESAIAN KONFLIK
DALAM DIMENSI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PESISIR PANTAI SABANG[1]
(Perspektif Dalam Sudut Pandang Sosio-Cultural)
 D.Y. WITANTO, SH [2]



A.     PENDAHULUAN
Sabang terletak di sebuah pulau kecil diantara persimpangan Selat Malaka yang berjarak dua setengah jam dari kutaraja,[3] pulau itu bernama ”Pulau Weh” yang konon menurut hikayat sejarah pernah menjadi tempat pembuangan dan pengasingan para penjahat kelas kakap di jaman Kerajaan Aceh dan pernah menjadi pusat rehabilitasi penyakit jiwa di jaman kolonial Belanda.[4] Secara geografis wilayah Pulau Weh dikelilingi oleh laut dengan struktur garis pantai yang berliku-liku, sehingga pada beberapa tempat terlihat perairan yang menjorok ke darat membentuk sebuah kuala (lhok)[5].
Penduduk Sabang berdasarkan jenis mata pencahariannya termasuk ke dalam golongan penduduk yang heterogen, namun khusus pada wilayah pesisir pantai mulai dari ujong bau[6] sampai dengan ujong sekei[7] menunjukan klasifikasi jenis penduduk yang homogen, yaitu: sebagai nelayan tradisional dan pelaku bisnis-bisnis perikanan. Pola homogenitas dari jenis mata pencaharian tersebut dipengaruhi oleh struktur alam di Pulau Weh yang pada umumnya terdiri dari pantai dan bukit-bukit karang, sehingga tidak begitu cocok untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.
Dalam komunitas masyarakat pesisir terdapat sebuah kearifan lokal (local wisdom) yang menjadi bagian dari identitas budaya (cultural identity) dalam melakukan pola-pola interaksi, baik secara individual maupun komunal, kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam aktifitas kehidupan masyarakat pesisir itu biasa disebut ”Hukom Adat Laot[8] yaitu suatu ketentuan adat tentang segala persoalan kelautan dan bisnis perikanan tradisional. Lembaga Hukom Adat Laot dipimpin dan diketuai oleh seorang pemangku adat yang bernama ”panglima laut”.
Panglima laut adalah seorang pemimpin adat yang dipilih dari seorang pawang laut yang berpengalaman dan menguasai seluk beluk tentang hukum adat yang berlaku di wilayah setempat. Eksistensi panglima laut sebenarnya telah diakui sejak jaman Kesultanan Aceh, bahkan pada masa itu panglima laut merupakan jabatan formal dalam sebuah pemerintahan. Menurut Hoesein Djajadiningrat Panglima Laot adalah “Hoofd eener baai ie hoofd van een gilde van poekat bazen (pawang met toesteming van den oeleebalang ook Panglima Laot genoemd)”[9] yang artinya pemimpin atau ketua dalam sebuah lhok atau kuala yang mengetuai sebuah pukat ikan yang dipilih dari pawang pukat dengan persetujuan pemerintahan pada saat itu.
Hukum adat laut memiliki karakteristik yang mengagumkan karena mengandung nilai-nilai kearifan yang mampu memelihara ketentraman, kerukunan, keseimbangan dan kedamaian hidup.[10] Hukum adat laut mengandung nilai-nilai religius berdasarkan Syariat Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat pesisir. Dalam kaitannya dengan local wisdom, maka keberadaan hukum adat laut sangat berperan dalam membentuk prilaku dan kebiasaan para nelayan ketika melakukan aktifitas kelautan dan proses penyelesaian konflik yang terjadi dilingkungan komunitas adat.
Dalam hal yang berhubungan dengan pemanfaatan laut, konflik kepentingan diantara para nelayan tidak bisa dihindari, terlebih Sabang memiliki 10 (depuluh) wilayah hukum adat laut yang masing-masing memiliki aturan adat yang berbeda-beda, hal itu diakibatkan oleh perbedaan letak geografis dan struktur garis pantai di masing-masing lhok. Dalam hal terjadi konflik dalam komunitas adat, metode penyelesaian yang digunakan oleh para pemangku adat sangat menarik karena menggunakan pendekatan sosio kultural dan kearifan-kearifan para pemangku adat.
Hasil keputusan adat cukup efektif karena hampir semua konflik yang terjadi selalu dapat diselesaikan secara tuntas. Sosok panglima laut begitu berpengaruh dalam menentukan keputusan adat, namun dia tidak menjelma sebagai seorang pemimpin yang otoriter karena setiap keputusan adat yang diambil selalu merupakan hasil musyawarah dengan tokoh-tokoh adat nelayan. Terdapat beberapa indikator kenapa sosok panglima laut sangat dihormati dikalangan para nelayan, salah satu indikator itu adalah karena panglima laut dipilih oleh para nelayan berdasarkan seleksi moral yang sangat panjang, sehingga seorang panglima laut benar-benar adalah orang yang terpilih diantara sekian banyak pawang-pawang laut diwilayah itu.

