Mengenai Saya

Foto saya
Way Kanan, Lampung, Indonesia
Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu

Senin, 21 Mei 2012

Artikel dalam Varia Peradilan edisi Januari 2013


BENARKAH PUTUSAN PEMIDANAAN YANG TIDAK MEMUAT AMAR PENAHANAN BATAL DEMI HUKUM DAN NON EXECUTABLE ?

Oleh: D.Y. Witanto, SH


Sejak munculnya pendapat hukum dari Prof. Yusril Ihza Mahendra tertanggal 15 Mei 2012 yang disampaikan kepada DPR-RI perihal amar penahanan di dalam putusan, sontak menimbulkan kebingungan di kalangan para hakim karena menurut pendapat tersebut putusan yang tidak memuat perintah penahanan sebagaimana di atur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP batal demi hukum (null and void) dan tidak dapat dieksekusi, padahal pemahaman di dalam praktik selama ini tidaklah demikian, karena penahanan merupakan tindakan yang bersifat diskresioner, hal ini dapat kita lihat dari beberapa ketentuan di dalam KUHAP antara lain dalam Pasal 20 ayat (3) yang berbunyi “untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan” dan Pasal 190 huruf a yang berbunyi “selama pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapannya untuk menahan terdakwa apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup.” Kata “berwenang” dan kata “dapat” dalam dua rumusan pasal diatas memberikan pengertian bahwa tindakan penahanan merupakan bentuk kewenangan (hak) bukan sebagai bentuk kewajiban, bahkan kewenangan itu bersifat limitatif karena hanya dapat diterapkan jika memenuhi syarat objektif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:
“penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut :
Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih
Tidak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3) Pasal 296, Pasal 335 ayat (1) Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi bea dan cukai, terakhir diubah dengan staatblaad tahun 1931 nomor 471) Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara tahun 1955 nomor 8) Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara tahun 1976 nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086)

Kewenangan diskresioner dalam tindakan penahanan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, bahwa hakim berhak untuk memilih apakah ia akan melakukan penahanan ataukah tidak, namun jika ada kekhawatiran bahwa terdakwa akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, maka hakim boleh memerintahkan agar terdakwa ditahan, sedangkan hak untuk menilai keadaan tersebut diberikan undang-undang kepada hakim secara subjektif.

Menyangkut penerapan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP memang banyak menimbulkan perdebatan karena menurut ketentuan Pasal 197 ayat (2) jika tidak dipenuhi ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan l pasal tersebut, mengakibatkan putusan batal demi hukum, sehingga jika diartikan secara kaku menurut makna tekstual, maka semua putusan yang tidak mencantumkan amar status penahanan sebagaimana disebutkan dalam pasal 197 ayat (1) huruf k adalah batal demi hukum, termasuk jika hakim tidak berkehendak untuk melakukan penahanan. Namun apakah makna sebenarnya memang demikian? Mari kita telaah lebih lanjut agar kita dapat memahami bahwa sesungguhnya ada konflik norma diantara beberapa ketentuan KUHAP sehingga menimbulkan perbedaan pendapat terhadap penerapan status penahanan di dalam amar putusan.

Telah disebutkan diatas bahwa berdasarkan Pasal 21 ayat (4) jo Pasal 190 huruf a penahanan hanya dapat diterapkan terhadap terdakwa yang disangka melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih atau diancam oleh tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam pasal 21 ayat (4) huruf b, sehingga selain dari tindak pidana yang disebutkan oleh pasal 21 ayat (4) tersebut, maka terdakwa tidak boleh ditahan, lalu kita hubungkan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k diatas, bahwa jika tidak ditentukan amar penahanan dalam putusan pemidanaan, maka putusan tersebut menjadi batal demi hukum, lalu apakah kemudian semua tidak pidana termasuk yang ancamannya dibawah 5 tahun juga harus tetap ditentukan status penahanannya padahal perkara tersebut tidak pernah ditahan dan memang tidak diperbolehkan untuk ditahan  berdasarkan Pasal 21 ayat (4) karena pasal tersebut mengandung kalimat “penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam bentuk tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.”
Kerancuan dapat terjadi ketika hakim hendak menjatuhkan pidana percobaan (vide pasal 14 a KUHP), karena jika kita mengikuti pendapat bahwa amar perintah penahanan itu harus ada di dalam setiap putusan pemidanaan bagi terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan, lalu bagaimana mungkin pada satu diktum dinyatakan terdakwa tidak perlu menjalani pidana, namun pada diktum yang lain terdakwa diperintahkan untuk ditahan, sehingga ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k itu sebenarnya hanya bisa diterapkan terhadap keadaan antara lain: jika sebelumnya terdakwa tidak ditahan kemudian hakim berpendapat perlu dilakukan penahanan atau jika sebelumnya terdakwa ditahan dan tetap akan dikenakan penahanan atau jika sebelumnya terdakwa ditahan kemudian hakim berpendapat perlu untuk dikeluarkan dari tahanan, sedangkan terhadap keadaan: jika sebelumnya terdakwa tidak ditahan dan hakim tetap berpendapat bahwa terdakwa tidak perlu ditahan, maka hal itu sesungguhnya tidak terikat oleh pasal 197 ayat (1) huruf k karena tidak ada keharusan untuk mencantumkan amar "memerintahkan agar terdakwa tetap tidak ditahan" hal tersebut mengandung makna yang homogen dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf i tentang "ketentuan barang bukti" jika dalam suatu perkara penuntut umum tidak pernah mengajukan barang bukti karena tindak pidana tersebut tidak ada barang buktinya, apakah hakim tetap wajib untuk mencantumkan ketentuan barang bukti di dalam amar putusan? Dan jika itu tidak dicantumkan, apakah putusannya menjadi batal demi hukum karena dalam pasal 197 ayat (2) menyebutkan, bahwa jika tidak memenuhi ketentuan pada ayat (1) huruf i putusan menjadi batal demi hukum? Tentunya tidaklah demikian karena ketentuan undang-undang harus memiliki makna yang rasional. Jika tidak ada keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf i maupun huruf k, maka kewajiban untuk menerapkan pasal tersebut juga menjadi tidak ada dan putusan itu tidak dapat dinyatakan batal demi hukum.

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (3) KUHAP, jelas disebutkan bahwa penahanan dilakukan untuk kepentingan “pemeriksaan” sehingga ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k yang mensyaratkan adanya perintah penahanan di dalam putusan sebenarnya mengandung makna yang kontraproduktif karena setelah putusan itu diucapkan, berarti seluruh proses mengadili dalam tingkat pengadilan tersebut telah selesai, sehingga tidak ada lagi kepentingan pemeriksaan atas penahan tersebut dan jika perkara itu diajukan upaya hukum, maka kewenangan melakukan penahanan akan beralih kepada pengadilan yang dimintakan upaya hukum pada saat terdakwa atau penuntut umum menyatakan banding/kasasi.

Pertentangan norma yang paling nyata dapat kita temukan dalam rumusan Pasal 193 ayat (2) huruf a yang berbunyi “pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan apabila dipenuhi ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan yang cukup untuk itu” kata “dapat” dalam ketentuan pasal tersebut tidak bisa ditafsirkan lain, bahwa perintah penahanan dalam putusan hanya sebatas hak yang boleh dipilih secara bebas oleh hakim, sehingga jika pasal 197 ayat (1) huruf k dimaknai sebagai sebuah kewajiban yang mengandung akibat batal demi hukum, maka pasal tersebut akan bertentangan dengan beberapa pasal KUHAP yang lain, yaitu: Pasal 21 ayat (4), Pasal 190 huruf a dan Pasal 193 ayat (2) huruf a yang kesemuanya merumuskan penahanan itu sebagai kewenangan hakim yang bersifat diskresioner.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka sebenarnya putusan yang batal demi hukum menurut  Pasal 197 ayat (1) huruf k jo Pasal 197 ayat (2) itu adalah jika dalam pertimbangan putusan, hakim menghendaki agar terdakwa ditahan, namun ternyata kehendak itu tidak di tuangkan di dalam amar putusan, sehingga antara pertimbangan dengan amar tidak memiliki korelasi, namun jika memang terdakwa sebelumnya tidak ditahan dan hakim berpendapat tetap tidak perlu dilakukan penahanan, maka putusan yang tidak memuat status penahanan itu tidak dapat dikatagorikan sebagai putusan yang batal demi hukum karena status penahanan itu tidak pernah ada dan keadaan tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup pengaturan Pasal 197 ayat (1) huruf k dan jika Pasal 197 ayat (1) huruf k itu kemudian diartikan bahwa perintah penahanan itu harus ada didalam setiap putusan pemidanaan, maka putusan-putusan yang telah dijatuhkan atas tindak pidana yang nilai ancaman hukumannya dibawah 5 tahun atau dalam perkara-perkara pelanggaran semuanya akan batal demi hukum dan non executable, karena terhadap perkara-perkara tersebut hakim dilarang untuk memerintahkan tindakan penahanan.

Jika pendapat tersebut kemudian dijadikan patokan oleh DPR untuk menganggap bahwa putusan pengadilan batal demi hukum, maka hal tersebut sangatlah keliru, mengingat semua kerancuan itu bermula dari adanya konflik norma di dalam KUHAP sendiri, sehingga seharusnya DPR (legislatif) lebih bertanggung jawab atas fenomena yang terjadi selama ini dan jika DPR hendak menyatakan putusan pengadilan tersebut batal demi hukum, maka DPR harus terlebih dahulu menyatakan bahwa KUHAP juga batal demi hukum, karena putusan pemidanaan yang tidak mencantumkan status penahanan dalam hal terdakwa tidak ditahan sesungguhnya didasarkan pada ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP, jadi jika saat ini terjadi kerancuan di dalam penerapan KUHAP lalu siapakah yang salah, hakimkah atau pembentuk undang-undangkah? Wallohualam…
Ket: tulisan ini hanya merupakan telaahan bebas terhadap fenomena hukum yang terjadi dan tidak ditujukan sebuah kasus hukum tertentu.
Penulis adalah penulis dan pemerhati huku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar