empitnya
ruang lingkup pengaturan undang-undang menyangkut persoalan ketidakhadiran
dalam proses berperkara telah menimbulkan banyak masalah di dalam praktik
persidangan perkara perdata, khususnya dalam perkara-perkara yang mengandung
sengketa (contentiosa). Undang-undang
hanya mengatur mengenai ketidakhadiran pihak penggugat hanya dalam Pasal 124
HIR/148 RBg saja, sedangkan terhadap ketidakhadiran pihak tergugat hanya diatur
oleh Pasal 125-129 HIR/149-153 Rbg, sehingga tidak heran jika persoalan
mengenai ketidakhadiran para pihak dalam proses berperkara tidak pernah menjadi
bahan kajian secara khusus dan tersendiri, namun hanya sebatas menjadi bab atau
bahkan sub-bab dari pembahasan tentang hukum acara perdata secara umum, padahal
konsekuensi dan akibat hukum atas ketidakhadiran itu dapat berdampak luas bagi
para pihak yang berperkara.
Banyak muncul problematika yang disebabkan oleh
perbedaan pendapat di kalangan praktisi maupun akademisi menyangkut penerapan
beberapa aturan di dalam hukum acara terhadap ketidakhadiran para pihak dalam
proses berperkara, antara lain menyangkut mengenai keabsahan panggilan, ruang
lingkup kehadiran dan ketidakhadiran, proses pembuktian dalam acara verstek, upaya hukum terhadap putusan di
luar hadir dan jangka waktu untuk mengajukan perlawanan (verzet). Kondisi tersebut di picu oleh adanya kekosongan hukum (vacuum of law) dan ketidakjelasan secara
tekstual dalam rumusan undang-undang
hukum acara perdata yang berlaku saat ini (HIR, RBg maupun Rv) yang secara
substansial merupakan hasil konkordansi
dari undang-undang peninggalan kolonial.
Kesalahan dan kekeliruan hakim dalam menerapkan
ketentuan acara terhadap ketidakhadiran para pihak, kerap merugikan kepentingan
salah satu pihak, karena setiap putusan yang dijatuhkan di luar hadir selalu
didahului oleh proses pemeriksaan secara sepihak. Dalam buku ini penulis
mencoba untuk mengungkap segala seluk beluk dan persoalan mengenai ketidakhadiran
para pihak dalam proses berperkara, bahkan penulis mencoba untuk menyajikan
beberapa permasalahan menarik yang belum pernah diungkap dan dibahas sebelumnya,
sekaligus dengan berbagai bentuk usulan solusinya, sehingga diharapkan buku ini
dapat memberikan gambaran yang jelas, terang dan menyeluruh menyangkut
konsekuensi hukum yang dapat diterapkan terhadap ketidakhadiran para pihak di
dalam proses berperkara.
Untuk memperkaya kajian dan pembahasan dalam buku ini
penulis mencoba memadukan antara aturan perundang-undangan, yurisprudensi,
SEMA, teori-teori hukum dan konsep-konsep penalaran yang dibangun berdasarkan pengamatan
dan pengalaman di dalam praktik, sehingga diharapkan dapat memberikan
penjelasan secara lebih luas bagi khalayak pembaca yang ingin mempelajari
tentang teknik-teknik persidangan dalam perkara perdata, khususnya menyangkut
tentang putusan gugur dan verstek.
Kandungan dalam buku ini juga akan bermanfaat bagi para praktisi (hakim dan
advokat) maupun para akademisi (dosen dan mahasiswa) karena substansinya
mencakup khasanah, baik teori maupun praktik. Buku tersebut rencananya terbagi
atas 5 bab sebagai berikut:
BAB. I
PENDAHULUAN
A.Kewenangan Pengadilan Negeri dalam
Memeriksa
Perkara Perdata (1)
B.Sistematika Putusan Perkara
Perdata (10)
1.Judul Dan Nomor Putusan (10)
2.Irah-Irah Putusan (11)
3.Identitas Para Pihak (14)
4.Duduk Perkara (15)
5.Alat-Alat Bukti (16)
6.Pertimbangan Hukum (17)
7.Amar Putusan (20)
8.Uraian Penutup (20)
9.Tanda Tangan Hakim Dan Panitera (21)
C.Penggolongan Jenis-Jenis
Putusan Dalam Perkara Perdata. (21)
1.Putusan Berdasarkan Fungsinya (21)
2.Putusan Berdasarkan Sifatnya (24)
3.Putusan Berdasarkan Isinya (26)
4.Putusan Berdasarkan Kehadiran Para Pihaknya (27)
D.Fungsi Dan Makna Kehadiran
Para Pihak Dalam Proses Berperkara (29)
E.Pengertian Dan Penggunaan
Istilah Bagi Ketidakhadiran Para Pihak (33)
F.Pengaturan Putusan Di Luar
Hadir Dalam Undang-Undang (36)
BAB 2
PRINSIP-PRINSIP YANG BERLAKU PADA PUTUSAN DI LUAR
HADIR
A.Putusan Gugur Dan Verstek
Berlaku Pada Perkara Contentiosa (49)
B.Putusan Di Luar Hadir
Dijatuhkan Dengan Prinsip Kehati-Hatian. (51)
Penilaian Tentang Sah atau Tidaknya Panggilan
Terhadap Para Pihak. (51)
Penilaian Tentang Alasan Ketidakhadiran (52)
Penilaian Tentang Jarak antara Tempat Tinggal
Para Pihak Dengan Pengadilan (54)
C.Dalam Putusan Verstek Hakim
Wajib Memberikan Pertimbangan Yang Cukup (Voldoende Gemotiveerd) (55)
D.Prinsip Perlindungan Hak Dan
Kepentingan Pihak Yang Hadir Mematuhi Panggilan. (57)
E.Putusan Di Luar Hadir
Merupakan Sanksi Bagi Pihak Yang Ingkar Terhadap Panggilan Pengadilan (58)
F.Putusan Di Luar Hadir
Menggunakan Prinsip Acara Persidangan Yang Sederhana (59)
G.Ketidakhadiran Salah Satu
Pihak Mengesampingkan Kewajiban Mediasi (60)
H.Prinsip Kehadiran Salah Satu
Dari Tergugat Menghalangi Dijatuhkan Putusan Verstek (62)
A.Penggugat/Tergugat Telah
Dipanggil Secara Sah (65)
B.Prosedur Pemanggilan Dalam
Perkara Perceraian (81)
C.Penggugat/Tergugat Tidak
Memenuhi Panggilan Pengadilan. (83)
D.Dalam Hal
Penggugat/Tergugatnya Lebih Dari Seorang, Ketidakhadiran Bersifat Menyeluruh. (91)
E.Penggugat/Tergugat Tidak
Mengutus Wakilnya Yang Sah. (94)
Ad. 1. Kuasa Secara Umum (91)
Ad. 2. Kuasa Khusus (97)
F.Tidak Hadirnya
Penggugat/Tergugat Tanpa Alasan Yang Sah. (104)
G.Tergugat Tidak Mengajukan
Eksepsi Kewenangan Mengadili. (110)
Kompetensi Absolut (111)
Kompetensi Relatif (113)
a.Prinsip Gugatan Berdasarkan Domisili
Tergugat (Actor Secquitor Forum Rei) (113)
b.Prinisp Gugatan Berdasarkan
Domisili Penggugat (113)
c.Prinsip Gugatan Berdasarkan
Tempat Dimana Barang Tetap Berada (Forum Rei Sitae) (114)
d.Prinsip Gugatan Berdasarkan
Domisili Pilihan (114)
e.Prinsip Gugatan Berdasarkan
Pengadilan Yang Ditunjuk Oleh Undang-Undang (115)
BAB. 4
BENTUK PUTUSAN
DI LUAR HADIR (GUGUR DAN VERSTEK)
A.Pengantar (119)
B.Putusan Verstek Yang Berisi
Mengabulkan Seluruh Gugatan (132)
C.Putusan Verstek Yang Berisi
Mengabulkan Sebagian Gugatan (134)
D.Putusan Verstek Yang Berisi
Penolakan Gugatan (136)
E.Putusan Verstek Yang
Menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima (139)
BAB. 5
PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK (VERZET)
A.Penggunaan Istilah Verzet Di
Dalam Praktik (143)
B.Sifat Perlawanan Terhadap
Putusan Verstek (Verzet) (144)
C.Tenggang Waktu Pengajuan
Perlawanan (148)
1.Jika Diberitahukan Langsung Kepada Si Tergugat, Berlaku
Jangka Waktu Perlawanan Selama 14 Hari Sejak Pemberitahuan (150)
2.Jika Tidak Diberitahukan Secara Langsung Kepada Si Tergugat,
Maka Perlawanan Dapat Diajukan Sampai Hari Ke 8 Setelah Teguran (Aanmaning) (152)
3.Jika Atas Teguran (Aanmaning) Tergugat Tidak Hadir, Maka
Dapat Diajukan Sampai Hari Ke 8 Sesudah Dijalankan Sita Eksekusi (155)
4.Hak Mengajukan Perlawanan Jika Pemberitahuan Dilakukan
Secara Umum Melalui Pemerintah Daerah (162)
5.Beberapa Permasalahan Dalam Praktik Tentang Jangka Waktu
Pengajuan Perlawanan (Verzet) Terhadap Putusan Verstek (164)
D.Pihak-Pihak Yang Berhak
Mengajukan Perlawanan (171)
Hak Untuk Mengajukan Perlawanan Adalah Hak
Bagi Tergugat Yang Dikalahkan Oleh Putusan Verstek (172)
Penggugat Tidak Memiliki Hak Untuk Mengajukan
Perlawanan (173)
Dalam Hal Tergugat Meninggal Dunia Para Ahli
Waris Dapat Menggantikan Posisi Tergugat Untuk Mengajukan Perlawanan (174)
Perlawanan Dapat Diajukan Oleh Kuasa Tergugat
Yang Sah (175)
Dalam Hal Para Ahli Waris Belum Dewasa, Maka
Perlawanan Dapat Diajukan Oleh Seorang Walinya Yang Sah (176)
Dalam Hal Tergugat Dinyatakan Tidak Cakap
Bertindak Karena Gangguan Jiwa Setelah Putusan Verstek Dijatuhkan, Maka
Pengampu Berhak Untuk Mengajukan Perlawanan (177)
E.Proses Acara Persidangan Verzet (178)
Perkara Perlawanan Terhadap Putusan
Verstek Tidak Diberikan Nomor Perkara Baru. (178)
Pihak Pelawan Wajib Membayar Panjar Biaya
Perkara (178)
Komposisi Para Pihak Dalam Acara
Perlawanan (Verzet) Terhadap Putusan Verstek (180)
Ketidakhadiran Para Pihak Dalam Acara Verzet (181)
a.Ketidakhadiran Penggugat/Terlawan (181)
b.Ketidakhadiran Tergugat/Pelawan (182)
c.Ketidakhadiran Pelawan Maupun
Terlawan (185)
Tata Cara Proses Persidangan Acara
Perlawanan (186)
F.Bentuk Dan Isi Putusan
Perlawanan Terhadap Putusan Verstek (214)
G.Beberapa Permasalahan Yang
Terjadi Di Dalam Praktik (215)
1.Permasalahan Menyangkut Amar Dapat Dijalankan Lebih Dulu
(Uitvoerbaar Bij Voorraad) Dalam Putusan
Verstek(215)
Permasalahan Menyangkut Pembuktian Dengan
Saksi-Saksi Dalam Putusan Verstek (226)
Pengajuan Banding Menutup Hak Bagi Tergugat
Untuk Mengajukan Perlawanan (229)
Permasalahan Menyangkut Sita Eksekusi Yang
Pernah Diletakan (233)
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran:
Senin, 21 Mei 2012
PROBLEMATIKA
PENANGANAN CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF
ASAS TERITORIAL DI INDONESIA
Dinamika
perubahan sosial (social changes) dalam
masyarakat tidak dapat dibatasi seiring dengan perkembangan teknologi dan
informasi yang terus berkembang dengan sangat pesat, bahkan diluar kontrol dan
kendali pranata hukum yang tersedia. Perkembangan itu telah mendesak pada perubahan
kultur dan prilaku masyarakat kearah dekadensipsikososial. Perubahan prilaku pada sub
sistem masyarakat juga berpengaruh pada prevalensi
tingkat kejahatan dengan segmen-segmen tertentu
yang tidak lagi dilakukan secara konvensional
dan manual namun telah menggunakan
perangkat-perangkat teknologi yang sulit untuk dilacak baik locus, tempus maupun aktor
delictinya.
Berkembangnya
kejahatan berbasis teknologi yang terjadi pada dimensi maya ternyata belum mampu
ditanggulangi sepenuhnya melalui pendekatan hukum, khususnya hukum pidana (penal approach), maka untuk menyikapi
kenyataan itu, negara-negara di dunia dan pakar-pakar teknologi mulai melakukan
kajian untuk membentuk suatu kebijakan kriminal (criminal policy) dalam menanggulangi meluasnya kejahatan mayantara
(cyber crime) yang tanpa disadari terus
berkembang pesat, baik kualitas maupun kuantitasnya. Upaya pemberantasan
kejahatan dunia maya tidak cukup hanya dengan melakukan reformasi system hukum,
namun juga harus dibarengi dengan upaya membangun kerjasama antar negara dalam
penanganan kejahatan yang berskala internasional.
Lembaga-lembaga
profit maupun non profit yang menggunakan sistem teknologi informatika sebagai
basis penyimpan dan pengolah data mulai merasa resah dengan merajalelanya tindakan-tindakan
usil para hacker dan cracker, karena hampir pada setiap ruang
cyber yang menggunakan maximum security system ternyata masih
sanggup di jebol oleh para hacker dan
cracker. Disisi lain meluasnya pornografi
dan pornoaksi dengan menggunakan cyber
system juga menjadi problem yang belum terpecahkan melalui kebijakan hukum
nasional saat ini, karena meningkatnya kebutuhan manusia terhadap system
informasi global dalam setiap aspek kehidupan telah mendorong tingginya
penggunaan fasilitas internet dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan upaya-upaya
pembatasan yang saat ini terus dilakukan juga belum menunjukan hasil yang significan.
Kesulitan
yang terjadi dalam melakukan penganggulangan dan pemberatantasan kejahatan
mayantara lebih disebabkan karena antara pelaku dan korban pada umumnya tidak
berada pada suatu tempat yang sama, atau bahkan sama sekali tidak pernah
bertemu di dunia yang nyata. sehingga sangat sulit untuk menetukan locus dan tempusdelictinya dengan
metode atau teori hukum pidana pada umumnya, sedangkan berkaitan dengan
penegakan hukum (law enforcement) terhadap
kejahatan mayantara yang berdimensi trans nasional para penegak hukum selalu
terkendala dengan batas yuridiksi suatu negara. Dalam ketentuan perundang-undangan
hukum pidana kewenangan penegakan hukum selalu dibatasi oleh batas yuridiksi (teritorialitas) yang tidak mungkin di
tembus tanpa adanya perjanjianekstradisi
atau perjanjian khusus antar negara.
Seiring
dengan berkembangnya zaman yang terus bergerak menuju era serba teknologi yang
berbasis informatika dantelematika,maka aktifitas komunikasi manusia di
seluruh belahan dunia sudah tidak mungkin lagi dibatasi oleh batas kewenangan territorial
suatu negara. Dunia komunikasi dan transaksi bisnis yang berskala internasional
sudah menjadi bagian kehidupan manusia dan terus berkembang dengan sangat cepat
sebagai suatu kebutuhan yang tidak terelakan pada saat ini. Mewabahnya
kejahatan dunia maya (cyber crime)
baik dalam bentuk kejahatan informasi (information
crime) seperti pornografi dan pornoaksi maupun kejahatan lain yang
menggunakan fasilitas teknologi informatika seperti pembobolan sistem perbankan
yang dilakukan antar negara sudah menjadi persoalan seluruh negara di dunia,
sehingga untuk menanggulanginya tidak mungkin dilakukan secara manual dan parsial,
namun harus menggunakan sistem teknologi dan melibatkan seluruh negara-negara
yang ada di dunia.
B.CYBER CRIME MENURUT PANDANGAN HUKUM PIDANA
Menurut Marc Ansel bahwa Ilmu Hukum Pidana Modern (modern criminal science) mengandung tiga komponen yang antara lain
”criminology” ”criminal law” dan ”penal
policy” dikemukakan juga olehnya bahwa ”penal
policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai
tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang,
tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan[2]
Kejahatan ekstra teritorial (trans nasional) atau biasa disebut
Tindak Pidana Internasional adalah kejahatan yang melibatkan yuridiksi dari dua
atau beberapa negara sekaligus. Pertautan antara dua atau beberapa negara yang
sama-sama punya kewenangan untuk melakukan penegakan hukum dapat terjadi karena terdapat beberapa titik
singgung antara lain:
1.Memiliki
dampak pada lebih dari satu negara;
2.Menyangkut
lebih dari satu kewarganegaraan;
3.Menggunakan sarana/prasarana yang
melampaui batas-batas suatu negara;
Dalam hal suatu kejahatan mengandung
salah satu dari 3 (tiga) titik singgung diatas, maka sudah termasuk dalam
dimensi Hukum Pidana Internasional yang penanganannya tidak bisa lagi hanya
melibatkan kompetensi dari satu negara,[3]
namun harus melibatkan dua atau beberapa negara yang sama-sama berwenang untuk
melakukan proses penengakan hukum berdasarkan ketentuan hukum dinegaranya.
Kewenangan suatu negara menurut prinsip hukum internasional dibatasi oleh dua
hal:
1.kekuasaan itu terbatas pada batas
wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu; dan
2.kekuasaan
itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain dimulai.[4]
Era globalisasi telah membawa semua
tatanan kehidupan serba teknologi dan internet, hampir semua sisi kehidupan
manusia bisa berhubungan dengan internet, baik siang maupun malam baik dalam
kehidupan bisnis, pendidikan maupun hiburan, dari fenomena itulah kemudian sisi
negatif dari penggunaan internet tidak bisa dihindari, pelaku-pelaku yang
memiliki kemampuan akses kedunia internet dapat menyalahgunakan pemanfaatannya
untuk sebuah tindakan jahat.
Menurut kepolisian InggrisCyber
Crimeadalah segala macam penggunaan
jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan/atau kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan
kemudahan teknologi digital[5].
Indra Safitri memberikan pembatasan
mengenai kejahatan dunia maya sebagai jenis
kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa
batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi
yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari
sebuah informasi yang disampaikan dan di akses oleh pelanggan internet.[6]
Sedangkan PBB dalam kongres ke X tahun
2000 menyatakan bahwa cyber crime
atau computer-related crime mencakup keseluruhan bentuk-bentuk baru dari
kejahatan yang ditujukan pada komputer, jaringan komputer dan para penggunanya,
dan bentuk kejahatan-kejahatan tradisional yang sekarang dilakukan dengan
menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer[7]
Menurut ketentuan Pasal 2 KUHP bahwa: ”ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu delik di
Indonesia” ketentuan tersebut merupakan landasan berlakunya asas teritorial terhadap penegakan hukum
pidana yang terjadi dalam wilayah Negara Indonesia, namun demikian terhadap
Pasal 2 diatas terdapat pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 3 yang
menyebutkan ”Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah
Indonesia melakukan delict didalam perahu atau pesawat udara Indonesia”, dan
Pasal 4 yang menyebutkan pengecualian berdasarka jenis-jenis kejahatan
tertentu.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memberikan beberapa fasilitas
menyangkut penanganan tindak pidana mayantara (cyber crime) yang dilakukan oleh orang yang berada di luar wilayah yuridiksi
Negara Indonesia, yaitu dengan melakukan kerjasama pada saat penangkapan dan penyidikan
kasus tersebut. Hampir pada setiap tindak pidana yang melibatkan beberapa
yuridiksi suatu negara memerlukan penangangan secara ekstra ordinary karena kewenangan dalam melakukan tindakan-tindakan
pro justicia akan terbentur dengan
batas kewenangan berlakunya sistem hukum pidana dalam suatu negara.
Beberapa perjanjian kerjasama yang dapat
menjadi contoh dalam penanganan kejahatan mayantara (cyber crime) dalam dimensi internasional antara lain seperti yang
pernah dilakukan oleh negara-negara di Eropa dengan ”Draft Convention on Cyber Crime” disitu diatur mengenai tata cara
penanganan kejahatan mayantara yang melibatkan negara-negara peserta kerjasama
tersebut. Sedangkan PBB sendiri telah beberapa kali melakukan kongres dalam
rangka membahas penanggulangan kejahatan ini, dengan dikeluarkanya beberapa
kebijakan dalam menyangkut pencegahan dan penanganan kejahatan mayantara.
C.CYBER
CRIME DALAM DIMENSI KEJAHATAN INTERNASIONAL
Dalam sistem penanggulangan kejahatan,
setiap kejahatan harus di bedakan antara kejahatan biasa (ordinary crime) dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Metoda penanggulangan kejahatannyatidak bisa disamakan antara satu
kejahatan dengan kejahatan yang lain tergantung dari jenis dan karakteristik
kejahannya. Kejahatan yang bersifat ekstra
ordinary tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan law inforcement pada umumnya, namun harus menggunakan sistem-sistem
dan pranata yang khusus karena akan berhadapan dengan beberapa persoalan dalam upaya
penanggulangannyaantara lain:
1.persoalan
teritorial
2.persoalan
pembuktian
3.persoalan
locus dan tempus delicti; dan
4.persoalan
dampak/akibat yang ditimbulkannya
Cyber
Crime merupakan salah
satu genus dari kelompok kejahatan ekstra ordinary karena mengandung
beberapa variable seperti yang disebutkan
diatas, sehingga metode penanggulangannya harus dilakukan secara khusus
melibatkan para pemangku kepentingan (stake
holder) dan ahli-ahli dibidang cyber,
bahkan dalam kasus-kasus tertentu cyber
crime harus melibatkan kebijakan politik antar bangsa untuk bisa menaggulanginya,
baik dengan perjanjian ekstradisi maupun dengan perjanjian-perjanjian internasional
lainnya dalam bentuk konvensi intenasional.
Nazura Abdul Manap membedakan tipe-tipe
dari cyber crime menjadi 3 (tiga)
yaitu:
·Cyber crimes
againts property, meliputi Theft (berupa theft of information, theft of
propoery dan theft of services), Fraud/Cheating, Forgery, dan Mischeif.
·Cyber crimes
againts persons, meliputi pornography, cyberharassment, cyber stalking dan
cyber-trespass. Cyber-trespass meliputi Spam E-mail, Hacking a Web Page dan
Breaking into Personal Computer.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 43 Ayat (8) disebutkan bahwa “dalam rangka mengungkap tindak pidana informasi
elektronik dan transaksi elektronik penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik
negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti”ketentuan tersebut dapat
memberikan fasilitas hukum kepada para penegak hukum (penyelidik dan penyidik) untuk
melakukan kerjasama penyidikan lintas negara dengan penagak hukum di negara
lain, namun hal tersebut tetap tidak dapat terlepas dari respon dan hubungan
baik antar negara, artinya tanpa adanya hubungan ekstradisi dan kerjasama antar
negara para penegak hukum tetap tidak bisa menerobos batas kewenangan suatu
negara.
Ruang lingkup Cyber law antara lain sebagaimana diungkapkan oleh Jonathan Rosenoer dalam Cyber law, the law of internet sebagai
berikut:
Hak Cipta (copy right)
Hak Merek (trade mark)
Pencemaran nama baik (defamation)
Fitnah, penistaan, penghinaan (hate speech)
Serangan terhadap fasilitas komputer (hacking, viruses, illegal access)
Pengaturan sumber daya internet seperti IP address domein name dll
Kenyamanan individu (privacy)
Prinsip kehati-hatian (duty care)
Tindakan kriminal biasa
yang menggunakan TI sebagai alat;
Isu prosedural seperti
yuridiksi, pembuktian, penyidikan dll
Kontrak/transaksi elektronik dan tanda tangan
digital;
Pornografi termasuk pornografi anak;
Pencurian melalui internet;
Perlindungan konsumen;
Pemanfaatan internet dalam aktivitas
keseharian manusia seperti e-commerce,
e-government, e-education dan lain sebagainya[9]
Dalam rangka upaya untuk menanggulangi cyber crime tersebut Resolusi Kongres
PBB ke VIII/1990 mengenai Computer
Related Crime mangajukan beberapa kebijakan antara lain sebagai berikut:
Menghimbau negara anggota untuk
mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang
lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut:
Melakukan modernisasi hukum pidana
materiil dan hukum acara pidana;
Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan
dan pengamanan komputer;
Melakukan langkah-langkah untuk
membuat peka (sensitif) warga
masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya
pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer (untuk selanjutnya
dalam kutipan ini disingkat dengan istilah Cyber Crime (CC)
Melakukan upaya-upaya pelatihan
(training) bagi para hakim pejabat dan aparat penegak hukum mengenai
kejahatan ekonomi dan Cyber Crime
(CC)
Memperluas rule of crime dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya
melalui kurikulum informasi;
Mengadopsi kebijakan perlindungan
korban Cyber Crime (CC) sesuai
dengan deklarasi PBB mengenai korban dan mengambil langkah-langkah untuk
mendorong melaporkan adanya Cyber
crime (CC)
Menghimbau negara anggota
meningkatkan kegiatan nasional dalam upaya penanggulangan Cyber crime (CC)”
Merekomendasikan kepada komite
Pengendalian dan Pencegahan kejahatan (Committee
on Crime Prevention and Control) PBB untuk:
Menyebarluaskan pedoman dan standar
untuk membantu negara anggota menghadapi Cyber crime (CC) ditingkat nasional, regional dan
internasional;
Mengembangkan penelitian dan
analisis lebih lanjut guna menemukan cara-cara baru menghadapi problem Cyber crime (CC) dimasa yang akan
datang;
Mempertimbangkan Cyber Crime (CC) sewaktu meninjau
pengimplementasian perjanjian ekstradisi dan bantuan kerjasama dibidang
penanggulangan kejahatan [10]
Selanjutnya menyangkut penangangan
kejahatan mayantara yang berdimensikan lintas negara (trans nasional) atau
internasional maka negara-negara di Eropa telah melakukan kerjasama dengan
membuat kesepakatan yang dikenal dengan ”Draft
Convention on Cyber Crime berisi:
Tiap pihak (negara) akan mengambil
langkah-langkah legislatif dan pihak lain yang diperlukan untuk menetapkan
yuridiksi terhadap setiap tindak pidana yang ditetapkan sesuai dengan
Pasal 2 sampai Pasal 11 konvensi ini apabila tindak pidana itu dilakukan;
Didalam wilayah teritorialnya;
Diatas kapal yang mengibarkan bendera
negara yang bersangkutan;
Diatas pesawat yang terdaftar
menurut hukum negara yang bersangkutan; atau
Oleh seorang dari warga negaranya
apabila tindak pidana itu dapat dipidana menurut hukum pidana ditempat
tindak pidana itu dilakukan atau apabila tindak pidana itu dilakukan
diluar yuridiksi teritorial setiap negara;
Setiap negara berhak untuk tidak
menerapakan atau hanya menerapkan aturan yuridiksi sebagaimana disebut
dalam Ayat (1) b – Ayat (1) d pasal ini dalam kasus-kasus atau
kondisi-kondisi tertentu.
Tiap pihak (negara) akan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk menerapkan yuridiksi terhadap tindak
pidana yang ditunjuk dalam Pasal 24 (1) konvensi ini (pasal tentang ekstradisi)
dalam hal tersangka berada dalam wilayahnya dan negara itu tidak
mengekstradisi tersangka itu kenegara lain (semata-mata berdasar alasan
kewarganegaraan tersangka) setelah adanya permintaan ekstradisi.
Konvensi ini tidak meniadakan
yuridiksi kriminal yang dilaksanakan sesuai dengan hukum domestik (hukum
negara yang bersangkutan).
Apabila lebih dari 1 (satu) pihak
(negara) menyatakan berhak atas yuridiksi tindak pidana dalam konvensi ini
maka para pihak yang terlibat akan melakukan konsultasi untuk menetapkan yuridiksi
yang paling tepat untuk penuntutan.[11]
Berdasarkan ketentuan 1 sub (a) diatas
bahwa penanganan dilakukan berdasarkan asas teritorial atau yuridiksi
teritorial yang berlaku, baik apabila pelaku dan korbannya berada diwilayah
teritorialnya ataupun komputer yang diserang berada diwilayahnya tetapi
sepelaku penyerangan terhadap keamanan komputer tidak berada diwilayahnya. Ketentuan
ini merupakan perluasan dari asas teritorial yang berlaku pada sistem hukum
pidana di masing-masing negara, sedangkan pada ketentuan 1 sub (b) diatas
menyangkut menganai asas nasionalitas. Pada ketentuan ayat (2) menunjukan bahwa
masing-masing negara berhak untuk mengajukan keberatan (reservasi) terhadap pemberlakuan pada ketentuan Ayat (1) sub b, c
dan d, kecuali pada sub a yang harus diperlukan untuk menjamin negara yang
menolak melakukan ekstradisi warga negaranya, tetap mempunyai kemampuan untuk
melakukan investigasi dan proses menurut hukumnya sendiri.[12]
Tata cara penanganan diatas merupakan contoh
yang pernah dilakukan oleh negara-negara di Eropa sehingga terhadap kejahatan
mayantara yang ruang lingkupnya internasional dapat ditangani dan ditanggulangi
berdasarkan ketentuan yang telah disepakati oleh negara-negara yang membuat
kesepakatan tersebut, hal ini mengingat bahwa penanganan kejahatan (tindak
pidana) pada setiap negara yang berdaulat memiliki kekuasaan yuridiksi
masing-masing yang harus senantiasa dihormati oleh negara lain, sehingga tidak
mudah untuk melakukan penerobosan kedalam yuridiksi negara lain tanpa adanya
perjanjian antar negara.
D.PENUTUP
Cyber crime menurut sifatnya adalah
kejahatan yang sulit untuk dideteksi dengan pendekatan hukum pidana pada
umumnya karena terjadi pada dunia maya yang perbuatannya sulit dibuktikan
secara nyata, disamping itu kejahatan mayantara (cyber crime) kerap dilakukan oleh orang yang pandai dan ahli
dibidang teknologi dan terkadang menembus batas teritorial suatu negara,
seperti seseorang yang melakukan kejahatannya terhadap sistem komputer di
Indonesia namun sipelaku tersebut berada di luar Indonesia.
Dalam keadaan demikian, maka perlu adanya
penangan secara khusus yang dimulai dari reformasi kebijakan hukum pidana (penal policy) sampai kepada kebijakan
politik dengan negara-negara lain untuk mengantisipasi dan menanggulangi
kejahatan yang ruang lingkupnya internasional. Pemerintah saat ini sudah mulai
melakukan reformasi hukum di bidang teknologi informasi dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik, sehingga secara substansial penyalahgunaan teknologi informasi
telah mulai di kriminalisasi dalam bentuk yang lebih kongkrit.
Dampak yang dialami sekarang dengan
meluasnya kejahatan mayantara telah memaksa adanya suatu sikap dan upaya dari
pemerintah yang lebih serius dalam menanggulangi kejahatan mayantara dengan
beberapa pendekatan sebagai berikut:
1.Pemerintah
Indonesia harus terus melakukan kerjasama dengan negara-negara lain didunia menyangkut
pencegahan dan penanganan kejahatan mayantara yang melibatkan yuridiksi
internasional
2.Memperbaiki
sistem hukum pidana di Indonesia terutama menyangkut asas teritorial dalam KUHP
agar dapat lebih fleksibel dalam menjangkau kasus-kasus tindak pidana mayantara
yang berskala internasional;
3.Memberikan
pendidikan khusus bagi para penegak hukum baik Polisi, Jaksa maupun Hakim
dibidang kejahatan mayantara.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahib dkk. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime),
Refika Aditama Bandung, 2005
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1986