B.   BENTUK-BENTUK KONFLIK, SANKSI DAN ATURAN ADAT YANG BERLAKU DALAM HUKUM ADAT LAUT
Konflik merupakan konsekwensi dari sebuah interaksi, dalam komunitas adat nelayan di Sabang konflik dibagi menjadi 3 katagori yang antara lain: pelanggaran, sengketa, dan perselisihan ketiga jenis konflik tersebut dibedakan berdasarkan ruang lingkup persoalannya, berdasarkan hasil korespondensi dari para stake holder, maka ketiga katagori konflik tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut:
-        Pelanggaran adalah suatu bentuk tindakan yang telah menyalahi ketentuan yang dilarang atau mengabaikan sesuatu yang diwajibkan oleh hukum adat laut.
-        Sengketa adalah persoalan tentang hak-hak keperdataan adat antara seorang nelayan  dengan nelayan lainnya dalam hal pemanfaatan laut dan bisnis perikanan.
-        Perselisihan adalah persoalan-persoalan lain yang bersifat pertengkaran, pertikaian, perkelahian atau bentuk-bentuk lain yang menimbulkan keresahan dilingkungan para nelayan.
Konflik yang terjadi di kalangan nelayan dapat dipicu oleh banyak hal misalnya ketika melaut mereka sama-sama memperebutkan sekawanan ikan pada saat sedang berpayung[11] atau karena adanya pembagian hareukat[12] yang tidak adil antara pawang,[13] toke bangku[14] dan toke perahu.[15] hal itu sudah menjadi kelaziman dalam situasi keseharian para nelayan, konflik itu terkadang sampai menimbulkan perkelahian dan pertumpahan darah bahkan ada yang melebar menjadi konflik antar kelompok. Selain konflik yang terjadi karena adanya pertentangan kepentingan diantara dua pihak, konflik juga bisa terjadi karena adanya aturan adat yang terlanggar oleh salah seorang anggota nelayan, terhadap pelanggaran tersebut lembaga adat akan memberikan sanksi terhadap si pelanggar berdasarkan jenis dan sifat pelanggarannya.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat sekurang-kurangnya 5 bentuk pantangan adat yang berlaku antara lain:
1.      Pantang melaut pada malam jumat;
2.      Pantang melaut pada hari khandur;,
3.      Pantang penggunaan jenis alat tangkap tertentu seperti pukat harimau, zat kimia dan bahan peledak;
4.      Pantang melaut pada hari musibah laut;
5.      Pantang melaut pada hari-hari besar nelayan.
Selain aturan yang bersifat larangan (pantangan), hukum adat laut juga memiliki aturan yang bersifat keharusan yang biasa dikenal dengan ”adat sosial laut” antara lain berbentuk:
1.      Kewajiban untuk memberikan pertolongan pada nelayan yang sedang mendapat musibah di laut;
2.      Kewajiban untuk melakukan pencarian terhadap nelayan yang hilang/hanyut di laut selama 3 hari penuh
3.      Kewajiban untuk melakukan gotong royong yang diwajibkan oleh lembaga adat
Terhadap bentuk-bentuk pelanggaran diatas lembaga hukum adat laut memiliki beberapa jenis sanksi yang dapat diterapkan terhadap para pelanggar antara lain:
1.      Peringatan/teguran
2.      Kewajiban melaksanakan khanduri
3.      Pelarangan perahu untuk melaut dalam jangka waktu tertentu,
4.      Penarikan hasil tangkapan,
5.      Denda
6.      Perampasan alat tangkap yang membahayakan.
Keistimewaan dari hukum adat bukanlah pada jenis dan bentuk sanksi, namun pada pengaruh terhadap pola prilaku masyarakat, efek psycologis dari sanksi adat jauh lebih besar dibandingkan dengan sanksi dalam hukum formal, sehingga ada dua kecenderungan untuk mengartikan sanksi tersebut dalam hukum adat sebagai suatu rangsangan untuk berbuat atau tidak berbuat.[16]

C. METODE PENYELESAIAN KONFLIK DALAM KOMUNITAS ADAT MASYARAKAT PESISIR
Hukum adat laut yang berlaku di Sabang pada prinsipnya merupakan bentuk perpaduan antara hukum agama (Syariat Islam) dan adat istiadat murni (budaya dan animisme) namun dalam implementasinya Hukum Islam lebih mendominasi dan terus mendesak keberadaan unsur animisme dalam setiap prilaku dan prosesi adat, hal ini disebabkan karena 94,56%[17] penduduk di Sabang adalah pemeluk Agama Islam yang termasuk dalam katagori pemeluk agama yang fanatik. Hukum adat di Sabang dan juga di Aceh pada umumnya merupakan refleksi dari hukum agama,[18] kondisi ini sering digambarkan sebagai bukti dari teory receptio in complexu yang berlaku di Aceh.[19] Proses Islamisasi pada kehidupan adat dapat tercermin dalam beberapa ritual adat seperti ”peusijuk[20] dan ”khanduri[21] dimana tata cara pelaksanaannya telah banyak mengalami persesuaian-persesuaian dengan ajaran Islam, seperti doa dan bahasa pengantarnya telah menggunakan bacaan-bacaan dari ayat-ayat suci Al Qur’an.
Proses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh lembaga hukom adat laot diselenggarakan di sebuah tempat yang biasa dinamakan ”bale pasi[22] yaitu suatu tempat yang berbentuk bangunan panggung tanpa dinding pembatas ruangan. Penyelesaian konflik dilakukan secara ”duek pakat[23] atau musyawarah dengan prosesi yang hampir mirip dengan persidangan pada proses litigasi.[24] Panglima laut selain akan mengundang para pihak yang terlibat konflik juga akan mengundang seluruh pawang-pawang, nelayan dan tokoh-tokoh adat untuk berkumpul guna menyelesaikan permasalahan yang terjadi, jika permasalahan itu dianggap cukup besar, maka akan diundang juga seorang Imeum Meunasah[25] yang biasanya adalah seorang ulama di wilayah setempat.
Waktu penyelesaian sengketa selalu dipilih pada hari Jum’at yaitu mulai dari pagi hari sampai dengan sesaat sebelum Shalat Jum’at, alasan pemilihan hari Jumat sebagai waktu penyelesaian konflik adalah karena dianggap bahwa hari Jumat merupakan hari yang sakral bagi umat Islam. Dalam setiap proses penyelesaian konflik terdapat sebuah semangat bahwa sebelum Adzan Shalat Jumat berbunyi semua permasalahan yang dimusyawarahkan harus sudah selesai, sehingga penyelesaian konflik akan diakhiri dengan Shalat Jumat dan makan-makan bersama.
Walaupun prosedur penyelesaian konflik dalam lembaga adat masih sangat konservatif dan tradisional,[26] namun dalam proses penyelenggaraannya menunjukan beberapa prinsip yang dapat dipandang sangat efektif. Beberapa prinsip tersebut antara lain:
-        Proses penyelesaian dengan menggunakan pendekatan musyawarah mufakat
-        Pengaruh dan kewibawaan para pemangku adat berperan sangat besar dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi;
-        Keputusan adat bersifat final dan hampir selalu tidak ada pengingkaran dari pihak-pihak yang terlibat konflik
-        Penjatuhan sanksi disesuaikan dengan kemampuan si pelanggar sehingga tidak menyengsarakan anak istri dan keluarga si pelanggar.
-        Pelaksanaan keputusan adat dilakukan secara sularela
-        Sengketa dan pertikaian berakhir dengan terjalinnya ikatan persaudaraan dan kekerabatan baru diantara yang bertikai misalnya: antara mereka yang bertikai akan ditetapkan secara adat sebagai saudara angkat.
Sanksi adat yang telah dijatuhkan akan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi si pelanggar, sehingga si pelanggar akan berusaha untuk melaksanakan atau menjalani sanksi itu secara sukarela tanpa harus dipaksa oleh perangkat-perangkat adat. Jika dia tidak melaksanakan sanksi yang telah ditetapkan oleh lembaga adat, maka dia akan ditetapkan sebagai orang yang berkhianat terhadap adat, dan itu akan menimbulkan aib seumur hidup bagi si pelanggar. Perasaan malu dan tanggung jawab yang ditunjukan oleh masyarakat adat dalam melaksanakan sanksi secara sukarela merupakan bentuk kearifan yang sangat berharga, sehingga perlu dikembangakan dan ditularkan kedalam aspek-aspek sosial yang lain secara lebih luas dalam kehidupan masyarakat modern.
Panglima Laut memiliki peranan yang dominan dalam mengarahkan proses penyelesaian konflik, terkadang dia bertindak layaknya seorang mediator, kadang seperti seorang moderator bahkan sesekali dia menunjukan sikap layaknya seorang Hakim ketika harus menjatuhkan keputusan kepada pihak-pihak yang telah melanggar aturan adat yang berlaku.
Dalam konflik yang terjadi antar beberapa wilayah hukum adat, para pemangku adat pada masing-masing wilayah akan bernegosiasi untuk mengambil jalan penyelesaian yang terbaik. Pada setiap akhir penyelesaian akan ditandai dengan penyelenggaraan khanduri, jika konflik itu bersifat besar dan melibatkan masyarakat banyak, maka akan diadakan khanduri kampung (khanduri besar) dengan penyembelihan beberapa ekor lembu dan para nelayan dari dua kelompok yang bertikai akan berbaur bergotong royong dalam penyelenggaraan acara khanduri tersebut. Pada saat pelaksanaan khanduri pasca konflik suasana kerukunan akan terlihat begitu harmonis bahkan tidak terlihat lagi adanya tanda-tanda bahwa mereka pernah bertikai karena semua terlibat dalam suasana meriah prosesi khanduri, inilah yang kemudian menjadi adagium yang berkembang di kalangan masyarakat adat pesisir pantai Sabang bahwa: ”setiap konflik yang terjadi selalu diakhiri dengan makan bersama”.

D.    TITIK SINGGUNG PENEGAKAN HUKUM ANTARA LEMBAGA ADAT DAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM FORMAL
Suatu tindakan yang dipandang sebagai pelanggaran aturan adat terkadang juga termasuk dalam ruang lingkup pelanggaran hukum pidana, misalnya: tindakan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak atau terjadinya perkelahian antar nelayan. Dalam kaitannya dengan persoalan koneksitas pada peristiwa yang dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap dua aturan hukum yang berlaku dalam dua kompetensi yang berbeda, maka antara lembaga adat dan lembaga penegak hukum formal akan melakukan koordinasi tentang proses penegakan hukum yang paling efektif.
Diantara para pemangku adat dan lembaga penegak hukum formal telah terjadi kesepakatan secara tidak tertulis tentang proses penyelesaian persoalan-persoalan yang mencakup dua lingkup kewenangan lembaga hukum tersebut. Kesepakatan itu diletarbelakangi oleh alasan bahwa hukum adat laut masih hidup dan berlaku efektif di lingkungan masyarakat pesisir sehingga lembaga hukum formal tidak punya alasan untuk mengesampingkan eksistensi lembaga adat dalam menyelesaikan persoalan dalam ruang lingkup hukum adat yang berlaku. Selain itu, penyelesaian konflik secara adat dipandang dapat memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan dengan penyelesaian secara hukum positif, sehingga tujuan dari penegakan hukum formal untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat pada hakekatnya telah tercapai dengan sendirinya.
Ada kecenderungan secara implementatif bahwa bagi konflik-konflik yang berskala kecil dan sederhana biasanya penegak hukum formil akan memberikan kesempatan yang luas kepada lembaga adat untuk menyelesaikannya, sedangkan bagi konflik-konflik yang berskala besar dan dapat menimbulkan keresahan di masyarakat yang tidak mampu diselesaikan oleh lembaga adat, maka penegak hukum formil akan mengambil alih penanganannya berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, namun tetap tidak menghilangkan hak bagi lembaga adat untuk tetap menjatuhkan sanksi adat kepada si pelanggar setelah si pelanggar selesai menjalani proses berdasarkan prosedur hukum negara yang berlaku.

