Mengenai Saya

Foto saya
Way Kanan, Lampung, Indonesia
Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu

Senin, 23 Juli 2012

HUKUM ACARA PERDATA
Tentang
Ketidakhadiran Para Pihak Dalam Proses Berperkara
(Gugur dan Verstek)

Oleh: D.Y. Witanto


S
empitnya ruang lingkup pengaturan undang-undang menyangkut persoalan ketidakhadiran dalam proses berperkara telah menimbulkan banyak masalah di dalam praktik persidangan perkara perdata, khususnya dalam perkara-perkara yang mengandung sengketa (contentiosa). Undang-undang hanya mengatur mengenai ketidakhadiran pihak penggugat hanya dalam Pasal 124 HIR/148 RBg saja, sedangkan terhadap ketidakhadiran pihak tergugat hanya diatur oleh Pasal 125-129 HIR/149-153 Rbg, sehingga tidak heran jika persoalan mengenai ketidakhadiran para pihak dalam proses berperkara tidak pernah menjadi bahan kajian secara khusus dan tersendiri, namun hanya sebatas menjadi bab atau bahkan sub-bab dari pembahasan tentang hukum acara perdata secara umum, padahal konsekuensi dan akibat hukum atas ketidakhadiran itu dapat berdampak luas bagi para pihak yang berperkara.
Banyak muncul problematika yang disebabkan oleh perbedaan pendapat di kalangan praktisi maupun akademisi menyangkut penerapan beberapa aturan di dalam hukum acara terhadap ketidakhadiran para pihak dalam proses berperkara, antara lain menyangkut mengenai keabsahan panggilan, ruang lingkup kehadiran dan ketidakhadiran, proses pembuktian dalam acara verstek, upaya hukum terhadap putusan di luar hadir dan jangka waktu untuk mengajukan perlawanan (verzet). Kondisi tersebut di picu oleh adanya kekosongan hukum (vacuum of law) dan ketidakjelasan secara tekstual dalam rumusan undang-undang hukum acara perdata yang berlaku saat ini (HIR, RBg maupun Rv) yang secara substansial merupakan hasil konkordansi dari undang-undang peninggalan kolonial.
Kesalahan dan kekeliruan hakim dalam menerapkan ketentuan acara terhadap ketidakhadiran para pihak, kerap merugikan kepentingan salah satu pihak, karena setiap putusan yang dijatuhkan di luar hadir selalu didahului oleh proses pemeriksaan secara sepihak. Dalam buku ini penulis mencoba untuk mengungkap segala seluk beluk dan persoalan mengenai ketidakhadiran para pihak dalam proses berperkara, bahkan penulis mencoba untuk menyajikan beberapa permasalahan menarik yang belum pernah diungkap dan dibahas sebelumnya, sekaligus dengan berbagai bentuk usulan solusinya, sehingga diharapkan buku ini dapat memberikan gambaran yang jelas, terang dan menyeluruh menyangkut konsekuensi hukum yang dapat diterapkan terhadap ketidakhadiran para pihak di dalam proses berperkara.
Untuk memperkaya kajian dan pembahasan dalam buku ini penulis mencoba memadukan antara aturan perundang-undangan, yurisprudensi, SEMA, teori-teori hukum dan konsep-konsep penalaran yang dibangun berdasarkan pengamatan dan pengalaman di dalam praktik, sehingga diharapkan dapat memberikan penjelasan secara lebih luas bagi khalayak pembaca yang ingin mempelajari tentang teknik-teknik persidangan dalam perkara perdata, khususnya menyangkut tentang putusan gugur dan verstek. Kandungan dalam buku ini juga akan bermanfaat bagi para praktisi (hakim dan advokat) maupun para akademisi (dosen dan mahasiswa) karena substansinya mencakup khasanah, baik teori maupun praktik. Buku tersebut rencananya terbagi atas 5 bab sebagai berikut:
BAB. I
PENDAHULUAN
A.    Kewenangan Pengadilan Negeri dalam Memeriksa
Perkara Perdata              (1)
B.     Sistematika Putusan Perkara Perdata                        (10)
1.      Judul Dan Nomor Putusan                 (10)
2.      Irah-Irah Putusan                   (11)
3.      Identitas Para Pihak                (14)
4.      Duduk Perkara                        (15)
5.      Alat-Alat Bukti                       (16)
6.      Pertimbangan Hukum            (17)
7.      Amar Putusan                        (20)
8.      Uraian Penutup                      (20)
9.      Tanda Tangan Hakim Dan Panitera              (21)
C.     Penggolongan Jenis-Jenis Putusan Dalam Perkara Perdata.          (21)
1.      Putusan Berdasarkan Fungsinya                   (21)
2.      Putusan Berdasarkan Sifatnya                       (24)
3.      Putusan Berdasarkan Isinya               (26)
4.      Putusan Berdasarkan Kehadiran Para Pihaknya                    (27)
D.    Fungsi Dan Makna Kehadiran Para Pihak Dalam Proses Berperkara (29)
E.     Pengertian Dan Penggunaan Istilah Bagi Ketidakhadiran Para Pihak (33)
F.      Pengaturan Putusan Di Luar Hadir Dalam Undang-Undang        (36)

BAB 2
PRINSIP-PRINSIP YANG BERLAKU PADA PUTUSAN DI LUAR HADIR
A.    Putusan Gugur Dan Verstek Berlaku Pada Perkara Contentiosa (49)
B.     Putusan Di Luar Hadir Dijatuhkan Dengan Prinsip Kehati-Hatian. (51)
  1. Penilaian Tentang Sah atau Tidaknya Panggilan Terhadap Para Pihak. (51)
  2. Penilaian Tentang Alasan Ketidakhadiran     (52)
  3. Penilaian Tentang Jarak antara Tempat Tinggal Para Pihak Dengan Pengadilan     (54)
C.     Dalam Putusan Verstek Hakim Wajib Memberikan Pertimbangan Yang Cukup (Voldoende Gemotiveerd)     (55)
D.    Prinsip Perlindungan Hak Dan Kepentingan Pihak Yang Hadir Mematuhi Panggilan.          (57)
E.     Putusan Di Luar Hadir Merupakan Sanksi Bagi Pihak Yang Ingkar Terhadap Panggilan Pengadilan      (58)
F.      Putusan Di Luar Hadir Menggunakan Prinsip Acara Persidangan Yang Sederhana                (59)
G.    Ketidakhadiran Salah Satu Pihak Mengesampingkan Kewajiban Mediasi                     (60)
H.    Prinsip Kehadiran Salah Satu Dari Tergugat Menghalangi Dijatuhkan Putusan Verstek                    (62)
I.        Prinsip Putusan Gugur Mengesampingkan Putusan Verstek       (63)

BAB 3
SYARAT-SYARAT  DIJATUHKAN PUTUSAN DI LUAR HADIR
A.    Penggugat/Tergugat Telah Dipanggil Secara Sah               (65)
B.     Prosedur Pemanggilan Dalam Perkara Perceraian              (81)
C.     Penggugat/Tergugat Tidak Memenuhi Panggilan Pengadilan. (83)
D.    Dalam Hal Penggugat/Tergugatnya Lebih Dari Seorang, Ketidakhadiran Bersifat Menyeluruh.     (91)
E.     Penggugat/Tergugat Tidak Mengutus Wakilnya Yang Sah.         (94)
Ad. 1. Kuasa Secara Umum         (91)
Ad. 2. Kuasa Khusus                   (97)
F.      Tidak Hadirnya Penggugat/Tergugat Tanpa Alasan Yang Sah. (104)
G.    Tergugat Tidak Mengajukan Eksepsi Kewenangan Mengadili. (110)
  1. Kompetensi Absolut    (111)
  2. Kompetensi Relatif      (113)
a.      Prinsip Gugatan Berdasarkan Domisili Tergugat (Actor Secquitor Forum Rei) (113)
b.      Prinisp Gugatan Berdasarkan Domisili Penggugat             (113)
c.       Prinsip Gugatan Berdasarkan Tempat Dimana Barang Tetap Berada (Forum Rei Sitae)      (114)
d.     Prinsip Gugatan Berdasarkan Domisili Pilihan       (114)
e.      Prinsip Gugatan Berdasarkan Pengadilan Yang Ditunjuk Oleh Undang-Undang         (115)

BAB. 4
BENTUK PUTUSAN  DI LUAR HADIR (GUGUR DAN VERSTEK)
A.    Pengantar            (119)
B.     Putusan Verstek Yang Berisi Mengabulkan Seluruh Gugatan      (132)
C.     Putusan Verstek Yang Berisi Mengabulkan Sebagian Gugatan  (134)
D.    Putusan Verstek Yang Berisi Penolakan Gugatan               (136)
E.     Putusan Verstek Yang Menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima (139)

BAB. 5
PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK (VERZET)
A.    Penggunaan Istilah Verzet Di Dalam Praktik           (143)
B.     Sifat Perlawanan Terhadap Putusan Verstek (Verzet)        (144)
C.     Tenggang Waktu Pengajuan Perlawanan      (148)
1.      Jika Diberitahukan Langsung Kepada Si Tergugat, Berlaku Jangka Waktu Perlawanan Selama 14 Hari Sejak Pemberitahuan            (150)
2.      Jika Tidak Diberitahukan Secara Langsung Kepada Si Tergugat, Maka Perlawanan Dapat Diajukan Sampai Hari Ke 8 Setelah Teguran (Aanmaning)       (152)
3.      Jika Atas Teguran (Aanmaning) Tergugat Tidak Hadir, Maka Dapat Diajukan Sampai Hari Ke 8 Sesudah Dijalankan Sita Eksekusi         (155)
4.      Hak Mengajukan Perlawanan Jika Pemberitahuan Dilakukan Secara Umum Melalui Pemerintah Daerah            (162)
5.      Beberapa Permasalahan Dalam Praktik Tentang Jangka Waktu Pengajuan Perlawanan (Verzet) Terhadap Putusan Verstek         (164)
D.    Pihak-Pihak Yang Berhak Mengajukan Perlawanan           (171)
  1. Hak Untuk Mengajukan Perlawanan Adalah Hak Bagi Tergugat Yang Dikalahkan Oleh Putusan Verstek            (172)
  2. Penggugat Tidak Memiliki Hak Untuk Mengajukan Perlawanan     (173)
  3. Dalam Hal Tergugat Meninggal Dunia Para Ahli Waris Dapat Menggantikan Posisi Tergugat Untuk Mengajukan Perlawanan  (174)
  4. Perlawanan Dapat Diajukan Oleh Kuasa Tergugat Yang Sah          (175)
  5. Dalam Hal Para Ahli Waris Belum Dewasa, Maka Perlawanan Dapat Diajukan Oleh Seorang Walinya Yang Sah      (176)
  6. Dalam Hal Tergugat Dinyatakan Tidak Cakap Bertindak Karena Gangguan Jiwa Setelah Putusan Verstek Dijatuhkan, Maka Pengampu Berhak Untuk Mengajukan Perlawanan        (177)
E.     Proses Acara Persidangan Verzet       (178)
  1. Perkara Perlawanan Terhadap Putusan Verstek Tidak Diberikan Nomor Perkara Baru.      (178)
  2. Pihak Pelawan Wajib Membayar Panjar Biaya Perkara         (178)
  3. Komposisi Para Pihak Dalam Acara Perlawanan (Verzet) Terhadap Putusan Verstek         (180)
  4. Ketidakhadiran Para Pihak Dalam Acara Verzet        (181)
a.      Ketidakhadiran Penggugat/Terlawan           (181)
b.      Ketidakhadiran Tergugat/Pelawan               (182)
c.       Ketidakhadiran Pelawan Maupun Terlawan            (185)
  1. Tata Cara Proses Persidangan Acara Perlawanan                 (186)
F.      Bentuk Dan Isi Putusan Perlawanan Terhadap Putusan Verstek  (214)
G.    Beberapa Permasalahan Yang Terjadi Di Dalam Praktik               (215)
1.      Permasalahan Menyangkut Amar Dapat Dijalankan Lebih Dulu (Uitvoerbaar Bij Voorraad)  Dalam Putusan Verstek            (215)
  1. Permasalahan Menyangkut Pembuktian Dengan Saksi-Saksi Dalam Putusan Verstek        (226)
  2. Pengajuan Banding Menutup Hak Bagi Tergugat Untuk Mengajukan Perlawanan           (229)
  3. Permasalahan Menyangkut Sita Eksekusi Yang Pernah Diletakan    (233)

DAFTAR PUSTAKA
Lampiran:

Senin, 21 Mei 2012


PROBLEMATIKA PENANGANAN CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF ASAS TERITORIAL DI INDONESIA

D.Y. Witanto[1]



A.    PENDAHULUAN
Dinamika perubahan sosial (social changes) dalam masyarakat tidak dapat dibatasi seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang terus berkembang dengan sangat pesat, bahkan diluar kontrol dan kendali pranata hukum yang tersedia. Perkembangan itu telah mendesak pada perubahan kultur dan prilaku masyarakat kearah dekadensi psikososial. Perubahan prilaku pada sub sistem masyarakat juga berpengaruh pada prevalensi tingkat kejahatan dengan segmen-segmen tertentu yang tidak lagi dilakukan secara konvensional dan manual namun telah menggunakan perangkat-perangkat teknologi yang sulit untuk dilacak baik locus, tempus maupun aktor delictinya.
Berkembangnya kejahatan berbasis teknologi yang terjadi pada dimensi maya ternyata belum mampu ditanggulangi sepenuhnya melalui pendekatan hukum, khususnya hukum pidana (penal approach), maka untuk menyikapi kenyataan itu, negara-negara di dunia dan pakar-pakar teknologi mulai melakukan kajian untuk membentuk suatu kebijakan kriminal (criminal policy) dalam menanggulangi meluasnya kejahatan mayantara (cyber crime) yang tanpa disadari terus berkembang pesat, baik kualitas maupun kuantitasnya. Upaya pemberantasan kejahatan dunia maya tidak cukup hanya dengan melakukan reformasi system hukum, namun juga harus dibarengi dengan upaya membangun kerjasama antar negara dalam penanganan kejahatan yang berskala internasional.
Lembaga-lembaga profit maupun non profit yang menggunakan sistem teknologi informatika sebagai basis penyimpan dan pengolah data mulai merasa resah dengan merajalelanya tindakan-tindakan usil para hacker dan cracker, karena hampir pada setiap ruang cyber yang menggunakan maximum security system ternyata masih sanggup di jebol oleh para hacker dan cracker. Disisi lain meluasnya pornografi dan pornoaksi dengan menggunakan cyber system juga menjadi problem yang belum terpecahkan melalui kebijakan hukum nasional saat ini, karena meningkatnya kebutuhan manusia terhadap system informasi global dalam setiap aspek kehidupan telah mendorong tingginya penggunaan fasilitas internet dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan upaya-upaya pembatasan yang saat ini terus dilakukan juga belum menunjukan hasil yang significan.
Kesulitan yang terjadi dalam melakukan penganggulangan dan pemberatantasan kejahatan mayantara lebih disebabkan karena antara pelaku dan korban pada umumnya tidak berada pada suatu tempat yang sama, atau bahkan sama sekali tidak pernah bertemu di dunia yang nyata. sehingga sangat sulit untuk menetukan locus dan tempus delictinya dengan metode atau teori hukum pidana pada umumnya, sedangkan berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement) terhadap kejahatan mayantara yang berdimensi trans nasional para penegak hukum selalu terkendala dengan batas yuridiksi suatu negara. Dalam ketentuan perundang-undangan hukum pidana kewenangan penegakan hukum selalu dibatasi oleh batas yuridiksi (teritorialitas) yang tidak mungkin di tembus tanpa adanya perjanjian ekstradisi atau perjanjian khusus antar negara.
Seiring dengan berkembangnya zaman yang terus bergerak menuju era serba teknologi yang berbasis informatika dan telematika, maka aktifitas komunikasi manusia di seluruh belahan dunia sudah tidak mungkin lagi dibatasi oleh batas kewenangan territorial suatu negara. Dunia komunikasi dan transaksi bisnis yang berskala internasional sudah menjadi bagian kehidupan manusia dan terus berkembang dengan sangat cepat sebagai suatu kebutuhan yang tidak terelakan pada saat ini. Mewabahnya kejahatan dunia maya (cyber crime) baik dalam bentuk kejahatan informasi (information crime) seperti pornografi dan pornoaksi maupun kejahatan lain yang menggunakan fasilitas teknologi informatika seperti pembobolan sistem perbankan yang dilakukan antar negara sudah menjadi persoalan seluruh negara di dunia, sehingga untuk menanggulanginya tidak mungkin dilakukan secara manual dan parsial, namun harus menggunakan sistem teknologi dan melibatkan seluruh negara-negara yang ada di dunia.

B.  CYBER CRIME MENURUT PANDANGAN HUKUM PIDANA
Menurut Marc Ansel bahwa Ilmu Hukum Pidana Modern (modern criminal science) mengandung tiga komponen yang antara lain ”criminology” ”criminal law” dan ”penal policy” dikemukakan juga olehnya bahwa ”penal policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan[2]
Kejahatan ekstra teritorial (trans nasional) atau biasa disebut Tindak Pidana Internasional adalah kejahatan yang melibatkan yuridiksi dari dua atau beberapa negara sekaligus. Pertautan antara dua atau beberapa negara yang sama-sama punya kewenangan untuk melakukan penegakan hukum dapat terjadi karena terdapat beberapa titik singgung antara lain:
1.      Memiliki dampak pada lebih dari satu negara;
2.      Menyangkut lebih dari satu kewarganegaraan;
3.      Menggunakan sarana/prasarana yang melampaui batas-batas suatu negara;
Dalam hal suatu kejahatan mengandung salah satu dari 3 (tiga) titik singgung diatas, maka sudah termasuk dalam dimensi Hukum Pidana Internasional yang penanganannya tidak bisa lagi hanya melibatkan kompetensi dari satu negara,[3] namun harus melibatkan dua atau beberapa negara yang sama-sama berwenang untuk melakukan proses penengakan hukum berdasarkan ketentuan hukum dinegaranya. Kewenangan suatu negara menurut prinsip hukum internasional dibatasi oleh dua hal:
1.      kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu; dan
2.      kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain dimulai.[4]
Era globalisasi telah membawa semua tatanan kehidupan serba teknologi dan internet, hampir semua sisi kehidupan manusia bisa berhubungan dengan internet, baik siang maupun malam baik dalam kehidupan bisnis, pendidikan maupun hiburan, dari fenomena itulah kemudian sisi negatif dari penggunaan internet tidak bisa dihindari, pelaku-pelaku yang memiliki kemampuan akses kedunia internet dapat menyalahgunakan pemanfaatannya untuk sebuah tindakan jahat.
Menurut kepolisian Inggris Cyber Crime adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan/atau  kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi digital[5]. Indra Safitri memberikan pembatasan mengenai kejahatan dunia maya sebagai jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan di akses oleh pelanggan internet.[6] Sedangkan PBB dalam kongres ke X tahun 2000 menyatakan bahwa cyber crime atau computer-related crime mencakup keseluruhan bentuk-bentuk baru dari kejahatan yang ditujukan pada komputer, jaringan komputer dan para penggunanya, dan bentuk kejahatan-kejahatan tradisional yang sekarang dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer[7]
Menurut ketentuan Pasal 2 KUHP bahwa: ”ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu delik di Indonesia” ketentuan tersebut merupakan landasan berlakunya asas teritorial terhadap penegakan hukum pidana yang terjadi dalam wilayah Negara Indonesia, namun demikian terhadap Pasal 2 diatas terdapat pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 3 yang menyebutkan ”Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan delict didalam perahu atau pesawat udara Indonesia”, dan Pasal 4 yang menyebutkan pengecualian berdasarka jenis-jenis kejahatan tertentu.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memberikan beberapa fasilitas menyangkut penanganan tindak pidana mayantara (cyber crime) yang dilakukan oleh orang yang berada di luar wilayah yuridiksi Negara Indonesia, yaitu dengan melakukan kerjasama pada saat penangkapan dan penyidikan kasus tersebut. Hampir pada setiap tindak pidana yang melibatkan beberapa yuridiksi suatu negara memerlukan penangangan secara ekstra ordinary karena kewenangan dalam melakukan tindakan-tindakan pro justicia akan terbentur dengan batas kewenangan berlakunya sistem hukum pidana dalam suatu negara.
Beberapa perjanjian kerjasama yang dapat menjadi contoh dalam penanganan kejahatan mayantara (cyber crime) dalam dimensi internasional antara lain seperti yang pernah dilakukan oleh negara-negara di Eropa dengan ”Draft Convention on Cyber Crime” disitu diatur mengenai tata cara penanganan kejahatan mayantara yang melibatkan negara-negara peserta kerjasama tersebut. Sedangkan PBB sendiri telah beberapa kali melakukan kongres dalam rangka membahas penanggulangan kejahatan ini, dengan dikeluarkanya beberapa kebijakan dalam menyangkut pencegahan dan penanganan kejahatan mayantara.

C.  CYBER CRIME DALAM DIMENSI KEJAHATAN INTERNASIONAL
Dalam sistem penanggulangan kejahatan, setiap kejahatan harus di bedakan antara kejahatan biasa (ordinary crime) dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Metoda penanggulangan kejahatannya tidak bisa disamakan antara satu kejahatan dengan kejahatan yang lain tergantung dari jenis dan karakteristik kejahannya. Kejahatan yang bersifat ekstra ordinary tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan law inforcement pada umumnya, namun harus menggunakan sistem-sistem dan pranata yang khusus karena akan berhadapan dengan beberapa persoalan dalam upaya penanggulangannya  antara lain:
1.      persoalan teritorial
2.      persoalan pembuktian
3.      persoalan locus dan tempus delicti; dan
4.      persoalan dampak/akibat yang ditimbulkannya
Cyber Crime merupakan salah satu genus dari kelompok kejahatan ekstra ordinary karena mengandung beberapa variable seperti yang disebutkan diatas, sehingga metode penanggulangannya harus dilakukan secara khusus melibatkan para pemangku kepentingan (stake holder) dan ahli-ahli dibidang cyber, bahkan dalam kasus-kasus tertentu cyber crime harus melibatkan kebijakan politik antar bangsa untuk bisa menaggulanginya, baik dengan perjanjian ekstradisi maupun dengan perjanjian-perjanjian internasional lainnya dalam bentuk konvensi intenasional.
Nazura Abdul Manap membedakan tipe-tipe dari cyber crime menjadi 3 (tiga) yaitu:
·         Cyber crimes againts property, meliputi Theft (berupa theft of information, theft of propoery dan theft of services), Fraud/Cheating, Forgery, dan Mischeif.
·         Cyber crimes againts persons, meliputi pornography, cyberharassment, cyber stalking dan cyber-trespass. Cyber-trespass meliputi Spam E-mail, Hacking a Web Page dan Breaking into Personal Computer.
·         Cyber-terrorism.[8]
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 43 Ayat (8) disebutkan bahwa “dalam rangka mengungkap tindak pidana informasi elektronik dan transaksi elektronik penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti”ketentuan tersebut dapat memberikan fasilitas hukum kepada para penegak hukum (penyelidik dan penyidik) untuk melakukan kerjasama penyidikan lintas negara dengan penagak hukum di negara lain, namun hal tersebut tetap tidak dapat terlepas dari respon dan hubungan baik antar negara, artinya tanpa adanya hubungan ekstradisi dan kerjasama antar negara para penegak hukum tetap tidak bisa menerobos batas kewenangan suatu negara.
Ruang lingkup Cyber law antara lain sebagaimana diungkapkan oleh Jonathan Rosenoer dalam Cyber law, the law of internet sebagai berikut:
  1. Hak Cipta (copy right)
  2. Hak Merek (trade mark)
  3. Pencemaran nama baik (defamation)
  4. Fitnah, penistaan, penghinaan (hate speech)
  5. Serangan terhadap fasilitas komputer (hacking, viruses, illegal access)
  6. Pengaturan sumber daya internet seperti IP address domein name dll
  7. Kenyamanan individu (privacy)
  8. Prinsip kehati-hatian (duty care)
  9. Tindakan kriminal biasa yang menggunakan TI sebagai alat;
  10. Isu prosedural seperti yuridiksi, pembuktian, penyidikan dll
  11. Kontrak/transaksi elektronik dan tanda tangan digital;
  12. Pornografi termasuk pornografi anak;
  13. Pencurian melalui internet;
  14. Perlindungan konsumen;
  15. Pemanfaatan internet dalam aktivitas keseharian manusia seperti e-commerce, e-government, e-education dan lain sebagainya[9]
Dalam rangka upaya untuk menanggulangi cyber crime tersebut Resolusi Kongres PBB ke VIII/1990 mengenai Computer Related Crime mangajukan beberapa kebijakan antara lain sebagai berikut:
  1. Menghimbau negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut:
    1. Melakukan modernisasi hukum pidana materiil dan hukum acara pidana;
    2. Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer;
    3. Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka (sensitif) warga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer (untuk selanjutnya dalam kutipan ini disingkat dengan istilah Cyber Crime (CC)
    4. Melakukan upaya-upaya pelatihan (training) bagi para hakim pejabat dan aparat penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan Cyber Crime (CC)
    5. Memperluas rule of crime dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya melalui kurikulum informasi;
    6. Mengadopsi kebijakan perlindungan korban Cyber Crime (CC) sesuai dengan deklarasi PBB mengenai korban dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong melaporkan adanya Cyber crime (CC)
  2. Menghimbau negara anggota meningkatkan kegiatan nasional dalam upaya penanggulangan Cyber crime (CC)”
  3. Merekomendasikan kepada komite Pengendalian dan Pencegahan kejahatan (Committee on Crime Prevention and Control) PBB untuk:
    1. Menyebarluaskan pedoman dan standar untuk membantu negara anggota menghadapi Cyber crime (CC) ditingkat nasional, regional dan internasional;
    2. Mengembangkan penelitian dan analisis lebih lanjut guna menemukan cara-cara baru menghadapi problem Cyber crime (CC) dimasa yang akan datang;
    3. Mempertimbangkan Cyber Crime (CC) sewaktu meninjau pengimplementasian perjanjian ekstradisi dan bantuan kerjasama dibidang penanggulangan kejahatan [10]
Selanjutnya menyangkut penangangan kejahatan mayantara yang berdimensikan lintas negara (trans nasional) atau internasional maka negara-negara di Eropa telah melakukan kerjasama dengan membuat kesepakatan yang dikenal dengan ”Draft Convention on Cyber Crime berisi:
  1. Tiap pihak (negara) akan mengambil langkah-langkah legislatif dan pihak lain yang diperlukan untuk menetapkan yuridiksi terhadap setiap tindak pidana yang ditetapkan sesuai dengan Pasal 2 sampai Pasal 11 konvensi ini apabila tindak pidana itu dilakukan;
    1. Didalam wilayah teritorialnya;
    2. Diatas kapal yang mengibarkan bendera negara yang bersangkutan;
    3. Diatas pesawat yang terdaftar menurut hukum negara yang bersangkutan; atau
    4. Oleh seorang dari warga negaranya apabila tindak pidana itu dapat dipidana menurut hukum pidana ditempat tindak pidana itu dilakukan atau apabila tindak pidana itu dilakukan diluar yuridiksi teritorial setiap negara;
  2. Setiap negara berhak untuk tidak menerapakan atau hanya menerapkan aturan yuridiksi sebagaimana disebut dalam Ayat (1) b – Ayat (1) d pasal ini dalam kasus-kasus atau kondisi-kondisi tertentu.
  3. Tiap pihak (negara) akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menerapkan yuridiksi terhadap tindak pidana yang ditunjuk dalam Pasal 24 (1) konvensi ini (pasal tentang ekstradisi) dalam hal tersangka berada dalam wilayahnya dan negara itu tidak mengekstradisi tersangka itu kenegara lain (semata-mata berdasar alasan kewarganegaraan tersangka) setelah adanya permintaan ekstradisi.
  4. Konvensi ini tidak meniadakan yuridiksi kriminal yang dilaksanakan sesuai dengan hukum domestik (hukum negara yang bersangkutan).
  5. Apabila lebih dari 1 (satu) pihak (negara) menyatakan berhak atas yuridiksi tindak pidana dalam konvensi ini maka para pihak yang terlibat akan melakukan konsultasi untuk menetapkan yuridiksi yang paling tepat untuk penuntutan.[11]
Berdasarkan ketentuan 1 sub (a) diatas bahwa penanganan dilakukan berdasarkan asas teritorial atau yuridiksi teritorial yang berlaku, baik apabila pelaku dan korbannya berada diwilayah teritorialnya ataupun komputer yang diserang berada diwilayahnya tetapi sepelaku penyerangan terhadap keamanan komputer tidak berada diwilayahnya. Ketentuan ini merupakan perluasan dari asas teritorial yang berlaku pada sistem hukum pidana di masing-masing negara, sedangkan pada ketentuan 1 sub (b) diatas menyangkut menganai asas nasionalitas. Pada ketentuan ayat (2) menunjukan bahwa masing-masing negara berhak untuk mengajukan keberatan (reservasi) terhadap pemberlakuan pada ketentuan Ayat (1) sub b, c dan d, kecuali pada sub a yang harus diperlukan untuk menjamin negara yang menolak melakukan ekstradisi warga negaranya, tetap mempunyai kemampuan untuk melakukan investigasi dan proses menurut hukumnya sendiri.[12]
Tata cara penanganan diatas merupakan contoh yang pernah dilakukan oleh negara-negara di Eropa sehingga terhadap kejahatan mayantara yang ruang lingkupnya internasional dapat ditangani dan ditanggulangi berdasarkan ketentuan yang telah disepakati oleh negara-negara yang membuat kesepakatan tersebut, hal ini mengingat bahwa penanganan kejahatan (tindak pidana) pada setiap negara yang berdaulat memiliki kekuasaan yuridiksi masing-masing yang harus senantiasa dihormati oleh negara lain, sehingga tidak mudah untuk melakukan penerobosan kedalam yuridiksi negara lain tanpa adanya perjanjian antar negara.

D.    PENUTUP
Cyber crime menurut sifatnya adalah kejahatan yang sulit untuk dideteksi dengan pendekatan hukum pidana pada umumnya karena terjadi pada dunia maya yang perbuatannya sulit dibuktikan secara nyata, disamping itu kejahatan mayantara (cyber crime) kerap dilakukan oleh orang yang pandai dan ahli dibidang teknologi dan terkadang menembus batas teritorial suatu negara, seperti seseorang yang melakukan kejahatannya terhadap sistem komputer di Indonesia namun sipelaku tersebut berada di luar Indonesia.
Dalam keadaan demikian, maka perlu adanya penangan secara khusus yang dimulai dari reformasi kebijakan hukum pidana (penal policy) sampai kepada kebijakan politik dengan negara-negara lain untuk mengantisipasi dan menanggulangi kejahatan yang ruang lingkupnya internasional. Pemerintah saat ini sudah mulai melakukan reformasi hukum di bidang teknologi informasi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, sehingga secara substansial penyalahgunaan teknologi informasi telah mulai di kriminalisasi dalam bentuk yang lebih kongkrit.
Dampak yang dialami sekarang dengan meluasnya kejahatan mayantara telah memaksa adanya suatu sikap dan upaya dari pemerintah yang lebih serius dalam menanggulangi kejahatan mayantara dengan beberapa pendekatan sebagai berikut:
1.      Pemerintah Indonesia harus terus melakukan kerjasama dengan negara-negara lain didunia menyangkut pencegahan dan penanganan kejahatan mayantara yang melibatkan yuridiksi internasional
2.      Memperbaiki sistem hukum pidana di Indonesia terutama menyangkut asas teritorial dalam KUHP agar dapat lebih fleksibel dalam menjangkau kasus-kasus tindak pidana mayantara yang berskala internasional;
3.      Memberikan pendidikan khusus bagi para penegak hukum baik Polisi, Jaksa maupun Hakim dibidang kejahatan mayantara.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahib dkk. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama Bandung, 2005
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1986

-------------- Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia, dikutip dari http://andi-hamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan.html, Rabu 28 Okyober 2009


Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bangung, 2003
-------------- Bunga Rampai Kebijakan Hukum PidanaPerkembangan Penyusunan KUHP baru, Kencana Praneda Media Group, Jakarta, 2008
Engelbrecht, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT internusa Jakarta 1989
Indra Safitri, Makalah tentang: Tindak Pidana Dunia Cyber, Inseden Legal Jurnal Form Indonesian Capital & Invesment Market; 1999
Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems (London Rautladge & Kegan Paul 1965
Mas Wigrantoro Roes Setyadi, situs internet “Seri Pengenalan Cyber Law; Apa dan Bagaimana? Global Internet Policy Initiative (GIPI)
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT Alumni Bandung, 2003
Opeinheim-Lauterpacht, International Law, vol. 8, London, 1955
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Elektronika dan Trasnsaksi Elektronika


[1]       Penulis adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu
[2]       Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems (London Rautladge & Kegan Paul 1965), hlm: 4-5
[3]       Opeinheim, International Law, vol. 8, hlm: 451
[4]       Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT Alumni Bandung, hlm: 18
[5]       Abdul Wahib dkk. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama Bandung, hlm: 40
[6]       Indra Safitri, Makalah tentang: Tindak Pidana Dunia Cyber, Inseden Legal Jurnal Form Indonesian Capital & Invesment Market;
[7]       Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bangung, hlm: 259

[8]       Andi Hamzah, Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia, dikutip dari http://andi-hamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan.html, Rabu 28 Okyober 2009


[9]       Mas Wigrantoro Roes Setyadi, “Seri Pengenalan Cyber Law; Apa dan Bagaimana? Global Internet Policy Initiative (GIPI)
[10]     Barda Nawawi Arif, Loc.cit, hlm: 244
[11]  Ibid, hlm: 224
[12] Abdul Wahib dkk. Op.cit hlm: 76