E.     PENUTUP
Diantara realita potret penegakan hukum yang semakin menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat dan justitiabelen, ternyata konsep dan nilai-nilai kultural Bangsa Indonesia yang dianggap kuno, konservatif dan ketinggalan jaman justru menunjukan asumsi yang positif karena terbukti memiliki metode penyelesaian konflik yang lebih efektif dibandingkan dengan konsep yang ditawarkan oleh hukum positif, hasil penyelelesaian yang tuntas bahkan mampu menciptakan hubungan kekerabatan baru pasca konflik dalam proses penyelesaian secara adat merupakan suatu kondisi yang kontradiktif dengan metoda penyelesaian konflik secara litigasi, permusuhan dan pertikaian abadi diantara pihak-pihak yang bersengketa hampir selalu tidak bisa dihindari pasca proses penyelesaian konflik secara litigasi, karena penyelesaian yang dihasilkan hanya bersifat formil dan pragmatis.
Kearifan lokal merupakan asset bangsa yang harus dikembangkan karena substansinya memiliki karakteristik yang khas dan asli dari nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia yang tercermin dalam prilaku dan pola hidup masyarakat adat di wilayah tertentu. Semoga dengan tulisan ini kita selalu teringatkan bahwa budaya dan adat istiadat kita memiliki teknik dan cara penyelesaian konflik yang cukup arif dalam menyelesaikan segala persoalan yang terjadi di masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS) dan BAPPEDA Kota Sabang. Sabang Dalam Angka Tahun 2004
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2007
I Gede AB Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
Mia Koning van der veen, Dromen over Sabang, Avanti Zaltbommel, Rhenen, 1991
Muhammad Adli Abdullah dkk, Selama Kearifan Adalah Kekayaan, Lembaga Hukom Adat Laot Aceh/Panglima Laot Aceh dan Yayasan Kehati, Banda Aceh
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologis Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial, Alumni Bandung, 1982
T. Djuned, Pengaruh Hukum Islam Terhadap Pembentukan Hukum Adat, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Banda Aceh
-------------, Panglima Laot dalam Hukum Positif di Indonesia, Makalah dalam acara Duek Pakat Adat laut/Panglima Laot se-Aceh



[1]       Tulisan ini merupakan intisari dari hasil penelitian penulis tentang Hukum Adat Laut di Sabang.

[2]       Penulis adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu

[3]     Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2007, hal: 70. ket: Kutaraja merupakan nama penyebutan untuk Banda Aceh pada jaman Kesultanan Aceh, Kutaraja berarti kota tempat berdiamnya raja

[4]       Mia Koning van der veen, Dromen over Sabang, Avanti Zaltbommel, Rhenen, 1991, hal: 104

[5]       Lhok adalah teluk atau kuala yang menjadi daerah atau wilayah penambatan perahu dan pusat aktifitas para nelayan.

[6]       Ujong Bau adalah wilayah terjauh Pulau Weh dimana terletak titik kilometer 0 Indonesia.

[7]       Ujong sekei adalah wilayah yang menghadap ke Pulau Sumatera terletak di samping Pelabuhan Balohan

[8]       Hukom Adat Laot jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya adalah Hukum Adat Laut

[9]       T. Mohd. Juned, Panglima Laot dalam Hukum Positif di Indonesia, dalam acara Duek Pakat Adat laut/Panglima Laot se-Aceh

[10]     Muhammad Adli Abdullah dkk, Selama Kearifan Adalah Kekayaan, Lembaga Hukom Adat Laot Aceh/Panglima Laot Aceh dan Yayasan Kehati, Banda Aceh, hal: 51

[11]     Berpayung adalah kegiatan menebar pukat dilaut, oleh karena biasanya pukat ditebar secara memutar membentuk lingkaran maka terlihat seperti sebuah payung besar.

[12]     Hareukat adalah hak pembagian atas hasil tangkapan ikan menurut hukum adat yang berlaku, pembagian tersebut dihitung berdasarkan besaran prosentase

[13]     Pawang adalah nahkoda kapal atau perahu.

[14]     Toke bangku adalah pemilik modal dalam usaha (bisnis) penangkapan ikan

[15]     Toke perahu adalah pemilik sarana transportasi yang digunakan oleh pawang untuk melakukan aktifitas perikanan.

[16]     Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologis Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial, hal: 20

[17]     Sabang Dalam Angka Tahun 2004 Badan Pusat Statistik (BPS) dan BAPPEDA Kota Sabang.

[18]     T. Djuned, Pengaruh Hukum Islam Terhadap Pembentukan Hukum Adat, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, hal: 263

[19]     I Gede AB Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal: 64

[20]     Istilah “peusijuk” asal katanya adalah sijuk yang berasal dari Bahasa Aceh artinya dingin atau damai, sehingga peusijuk dapat diartikan suatu proses ritual adat untuk mendapatkan suatu suasana yang damai atau tentram. Disebut sebagai proses ritual adat, karena bersumber kepada adat istiadat walaupun dalam pelaksanaannya lebih merupakan suatu acara keagamaan yaitu berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar diberikan suatu kesejukan dan kedamaian terhadap suasana yang baru.

[21]     Khanduri berdasarkan dari beberapa sumber berarti “Syukuran dengan makan-makan bersama” yaitu suatu acara memotong hewan ternak berupa kerbau atau sapi yang dagingnya dibuat gule atau sayur, lalu diundanglah seluruh warga kampung, untuk makan bersama biasanya khanduri dilakukan pasca perdamaian konflik atau dalam hal khanduri laot dilakukan secara rutin dalam rentang waktu tertentu.

[22]     Bale pasi adalah balai tempat para nelayan untuk berkumpul dan bermusyawarah, bale pasi terletak di daerah pesisir pantai yang lokasinya tidak jauh dari areal penambatan perahu, selain sebagai tempat bermusyawarah bale pasi juga biasanya sekaligus berfungsi sebagai meunasah.

[23]     Duek Pakat dalam Bahasa Indonesia artinya: Duek= duduk sedangkan pakat= sepakat, sehingga jika digambungkan, maka akan berarti ”suatu proses duduk bersama untuk mencari sebuah kesepakatan bersama”.

[24]     Dalam proses persidangan adat, panglima laut bertindak seperti seorang hakim pada proses persidangan di pengadilan yaitu sebagai pemimpin persidangan, walaupun dalam hal pengambilan keputusan agak berbeda karena dilakukan berdasarkan musyawarah dengan para tokoh adat dan pawang-pawang.

[25]     Imeum Meunasah adalah seorang imam pada mesjid di daerah setempat yang berasal dari kalangan “teungku” (ulama)

[26]     I Gede AB Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa ke Masa, Op.Cit, hal: 68

1 komentar: