Mengenai Saya

Foto saya
Way Kanan, Lampung, Indonesia
Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu

Senin, 07 November 2011

SEGERA TERBIT BUKU BARU

DIMENSI KERUGIAN NEGARA
DALAM HUBUNGAN KONTRAKRUAL
Suatu Tinjauan terhadap Resiko Kontrak dalam Proyek Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah

Penulis: D.Y WITANTO, SH



Posisi kerugian negara dalam sebuah dimensi hukum, ibarat berdiri diantara tiga persimpangan. Masing-masing persimpangan itu tidak lain adalah Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Hukum Administrasi Negara. Persoalan kerugian negara tidak hanya sebatas pada kepentingan untuk menghitung jumlah kekayaan negara yang keluar tanpa imbal prestasi yang seimbang atau sekedar menentukan selisih nilai pembayaran yang tidak mengandung kemanfaatan bagi negara, namun lebih dari itu, kerumitan menyangkut persoalan kerugian negara betumpu pada penentuan wilayah domain dari suatu perbuatan yang menjadi sebab timbulnya kerugian tersebut. Titik singgung dari tiga aspek hukum yang menyelimuti kerugian negara kerap menjadi perdebatan dikalangan praktisi maupun akademisi menyangkut kompetensi penyelesaian hukum dalam proses recovery, namun yang memprihatinkan adalah ketika ada upaya-upaya tertentu untuk menggiring asumsi publik bahwa dalam setiap kerugian negara selalu mengandung perbuatan korupsi. 

Sering terlupakan bahwa kergian negara juga bisa timbul karena hubungan kontraktual. Ketika negara menjadi pihak dalam suatu perjajian, seperti pada proyek pengadaan barang/jasa dilingkungan pemerintah, maka negara juga memiliki hak dan resiko yang sama dengan pelaku perjanjian pada umumnya. Pada saat hak dan kewajiban kontrak tidak terlaksana dengan sempurna, maka akan muncul resiko yang dapat menimbulkan kerugian bagi para pihak, tidak tekecuali juga bagi negara, karena hukum kontrak menempatkan posisi para pihak dalam kedudukan yang seimbang. Tidak mudah untuk menentukan batas dan wilayah penyebab kerugian negara yang mengandung titik singgung persoalan tertentu, sehingga perlu adanya kearifan intelektual untuk memberikan batasan bagi kerugian negara sebagai akibat dari hubungan kontraktual agar tidak timbul keragu-raguan bagi para pelaksana kontrak yang melibatkan negara sebagai pihak didalamnya oleh metode penyelesaian yang cenderung menggunakan pendekatan hukum pidana (korupsi).

buku ini diharapkan mampu memberikan gambaran terhadap kerugian negara dalam ruang lingkup hukum kontrak, sehingga tercipta pemahaman yang proporsional terhadap aspek penyelenggaraan kontrak pengadaan barang/jasa instansi pemerintah yang secara subsansial terkait dengan penggunaan dana dari keuangan negara.

Buku tersebut berisi:

BAB.I PENDAHULUAN
A. Tinjauan Tentang Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah (1)
B. Prinsip-Prinsip Dasar dalam Proyek Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah (7)
1. Efisien (7)
2. Efektif (9)
3. Transparan (11)
4. Terbuka (3)
5. Bersaing
6. Adil/Tidak Diskriminatif (15)
7. Akuntabel (16)
C. Landasan Teknis Proses Pengadaan Barang/Jasa (17)
D. Perbedaan Antara Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah Dengan Kontrak Pada Umumnya (21)
1. Pengadaan Barang (23)
2. Pekerjaan Konstruksi (23)
3. Jasa Konsultasi (24)
4. Jasa Lainnya. (25)
E. Ruang Lingkup Pakta Integritas dalam Proses Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah (25)

BAB. II. BEBERAPA SUDUT PANDANG KERUGIAN NEGARA
A. Pengertian Kerugian Negara Secara Umum (34)
B. Metode Perhitungan Kerugian Negara (41)
1. Kerugian Total (Total Loss) (41)
2. Kerugian Total Dengan Penyesuaian (42)
3. Kerugian Bersih (Net Loss) (42)
C. Bentuk-Bentuk Kerugian Negara (43)
1. Kerugian Dalam Bentuk Kehilangan atau Berkurangnya Kekayaan Negara (43)
2. Kerugian dalam Bentuk Menurunnya Nilai Suatu Barang Milik Negara. (47)
3. Kerugian Negara Karena Hilangnya atau Berkurangnya Penerimaan Negara (48)
4. Kerugian Akibat Kelebihan Pembayaran yang Dilakukan oleh Negara (49)
D. Ruang Lingkup Kerugian Negara Menurut Hukum Pidana (51)
1 Unsur Melawan Hukum Dalam Delik Korupsi (55)
2 Kerugian Negara Yang Berkaitan dengan Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain atau Korporasi (61)
3 Hubungan Antara Kerugian Negara dengan Unsur Melawan Hukum (67)
4 Hubungan Antara Kerugian Negara dengan Unsur Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan Atau Sarana (70)
5 Hubungan Antara Kerugian Negara dengan Unsur Menguntungkan Diri Sendiri, Orang Lain atau Korporasi (75)
6 Bentuk-Bentuk Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi (77)
E. Ruang Lingkup Kerugian Negara Menurut Hukum Perdata (81)
1. Kerugian Negara dalam Konsep Hukum Perdata (81)
2. Ruang Lingkup Kerugian Negara dalam Perbuatan Melawan Hukum (82)
3. Ruang Ringkup Kerugian Negara Karena Perbuatan Wanprestasi (84)
F. Ruang Lingkup Kerugian Negara Menurut Hukum Administrasi Negara (86)
G. Hubungan Antara Kerugian Negara dan Kekayaan Negara (93)

BAB. III. RUANG LINGKUP HUKUM KONTRAK
A. Kontrak dan Proses Berakhirnya (98)
1. Kontrak Ditutup Dengan Saling Menepati Janji (Na Koming Der Verbintenissen) (100)
2. Kontrak Berakhir Karena Keadaan Memaksa (Overmacht) (102)
3. Kontrak Gugur Karena Masing-Masing Pihak Secara Diam-Diam Bersepakat Untuk Tidak Berprestasi (107)
4. Kontrak Berakhir Dengan Kebatalan (110)
5. Kontrak Berakhir Karena Salah Satu Pihak Wanprestasi (112)
B. Jenis-Jenis Kontrak Pengadaan Barang/Jasa (113)
1. Kontrak Lump Sum (114)
2. Kontrak Harga Satuan (116)
3. Kontrak Gabungan Lump Sum dan Harga Satuan (118)
4. Kontrak Prosentase (119)
5. Kontrak Terima Jadi (Turn Key) (119)
6. Kontrak Tahun Tunggal dan Kontrak Tahun Jamak (119)
7. Kontrak Pengadaan Tunggal dan Kontrak Pengadaan Bersama (120)
8. Kontrak Payung (Frame Work Contract) (120)
9. Kontrak Pengadaan Pekerjaan Tunggal dan Kontrak Pengadaan Pekerjaan Terintegrasi. (121)
C. Pengaturan Wanprestasi Dalam Undang-Undang (121)
1. Debitur Lalai Karena Dinyatakan Lalai dengan Surat Perintah atau Akta Sejenis (122)
2. Debitur Lalai Karena Perikatannya Sendiri (124)
D. Perikatan Dan Perjanjian (127)
1. Pengertian Perikatan (128)
2. Perjanjian Sebagai Sumber Perikatan (131)
3. Perbedaan Perjanjian dan Perikatan (140)
4. Jenis-Jenis Perikatan (141)
5. Manfaat Pembagian Jenis Perikatan Terhadap Penentuan Wanprestasi (147)
6. Isi Perikatan (148)
7. Wanprestasi Sebagai Bentuk Pelanggaran Terhadap Perikatan (152)

BAB. IV. KERUGIAN NEGARA DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA INSTANSI PEMERINTAH
A. Pengantar (154)
B. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Kontrak Pengadaan Barang/Jasa (155)
1. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) (157)
2. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) (161)
3. ULP/Pejabat Pengadaan (162)
4. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (165)
5. Penyedia Barang/Jasa (166)
C. Kerugian Negara Sebagai Akibat Dari Hubungan Kontraktual (169)
1. Kerugian Negara Ditimbulkan Oleh Kontrak Yang Dibuat Secara Sah (170)
2. Adanya Wanprestasi (185)
D. Kerugian Negara Yang Bukan Akibat Dari Hubungan Kontrak (197)
1. Persekongkolan Yang Menimbulkan Prestasi Tidak Terlaksana (197)
2. Kerugian Akibat Tindakan Mark Up dan Penyusutan Kwalitas Pekerjaan Bukan Bagian dari Resiko Kontrak (199)
3. Kerugian Yang Timbul dari Proses Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Yang Tidak Sah Bukan Bagian dari Resiko Kontrak (200)
4. Kerugian Yang Timbul Akibat Kelebihan Pembayaran Prestasi Yang Disengaja Bukan Bentuk dari Resiko Kontrak (203)
5. Kerugian Yang Timbul Karena Kelalaian PPK Dalam Melakukan Klaim Jaminan/Asuransi Bukan Bagian dari Resiko Kontrak (204)

BAB. V. UPAYA PENYELESAIAN (RECOVERY) TERHADAP KERUGIAN NEGARA DALAM HUBUNGAN KONTRAKTUAL
A. Pengantar (207)
B. Penyelesaian Sengketa Kerugian Negara Secara Musyawarah (210)
C. Penyelesaian Melalui Forum Arbitrase (211)
D. Penyelesaian Melalui Forum ADR (Medisi) (213)
E. Penyelesaian Melalui Forum Litigasi (215)
1. Pendaftaran Gugatan (215)
2. Proses Pemanggilan (220)
3. Upaya Mediasi (224)
4. Proses Pembuktian (225)
5. Putusan (229)
6. Eksekusi (230)
Daftar Pustaka (234)
Daftar Singkatan (239)
Lampiran (241)

Rabu, 27 Juli 2011

Varia Peradilan Edisi XXVI No. 308 Juli 2011

MEMAHAMI PERBEDAAN ANTARA WANPRESTASI DAN DELIK PENIPUAN DALAM HUBUNGAN KONTRAKTUAL

D.Y. WITANTO




A. PENDAHULUAN
Sudah seperti hal biasa, jika seorang kreditur kesulitan untuk meminta pelaksanaan prestasi dari pihak debitur, maka upaya yang ditempuh adalah melaporkan peristiwa itu ke polisi dengan tuduhan penipuan (eks: Pasal 378 KUHP). Ada beberapa hal yang menjadi motivasi orang untuk mengambil jalan pintas seperti itu, mulai dari sekedar ingin menakut-nakuti agar debitur melaksanakan prestasinya, sampai dengan benar-benar bertujuan untuk memenjarakan si debitur karena sudah terlalu kesal dengan tindakan debitur yang selalu mangkir dari kewajibannya. Lemahnya pemahaman para penegak hukum tentang karakteristik wanprestasi dan delik penipuan juga menjadi penyebab terjadinya miss prosedural dalam penanganan kasus-kasus yang timbul dari hubungan kontraktual. Hal itu sering terjadi karena ada beberapa unsur dalam delik penipuan yang memiliki kemiripan dengan wanprestasi dalam suatu perjanjian. Sehingga jika tidak dilakukan penelaahan secara cermat terhadap sifat dan substansinya, maka akan tersesat pada kesimpulan bahwa antara wanprestasi dan delik penipuan memiliki unsur perbuatan materiil yang sama.

Memang disatu sisi kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada kreditur yang membuat laporan polisi, karena semua itu merupakan bentuk dari akumulasi kekesalan yang dialami si kreditur atas tindakan debitur yang selalu berkelit dari kewajibannya. Ditambah lagi rumitnya prosedur hukum melalui jalur gugatan menjadi pemicu bagi orang untuk mengambil jalan pintas yang dianggap lebih cepat, lebih sederhana dan lebih memberikan paksaan secara psikologis.

Melaporkan suatu dugaan tindak pidana adalah hak bagi setiap warga negara, namun menjadi kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penelaahan dan analisa yang cermat berdasarkan uraian kejadian yang disampaikan oleh si pelapor, kemudian menentukan apakah peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana ataukah hanya sebatas pelanggaran dari perjanjian. Berkaitan dengan hal itu Penyidik maupun Penuntut Umum telah diberikan kewenangan oleh undang-undang berdasarkan Pasal 109 Ayat (2) dan Pasal 140 Ayat (2) huruf a KUHAP untuk menentukan apakah suatu perkara yang diajukan merupakan tindak pidana atau bukan. Jika suatu perkara sudah kadung diperiksa di sidang pengadilan, maka berdasarkan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya antara lain: Putusan MA-RI Nomor: 1061 K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990, Putusan MA-RI Nomor: 411 K/Pid/1992 tanggal 28 April 1994, Putusan MA-RI Nomor: 449 K/Pid/2001 tanggal 17 Mei 2001, Putusan MA-RI Nomor: 424 K/Pid/2008 tanggal 22 Mei 2008 dan Putusan MA-RI Nomor: 2161 K/Pid/2008 tanggal 14 Mei 2009. Perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti namun bukan merupakan tindak pidana dan menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).

Wanprestasi merupakan implikasi dari tidak dilaksanakannya kewajiban dalam suatu perjanjian. Hak dan kewajiban timbul karena adanya perikatan dalam perjanjian yang sah menurut Pasal 1320 KUH Perdata. Sedangkan delik penipuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 378 KUHP memiliki rumusan sebagai berikut: ”barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan membujuk orang lain untuk menyerahkan suatu barang kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang diancam karena penipuan.” Suatu perbuatan materiil dapat dinyatakan terbukti sebagai tindak pidana penipuan jika perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam Pasal 378 KUHP.
Suatu perjanjian yang lahir oleh adanya tipu muslihat mengandung kehendak yang cacat, sehingga secara hukum tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. Menurut Pasal 1321 KUH Perdata bahwa ”tiada suatu persetujuanpun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh karena paksaan atau penipuan”. Merujuk pada ketentuan di atas, maka ada atau tidaknya unsur penipuan dalam suatu perjanjian harus dilihat pada saat proses kesepakatan itu dibuat, bukan pada saat terjadinya wanprestasi. Menurut J. Satrio suatu perjanjian mengandung adanya unsur penipuan jika terdapat perbuatan dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang tidak benar tentang ciri objek perjanjian sehingga pihak yang lain tergerak atau mempunyai kehendak untuk menutup perjanjian.

Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menguraikan beberapa indikator yang bisa digunakan untuk menentukan suatu peristiwa, apakah termasuk kedalam katagori wanprestasi ataukah delik penipuan melalui beberapa penelaahan terhadap karakteristik wanprestasi menurut hukum perjanjian dan delik penipuan menurut unsur-unsur Pasal 378 KUHP, sekaligus penulis juga akan mencoba untuk memunculkan wacana baru dalam proses penyelesaian perkara di pengadilan menyangkut kesalahan prosedur dalam penanganan kasus wanprestasi.

B. PERBEDAAN ANTARA RANAH ”HUKUM PUBLIK” DAN ”HUKUM PRIVAT”
Berdasarkan isi dan kepentingan yang diaturnya hukum digolongkan menjadi dua jenis, yaitu hukum privat (privaat recht) dan hukum publik (publiek recht). Beberapa sarjana terkemuka telah memberikan batasan tentang apa yang dimaksud dengan hukum privat antara lain:
Prof. Subekti menyebutkan:
”hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil yaitu segala hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan”
Prof. Sudikno Mertokusumo menyebutkan:
”hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan antara yang satu dengan yang lain di dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat dimana pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak”.
Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan pemerintah atau hukum yang mengatur kepentingan masyarakat. Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum publik karena ada keterlibatan pemerintah sebagai penguasa. Definisi hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barangsiapa yang melakukan dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana. Sedangkan menurut CST. Kansil hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Dua ranah hukum tersebut memiliki kompetensi dan prosedur penyelesaian masing-masing. Di antara keduanya harus ada batasan yang jelas agar tidak terjadi salah prosedur dalam proses penyelesaian terhadap setiap wilayah kompetensi hukum yang dilanggar.
Dengan menggunakan beberapa pendapat para sarjana di atas setidaknya telah memberikan penjelasan bagi kita bahwa antara hukum privat dan hukum publik memiliki perbedaan yang jelas menyangkut subjek hukum yang terlibat di dalamnya. Hukum privat mengatur tentang hubungan antar subjek hukum perseorangan/badan hukum dalam kedudukan yang seimbang, sedangkan pada hukum publik subjek hukumnya terdiri dari pemerintah sebagai penguasa dengan warga negara dalam hubungan pengaturan yang bersifat publik.

Setiap orang berhak untuk saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan-hubungan hukum dengan berpedoman pada asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perjanjian. Setiap perjanjian akan menimbulkan beberapa perikatan yang berisi hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Hubungan yang timbul dari hukum perikatan bersifat khusus dan individual karena hanya memiliki kekuatan mengikat bagi mereka yang membuatnya. Sehingga akibat hukum yang timbul atas terlanggarnya hak dan kewajiban tersebut merupakan domain dari hukum privat. Berbeda halnya dengan hukum pidana dimana setiap kewajiban yang timbul semata-mata karena ditentukan oleh penguasa dalam suatu peraturan perundang-undangan.

C.PERBEDAAN ANTARA ”MELAWAN HUKUM” DENGAN ”MELAWAN PERIKATAN”
Dalam suatu rumusan delik sering kita menjumpai istilah ”melawan hukum” yang sebenarnya merupakan terjemahan dari istilah ”wederrechtijkheid” dalam Bahasa Belanda. Sifat melawan hukum harus selalu ada di dalam setiap tindak pidana, baik dicantumkan secara tegas sebagai unsur tindak pidana seperti pada Pasal 362, 372, dan 378 KUHP, maupun dianggap selalu termuat dalam setiap rumusan tindak pidana. Wederrechtijkheid diterjemahkan oleh beberapa sarjana secara berbeda-beda dan tidak ada keseragaman pendapat menganai hal itu. Diantara beberapa batasan yang berkembang antara lain, menurut Simon kata ”recht” dalam wederrechtelijk diterjemahkan sebagai ”hukum”. Perbuatan yang mengandung wederrechtelijk tidak perlu melawan hak orang lain, namun sudah cukup apabila perbuatan itu melawan ”objectief recht, Noyon mengartikan ”recht” itu sebagai hak (subjectief recht), sedangkan H.R. dalam Putusannya tertanggal 18 Desember 1911 W. No. 9263 ”recht” ditafsirkan sebagai hak atau kekuasaan dan wederrechtelijk berarti tanpa kekuasaan atau tanpa hak.

Menurut teori hukum pidana, sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid dibagi menjadi dua aliran yaitu sifat melawan hukum materiil dan sifat melawan hukum formil. Pengertian bahwa wederrechtelijk adalah suatu keadaan yang hanya menunjuk pada pengertian ”zonder eigen recht” ternyata banyak ditentang oleh para sarjana seperti halnya Simon yang mengatakan bahwa hanyalah ada satu pendapat yang dapat diterima sebagai syarat untuk adanya suatu wederrechtelijkheid yaitu bahwa telah dilakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum atau ”dat er is gehandeld, in strijd met het recht”.

Dari beberapa teori di atas pada umumnya menyebutkan bahwa sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana ditujukan pada suatu perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan hukum, sedangkan hukum yang dimaksud adalah hukum yang berlaku secara umum baik dalam artian formil maupun materiil. Pengertian hukum yang bersifat umum adalah hukum yang mengatur dan mengikat kehidupan masyarakat secara umum. Selanjutnya Noyon mengatakan bahwa Zonder recht (tanpa hak) itu adalah berbeda dengan tegen het recht (melawan hukum) dan perkataan wederrechtelijk itu dengan tidak dapat disangkal lagi menunjuk pada pengertian yang terakhir. Sedangkan terminologi wederechtelijkheid dalam kaitannya sebagai bentuk ”melawan hak” adalah semata-mata menujuk pada hak yang diberikan oleh hukum yang berlaku secara umum/dibuat oleh penguasa, bukan hak yang timbul dari hubungan kontraktual.

Berdasarkan uraian di atas, maka selanjutnya kita akan membandingkan antara ”melawan hukum” dalam suatu tindak pidana dengan ” melawan perikatan” yang timbul dari hubungan kontraktual. Sifat melawan hukum melekat pada suatu perbuatan sehingga perbuatan itu dapat dipidana, baik karena bertentangan dengan undang-undang maupun karena telah melanggar hak subjektif orang lain, namun pada akhirnya perbuatan tersebut harus pula dilarang oleh suatu peraturan perundangan yang berlaku. Sedangkan ” melawan perikatan” melekat pada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian,
Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan bahwa ”semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kalimat ”sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”? Jika kita simak makna dari kalimat diatas, maka sesungguhnya pembentuk undang-undang ingin memberikan suatu kekuatan mengikat yang sama antara perjanjian yang dibuat secara sah dengan undang-undang yang dibuat oleh penguasa, namun perlu diperhatikan bahwa kedudukan tersebut hanya ditujukan bagi para pihak yang membuat perjanjian saja, artinya meskipun suatu perjanjian dipersamakan daya mengikatnya dengan undang-undang, namun bukan berarti bahwa perjanjian memiliki kedudukan seperti undang-undang yang dapat berlaku secara umum. Makna dari ”kekuatan mengikatnya sebagaimana undang-undang” semata-mata terletak pada hak untuk menuntut pemenuhan prestasi dan ganti kerugian di hadapan pengadilan negara seperti halnya jika orang telah melanggar undang-undang.

Secara umum ”melawan hukum” dengan ”melawan perikatan” memiliki beberapa perbedaan antara lain:
 Sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana merupakan suatu keadaan atau perbuatan yang telah bertentangan dengan hukum yang berlaku secara umum, sedangkan melawan perikatan adalah suatu keadaan atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku secara khusus, karena hanya mengikat bagi mereka yang membuatnya.
 Suatu tindak pidana mengandung sifat melawan hukum yang oleh karenanya perbuatan tersebut dapat dipidana, sedangkan wanprestasi mengandung sifat melawan perikatan yang oleh karenanya kreditur dapat menuntut pemenuhan prestasi, ganti rugi, denda maupun bunga.
 Sifat melawan hukum melekat pada perbuatan yang telah melanggar aturan hukum yang dibuat oleh penguasa, sedangkan sifat melawan perikatan melekat pada perbuatan yang telah melanggar aturan yang dibuat oleh para pihak dalam suatu perjanjian.

Berdasarkan beberapa penelaahan di atas, jelas bahwa sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana memiliki karakteristik yang berbeda dengan sifat melawan perikatan dalam suatu perjanjian, sehingga di antara keduanya harus dipisahkan secara tegas agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran dalam proses penyelesaian terhadap dua karakteristik pelanggaran hukum tersebut. Setiap penegakan hukum yang telah membawa suatu perbuatan yang melanggar hak dan kewajiban dalam hukum perikatan ke dalam ranah hukum pidana (delik penipuan) merupakan suatu pelanggaran prosedur (undue process) dan bertentangan dengan tertib hukum yang berlaku.

D.PERBEDAAN ANTARA UNSUR ”TIPU MUSLIHAT” DAN SERANGKAIAN KEBOHONGAN” DENGAN ”TIDAK MELAKSANAKAN PRESTASI”

Dalam memahami wanprestasi dan tindak pidana penipuan kita sering tersesat dalam menafsirkan unsur ”tipu muslihat” dan ”serangkaian kebohongan” dalam Pasal 378 KUHP dengan pengertian ”ingkar janji” dalam hubungan kontraktual, sepintas memang seperti sama, namun jika kita telaah secara lebih mendalam, maka akan muncul beberapa perbedaan yang sangat prinsip yang bisa menjadi indikator untuk membedakan antara delik penipuan dengan wanprestasi.

Tipu muslihat (listige kunstgrepen) berdasarkan Arrest HR tanggal 30 Januari 1911 adalah perbuatan-perbuatan yang menyesatkan yang dapat menimbulkan dalih-dalih yang palsu dan gambaran-gambaran yang keliru dan memaksa orang untuk menerimanya. Yang membedakan tipu muslihat dengan kebohongan adalah pada bentuk perbuatannya. Tipu muslihat merupakan perbuatan fisik sedangkan kebohongan merupakan bentuk perbuatan lisan atau ucapan.

Istilah kebohongan berasal dari kata ”bohong” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia bohong adalah suatu keadaan yang tidak sesuai dengan hal (keadaan dsb) yang sebenarnya misalnya dalam pernyataan: ”si pulan kemaren menggunakan baju merah”. sedangkan kenyataannya kemaren si pulan menggunakan baju hitam. Kebohongan adalah suatu pernyataan yang diungkapkan bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya dan kenyataan itu telah ada pada saat pernyataan itu diucapkan. Coba bandingkan dengan pernyataan ”si pulan berjanji besok akan menggunakan baju merah” apakah pada saat mengungkapkan pernyataan itu si pulan telah berbohong? Benar dan tidaknya pernyataan itu belum bisa dibuktikan pada saat si pulan berjanji, karena setiap janji baru bisa dibuktikan pada saat waktunya telah tiba. Lalu jika ternyata besok si pulan tidak menggunakan baju merah apakah si pulan telah berbohong? Menurut pengertian bahasa lebih tepat dikatakan bahwa si pulan telah ingkar janji, karena ketika berjanji belum ada kebenaran apa-apa.

Untuk memperkuat landasan argumen dalam tulisan ini kita kutip pendapat dari Adami Chazawi dalam bukunya Kejahatan Terhadap Harta Benda sebagai berikut: ”ketidakbenaran yang terdapat pada tipu muslihat maupun rangkaian kebohongan harus telah ada pada saat melakukan tipu muslihat dan lain-lain” menurut pendapat diatas bahwa untuk menentukan adanya tipu muslihat maupun serangkaian kebohongan orang harus sudah bisa membuktikan ketidakbenarannya ketika tipu muslihat atau kebohongan itu dilakukan. Berbeda dengan ingkar janji yang ketidakbenarannya tidak bisa dibuktikan pada saat mengucapkan janji. Menurut pengertian bahasa ”janji” adalah perkataan yang menyatakan kesudian hendak berbuat sesuatu, janji selalu berhubungan dengan jangka waktu tertentu, artinya pemenuhan janji selalu digantungkan pada masa waktu setelah janji itu diucapkan. Dalam setiap janji selalu akan memiliki dua komponen yaitu komponen waktu dan komponen perbuatan, maka sesungguhnya ingkar janji merupakan bentuk pelanggaran terhadap dua komponen tersebut. Dari beberapa ilustrasi di atas, kita dapat mengidentifikasi beberapa indikator yang dapat membedakan antara ”tipu muslihat” dan ”berbohong” dalam unsur tindak pidana penipuan dengan ”ingkar janji” dalam hubungan kontraktual sebagai berikut:
 Tipu muslihat dan serangkaian kebohongan bisa dibuktikan ketidakbenarannya sejak perbuatan/pernyataan itu dibuat, sedangkan ingkar janji harus dibuktikan ketidakbenarannya pada rentang waktu tertentu setelah janji itu dibuat.
 Tipu muslihat dan serangkaian kebohongan bisa dilakukan terhadap keadaan pada dirinya maupun keadaan di luar dirinya, sedangkan berjanji selalu digantungkan pada kesanggupan dirinya walaupun kesanggupan itu ditujukan supaya orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Selain dari apa yang telah diuraikan di atas unsur ”serangkaian kebohongan” atau menurut R. Soesilo disebut sebagai ”karangan perkataan-perkataan bohong” dalam Pasal 378 KUHP diterjemahkan sebagai bentuk dari ”beberapa kebohongan” atau harus dipakai banyak kata-kata bohong yang tersusun sedemikian rupa sehingga kebohongan yang satu dapat ditutup dengan kebohongan yang lain dan keseluruhannya merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar. Jika kita telaah rumusan Pasal 378 KUHP, maka untuk dapat memenuhi unsur ”serangkaian kebohongan” tidak cukup dengan adanya satu kebohongan saja, namun harus merupakan satu akumulasi dari beberapa kebohongan yang antara satu dengan yang lain saling mendukung dan melengkapi sehingga mampu menggerakan orang untuk menyerahkan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang.

D.PERBEDAAN ANTARA ”PENYERAHAN BARANG KARENA PENIPUAN” DENGAN ”PENYERAHAN BARANG KARENA JANJI PERIKATAN”
Setelah perjanjian disepakati, maka para pihak akan melakukan penyerahan objek perjanjian (levering). Dalam perjanjian hutang-piutang, si pemberi hutang akan menyerahkan sejumlah uang kepada si penerima hutang, dengan ketentuan bahwa dalam batas waktu tertentu si penerima hutang harus mengembalikan utang pokok berikut dengan bunga kepada si pemberi hutang. Terkadang ada kesulitan untuk melihat suatu penyerahan (levering) yang dilakukan secara normal sebagai bagian dari kewajiban perikatan dengan penyerahan karena adanya unsur penipuan dalam kesepakatan yang dibuat tanpa dibuktikan adanya keadaan diluar pokok perikatan yang telah menggerakkan kehendak si pemberi hutang untuk menyerahkan uang tersebut.

Janji berupa kesanggupan untuk membayar tidak dapat di katagorikan sebagai bentuk penipuan, walaupun ternyata janji tersebut tidak terwujud, karena dalam setiap perjanjian yang dibuat selalu akan ada kesanggupan-kesanggupan untuk berprestasi yang salah satunya adalah kesanggupan untuk membayar. Setiap kesanggupan yang digantungkan pada awal kesepakatan tidak selalu akan terwujud dengan sempurna, baik karena si debitur lalai atau sengaja tidak berprestasi atau bahkan karena adanya keadaan memaksa (overmacht) yang membuat si debitur tidak mampu untuk berprestasi. Penipuan dapat menyebabkan sebuah perjanjian menjadi batal, karena kesepakatan yang timbul telah diliputi oleh kehendak yang cacat sehingga perjanjian yang dibuat tidak memiliki kekuatan hukum bagi para pihak. Suatu penyerahan sebagai akibat dari kehendak yang digerakan oleh adanya tipu muslihat merupakan bentuk pengaruh yang ada diluar janji-janji dalam pokok perikatan, karena Pasal 378 KUHP menyebutkan bahwa unsur-unsur yang dapat menggerakan suatu kehendak itu antara lain: nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat dan serangkaian kebohongan.

Suatu penyerahan prestasi karena adanya tipu muslihat dapat digambarkan dalam sebuah ilustrasi dibawah ini:
A bersedia mengikatkan perjanjian utang piutang dengan B, karena B mengaku sebagai anak seorang pengusaha kaya yang memiliki banyak perusahaan, sehingga A tergerak oleh pengakuan B tersebut, setelah uang diserahkan kepada B, A baru tahu bahwa ternyata B bukan anak seorang pengusaha. Dalam kasus tersebut A telah menyerahkan uang karena tergerak oleh kebohongan si B. Artinya jika sejak awal A mengetahui kalau B bukan anak seorang pengusaha, maka A tidak akan mau memberikan utang kepada B.

Dalam ilustrasi di atas bisa kita lihat bahwa kehendak si kreditur telah digerakkan oleh suatu keadaan palsu yang disampaikan oleh si debitur. Keadaan yang telah menggerakkan kehendak si kreditur itu bukan merupakan bagian dari pokok perikatan yang diperjanjikan karena perikatan pokok dalam perjanjian utang piutang adalah meyerahkan uang sebagai utang dan mengembalikannya dengan/tanpa bunga sebagai jasa pemberian utang.

E.MENYOAL TENTANG EKSISTENSI PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM (ONTSLAG) DALAM PERKARA PENIPUAN YANG TIMBUL DARI HUBUNGAN KONTRAKTUAL
Konsisten pada apa yang disampaikan di awal, bahwa wanprestasi dalam hubungan kontraktual tidak memiliki sifat melawan hukum, namun yang ada hanyalah sifat melawan perikatan. Setiap keadaan tidak melaksanakan prestasi (cidera janji) dalam sebuah perjanjian tidak mengandung kesamaan dengan unsur-unsur di dalam Pasal 378 KUHP seperti nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat dan serangkaian kebohongan, karena wanprestasi semata-mata merupakan pelanggaran terhadap janji dalam perikatan pokok yang selalu termuat dalam setiap perjanjian.

Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam beberapa putusan antara lain Putusan MA-RI Nomor: 1061 K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990, Putusan MA-RI Nomor: 411 K/Pid/1992 tanggal 28 April 1994, Putusan MA-RI Nomor: 449 K/Pid/2001 tanggal 17 Mei 2001, Putusan MA-RI Nomor: 424 K/Pid/2008 tanggal 22 Mei 2008 dan Putusan MA-RI Nomor: 2161 K/Pid/2008 tanggal 14 Mei 2009 mengandung amar putusan bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti, namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).

KUHAP mengenal dua jenis putusan yang tidak bersifat pemidanaan yaitu putusan bebas dan putusan lepas. Yang dimaksud dengan putusan bebas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 Ayat 1 KUHAP), sedangkan putusan lepas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 Ayat 2 KUHAP)
Dalam tindak pidana penipuan yang mengandung unsur wanprestasi pada umumnya diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Menurut Pasal 191 Ayat (2) KUHAP putusan lepas dijatuhkan jika perbuatan yang didakwakan terbukti, namun bukan merupakan tindak pidana, artinya semua unsur tindak pidana dalam pasal 378 KUHP dinyatakan relevan dengan perbuatan materiil yang didakwakan. Namun apakah memang demikian? Dalam rumusan Pasal 378 KUHP bahwa ”melawan hukum” menjadi bagian dari unsur tindak pidana, sehingga untuk terbuktinya Pasal 378 KUHP, perbuatan tersebut harus memenuhi unsur melawan hukum, sedangkan berdasarkan penelaahan diatas, bahwa dalam wanprestasi tidak mengandung unsur melawan hukum tapi yang ada hanyalah unsur melawan perikatan.

Selain harus memenuhi unsur melawan hukum, Pasal 378 KUHP juga mensyaratkan adanya unsur menggerakkan orang lain dengan nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat atau serangkaian kebohongan yang bersifat alternatif. Telah pula disinggung di atas bahwa tidak melaksanakan prestasi memiliki karakteristik yang berbeda dengan apa yang dimaksud dengan unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHP. Banyak kalangan yang tidak bisa membedakan antara cidera janji dengan unsur tipu muslihat atau serangkaian kebohongan, namun sebenarnya itu telah terjawab oleh pengertian ingkar janji menurut terminologi bahasa (gramatikal). Kebohongan yang dimaksud oleh Pasal 378 tidak bersifat tunggal namun harus merupakan akumulasi dari beberapa kebohongan. Berpangkal tolak pada analisis tersebut, maka seharusnya unsur dengan nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat atau serangkaian kebohongan dalam Pasal 378 KUHP tidak akan terpenuhi.

Baik melawan hukum maupun menggerakkan orang lain dengan nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat atau serangkaian kebohongan merupakan bagian (bestandeel) dari unsur tindak pidana dalam Pasal 378 KUHP sehingga jika tidak terpenuhi salah satu unsur tersebut, maka konsekuwensinya terdakwa harus diputus bebas (vrijspraak) bukan diputus lepas (onstlag). karena putusan lepas didasari pada terbuktinya semua unsur tidak pidana yang didakwakan.

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebenarnya berhubungan dengan masalah pertanggungjawaban pidana (strafuitsluitingsgronden) baik karena seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya (ontoerekeningsvatbaar) maupun karena perbuatan itu sendiri yang tidak dapat dipertenggungjawabkan kepada pelakunya (ontoerekenbaarheid). Suatu perbuatan merupakan tindak pidana selain harus memenuhi unsur-unsur delik juga harus mengandung sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld). Jika suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukum karena adanya alasan pembenar atau kesalahan dalam diri si pelaku menjadi gugur karena ada alasan pemaaf, maka sesungguhnya perbuatan yang dilakukan bukanlah tindak pidana karena orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhi pidana.

Tindak pidana merupakan terjemahan dari kata ”strafbaarfeit” yang jika diterjemahkan secara kaku, artinya ”perbuatan/keadaan yang dapat dipidana.” Para sarjana kemudian memberikan istilah yang lebih simpel dengan istilah ”tindak pidana” atau ”perbuatan pidana.” Hukum pidana materiil mengatur tentang alasan pemaaf dalam Pasal 44 KUHP, dan alasan pembenar dalam Pasal 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Jika kita cermati main stream yang dianut dalam putusan-putusan tentang delik penipuan yang mengandung unsur wanprestasi pada umumnya menyatakan bahwa perbuatan tersebut terbukti tapi bukan merupakan tindak pidana karena tidak mengandung sifat melawan hukum. Alasan tersebut menjadi kontradiktif dengan pertimbangan unsur-unsur sebelumnya yang menyatakan bahwa unsur melawan hukum dalam Pasal 378 KUHP telah dinyatakan terpenuhi.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum menurut Pasal 191 ayat (2) KUHAP adalah jika ”perbuatan terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana” lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan suatu perbuatan itu terbukti? dan apa pengertian dari perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana? Perbuatan pidana dirumuskan dalam suatu pasal berdasarkan unsur-unsur, sehingga yang dimaksud dengan perbuatan itu terbukti adalah jika memenuhi seluruh rumusan unsur dalam pasal tindak pidana yang didakwakan. Berkaitan dengan persoalan melawan hukum dalam perkara penipuan yang mengandung unsur wanprestasi pengadilan pada umumnya berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum menjadi hilang apabila ada kontrak, perjanjian dan perikatan.

Sebenarnya jika kita konsisten pada pendirian bahwa dalam perbuatan wanprestasi hanya ada sifat melawan perikatan yang materi dan substansinya berbeda dengan sifat melawan hukum, maka kita harus menyatakan bahwa unsur melawan hukum dalam perbuatan yang didakwakan itu tidak terpenuhi, sehingga putusan yang dijatuhkah haruslah putusan bebas bukan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

G. KESIMPULAN
Berdasarkan semua uraian di atas, maka dapat ditarik suatu benang merah bahwa antara wanprestasi dengan delik penipuan memiliki karakteristik perbuatan materiil yang berbeda baik dari unsur-unsur perbuatannya maupun dari penyebab lahirnya perbuatan tersebut. Ada beberapa hal yang dapat membedakan keduanya antara lain:
1. Sifat melawan hukum dalam tindak pidana penipuan tidak sama dengan sifat melawan perikatan yang terkandung dalam perbuatan wanprestasi;
2. Sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum/aturan yang berlaku secara umum, sedangkan sifat melawan perikatan merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan aturan yang berlaku khusus yang dibuat/diperjanjikan oleh para pihak.
3. Tidak melaksanakan prestasi (ingkar janji) tidak dapat disamakan dengan unsur tipu muslihat atau serangkaian kebohongan dalam pasal 378 KUHP karena ingkar janji merupakan bagian dari pelanggaran atas perikatan pokok.
4. Penyerahan suatu prestasi karena kewajiban perikatan tidak sama dengan penyerahan prestasi karena tipu daya yang dilakukan untuk mempengaruhi kehendak seseorang dengan suatu kebohongan/keadaan palsu agar mau menyepakati suatu perjanjian
5. Dengan tidak adanya unsur melawan hukum dan unsur menggerakan orang lain dengan nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat atau serangkaian kebohongan, maka perkara penipuan yang mengandung unsur wanprestasi lebih tepat jika diputus bebas dengan alasan bahwa salah satu/beberapa unsur tindak pidana dalam Pasal 378 KUHP tidak terpenuhi.

Tulisan ini tidak ditujukan untuk menentang arus dalam dunia peradilan yang selama ini telah menjadi yurisprudensi tetap bahwa delik penipuan yang mengandung unsur wanprestasi ditentukan dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Namun dunia ilmu pengetahuan tidak boleh stagnan dengan sebuah teori yang ada. Jika ada keniscayaan dengan suatu temuan-temuan baru, maka setidaknya akan memperkaya khasanah perkembangan ilmu pengetahuan hukum yang ada. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi wacana baru bagi kita dalam memahami perbedaan antara wanprestasi dan delik penipuan dalam hubungan kontraktual. Wallohualam...


DAFTAR PUSTAKA
1. Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia Publishing, Malang, 2006
2. CST. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007
3. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung 1995.
4. Mr. E Utrecht, Hukum Pidana I, 1958.
5. PAF. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
6. R. Achmad, S. Soema Dipradja, Pengertian Serta Sifatnya Melawan Hukum Bagi Terjadinya Tindak Pidana, Dihubungkan Dengan Beberapa Putusan Mahkamah Agung, Armico, Bandung, 1983,
7. Saud Boylog, Perbedaan Hukum Privat dan Hukum Publik, http://sbsmedia.blogspot.com/2009/09/b-erdasarkan-isi-dan-kepentingannya.html
8. Saefudien.DJ, Definisi Hukum, http://saefudiendjsh.blogspot.com/2009/08/definisi-hukum.html
9. Simon, Kitab Pelajaran Hukum Pidana, Leerboek van Het Nederlanches Strafrecht, Pionir Jaya, Bandung, 1992,
10. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976
11. Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Pidana Penipuan Yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta 2011

Minggu, 10 April 2011

TERM OF REFERENCE



RAPAT KOORDINASI ANTAR LEMBAGA PENEGAK HUKUM


I.      PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sistem peradilan pidana atau yang biasa disebut dengan criminal justice system merupakan pranata yang dimiliki oleh negara untuk tujuan menciptakan keamanan dan ketertiban dalam suatu wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia dengan berpedoman kepada sendi-sendi keadilan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Tujuan penegakan hukum tersebut semata-mata sebagai implementasi dari sistem negara hukum (rechtstaat) sebagaimana diatur dalam pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 (Hasil amandemen) yang kemudian dijabarkan dan diejawantahkan oleh beberapa undang-undang organik dibawahnya tentang mekanisme dan tata cara penegakan hukum yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga criminal justice system.
Konsekwensi negara hukum, selain daripada adanya pemisahaan kekuasaan dan terbentuknya lembaga peradilan sebagai pemegang Kekuasaan kehakiman (judisial power), yang lebih penting adalah terciptanya supremasi hukum (supremacy of law) dalam setiap segi kehidupan berbangsa dan bernegara yang diimplementasikan dalam proses penegakan hukum dengan mengacu pada prinsip-prinsip penegakan yang adil, profesional dan bermartabat. Tujuan tersebut akan sulit tercapai jika tidak ada harmonisasi dan koordinasi diantara para penyelenggara penegakan hukum itu sendiri, karena sistem hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia menganut prinsip saling keterkaitan diantara masing-masing lembaga penegak hukum, sehingga jika tidak dibangun kesefahaman dan koodonasi yang baik dalam kerangka criminal justice system, maka akan sulit untuk dapat menciptakan proses penegakan hukum yang efektif.
Lembaga penegakan hukum pidana yang terdiri dari Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Lembaga Pemasyarakatan, Advokat dan  Pemerintah Daerah sebagai stake holder terhadap Peraturan Daerah (PERDA) di wilayah Kabupaten Way Kanan, pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memberikan akses perlindungan hukum dan keadilan bagi seluruh komponen masyarakat di wilayah Kabupaten Way Kanan sesuai dengan peran dan kewenangan masing-masing secara proporsional. Diantara lembaga-lembaga penegakan hukum tersebut  satu sama lain memiliki keterkaitan secara yuridis, baik dalam hal fungsi kontrol secara horizontal maupun sebagai fungsi koordinasi yudisial dalam proses pelaksanaan tindakan pro justisia.
Proses penegakan hukum pidana (criminal law enforcement) mengacu pada aturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang bersifat umum (KUHAP) maupun yang secara spesifik mengatur tata laksana pada masing-masing lembaga penegak hukum secara internal.  Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan pro justicia, khususnya yang melibatkan kewenangan dari dua atau beberapa lembaga penegak hukum maka dalam implementasinya tidak jarang menimbulkan miss komunikasi dan miss interpretasi diantara lembaga-lembaga penegakan hukum, sehingga melahirkan permasalahan dan kesulitan-kesulitan didalam proses penerapan seraca riil dilapangan. Banyak yang menjadi penyebab timbulnya permasalahan tersebut, namun pada umumnya disebabkan karena kurang adanya koordinasi dan kesefahaman secara lintas kelembagaan yang pada akhirnya cenderung melahirkan kebijakan yang kontraproduktif dengan kepentingan hukum para pencari keadilan (justitiabelen).
Harus diakui bahwa selain apa yang telah disebutkan diatas, terkadang Hukum Acara Pidana sendiri kurang memberikan pengaturan yang jelas terhadap suatu prosedur hukum tertentu atau bahkan sama sekali tidak ada aturannya, sehingga tidak jarang para penegak hukum mengalami kebingungan dan kesulitan dalam mengambil keputusan strategis diantara harus menggunakan diskresi atau tindakan-tindakan lain yang dianggap memberikan manfaat bagi kepentingan hukum yang ada. Kondisi tersebut hanya dapat diantisipasi dan diselesaikan dengan cara menyatukan pemahaman dengan pendekatan secara koordinatif antar semua lembaga penegak hukum plus pemerintah daerah dengan cara mengumpulkan dan menyerap semua persoalan yang terjadi dalam praktek penegakan hukum di wilayah kabupaten Way Kanan, lalu semua pemangku kepentingan melakukan sharing dan komunikasi efektif secara terfokus diantara seluruh komponen penegakan hukum untuk mencari solusi dan pemecahan masalah melalui forum komunikasi dan koordinasi antar lembaga penegak hukum.
Rangkaian proses criminal justice system yang berawal dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan tidak bisa terlepas dari keberadaan pemerintah daerah sebagai penentu kebijakan di tingkat daerah, sehingga harmonisasi diantara seluruh pemangku kepentingan dalam menciptakan keamanan dan ketertiban di wilayah Kabupaten Way Kanan harus terjalin dengan baik dan harmonis.
Melalui Rapat Koordinasi Antar Lembaga Penegak Hukum ini diharapkan semua persoalan dapat terserap dan terpecahkan dengan prinsip bahwa forum koordinasi ini tidak dibentuk untuk membahas tentang satu persoalan hukum yang sedang menjadi perkara dan tidak saling melakukan intervensi terhadap tugas dan kewenangan dalam proses penegakan hukum.
B.   Maksud dan Tujuan Kegiatan
1.  Maksud Kegiatan
Maksud dari kegiatan ini adalah:
a.     Untuk mengetahui permasalahan dan kendala-kendala yang ada dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana di wilayah Kabupaten Way Kanan.
b.    Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas penegakan Hukum Pidana di wilayah Kabupaten Way Kanan
c.      Untuk menyerap keluhan masyarakat pencari keadilan (justitiabelen) menyangkut proses penegakan hukum di wilayah Kabupaten Way Kanan
d.    Untuk membangun harmoniasi dan sinergisasi antar lembaga penegak hukum plus pemerintah daerah di wilayah Kabupaten Way Kanan
e.     Untuk mencari indikator dan akar permasalahan yang menimbulkan potensi terjadinya tindak pidana di wilayah Kabupaten Way Kanan.
2. Tujuan Kegiatan
Kegiatan ini bertujuan untuk:
a.     Terpahaminya segala permasalahan dan kendala yang ada dalam proses penegakan hukum pidana sekaligus mencari solusi yang paling tepat untuk menaggulangi permasalahan dan kendala tersebut.
b.    Agar memperoleh gambaran tentang sejauh mana efektivitas penegakan hukum pidana di wilayah Kabupaten Way Kanan
c.      Membuat sebuah nota kesepahaman diantara lembaga penegakan hukum pidana dan pemerintah daerah menyangkut implementasi proses penegakan hukum di wilayah Kabupaten Way Kanan
d.    Agar tercipta hubungan yang harmonis dan sinergis antara lembaga penegakan hukum pidana plus pemerintah daerah dengan prinsip saling menghormati tugas dan kewenangan masing-masing dalam tujuan menciptakan keamanan dan ketertiban di wilayah Kabupaten Way Kanan.
C.   Manfaat Kegiatan
Kegiatan ini berguna dari segi praktis yang berkaitan dengan efektifitas proses penegakan hukum yang berwawasan profesionalisme dan perlindungan HAM bagi para pencari keadilan, sehingga penerapan hukum pidana dapat menjadi sarana yang efektif dalam menciptakan keamanan dan ketertiban di wilayah Kabupaten Way Kanan.
Sedangkan dari segi sosiologis, akan tercipta hubungan yang koordinatif dan harmonis diantara lembaga penegak hukum pidana plus pemerintah daerah untuk saling menunjang tugas dan kewenangan masing-masing sehingga diharapkan segala persoalan yang timbul dalam praktek penegakan hukum dapat ditanggulangi secara arif dan bijaksana sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
D.  Tema Kegiatan
Kegiatan ini bertemakan: “DENGAN FORUM KOORDINASI ANTAR LEMBAGA PENEGAK HUKUM KITA WUJUDKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN DI WILAYAH KABUPATEN WAY KANAN MELALUI PROSES PENEGAKAN HUKUM YANG PROFESIONAL DAN BERMARTABAT”.
E. Input dan Output Kegiatan
Input
Output
Teridentifikasinya segala permasalahan dan kendala di lapangan dalam proses penegakan hukum pidana di Kabupaten Way Kanan
Ditemukannya solusi dan pemecahan masalah atas semua persoalan dan kendala yang terjadi dilapangan
Terserapnya masukan-masukan yang positif dan konstruktif bagi proses penegakan hukum pidana di wilayah Kabupaten Way Kanan
Terbentuknya pola penangan perkara pidana yang lebih baik yang mengedepankan profesionalitas dan kinerja yang baik dalam proses penegakan hukum pidana di wilayah Kabupaten Way Kanan
Munculnya pemahaman bersama dikalangan para penegak hukum dan stake holder pemerintah daerah dalam mewujudkan proses penegakan hukum pidana yang efektif dan bermartabat
Terbentuknya nota kesepahaman yang dapat menjadi pedoman dalam proses penegakan hukum di wilayah Kabupaten Way Kanan
Terbentuknya pola komunikasi dan koordinasi yang efektif di bidang penegakan hukum pidana berdasarkan tugas dan kewenangan masing masing
Terciptanya harmoniasi dan sinergisasi diantara lembaga penegak hukum dan pemerintah daerah dalam proses penegakan hukum berdasarkan prinsip tidak saling melakukan intervensi terhadap tugas dan kewenangan masing-masing.

II.               PENUNJANG PELAKSANAAN KEGIATAN
A.  Tempat Kegiatan
Kegiatan ini akan dilaksanakan di suatu tempat di wilayah Kabupaten Way Kanan dengan sarana dan prasarana yang difasilitasi oleh Pemeritah Daerah Kabupaten Way Kanan.
B.   Panitia Kegiatan
Panitia kegiatan ini di bentuk dari setiap unsur kelembagaan berdasarkan kebutuhan dalam pelaksanaan kegiatan ini yang antara lain terdiri dari:
1.     Penasehat (forkopinda)
2.     Ketua;
3.     Sekretaris;
4.     Bendahara;
5.     Tim Perumus
6.     Beberapa orang tenaga penunjang kegiatan
C.   Peserta Kegiatan
Peserta kegiatan ini terdiri dari:
1.     Para Hakim
2.     Para Jaksa/Penuntut Umum
3.     Para Penyidik Polri
4.     Para Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
5.     Para Petugas Pemasyarakatan
6.     Para Advokat
7.     Para Anggota Satpol PP
8.     Staf Bagian Hukum PEMDA.
D.  Teknik Pengumpulan Informasi dan data
Pengumpulan informasi dan data menyangkut permasalahan dan kendala-kendala yang dihadapi oleh para penegak hukum dan pemerintah daerah dalam proses penegakan hukum pidana ini akan di ambil dengan cara menyebarkan formulir isian ke masing-masing lembaga penegakan hukum yang ada di wilayah kabupaten Way Kanan untuk diisi berdasarkan permasalahan dan kendala yang dialami dalam proses penegakan hukum yang kemudian akan menjadi bahan diskusi dalam rapat koordinasi untuk mencari solusi dan pemecahannya.

III.           STRATEGI PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan ini di bagi dalam 3 (tiga) tahapan antara lain:
A.  Tahapan Pra Kegiatan
Pada tahapan pra kegiatan ini meliputi beberapa sub kegiatan antara lain:
1.     Pembentukan panitia
2.     Workshop panitia
3.     Pembentukan instrumen kegiatan
4.     Penyebaran daftar isian permasalahan dan kendala kepada seluruh lembaga penegakan hukum plus pemerintah daerah di kabupaten Way Kanan
5.     Penyusunan data untuk menjadi bahan dalam rapat koordinasi
B.   Tahapan Kegiatan pokok
Rapat koordinasi merupakan tahap puncak acara dimana pokok kegiatannya adalah mendiskusikan secara bersama dari setiap permasalahan dan kendala yang dialami oleh lembaga penegakan hukum plus pemerintah daerah melalui pendekatan komunikasi dan koordinasi agar pada akhirnya bisa melahirkan sebuah kesepahaman bersama yang dapat menjadi pedoman bagi para penegak hukum dan pemerintah daerah untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban di wilayah Kabupaten Way Kanan.
Pada acara puncak tersebut, akan dibagi menjadi beberapa tahapan antara lain:
1.     Pembukaan
2.     Pemaparan permasalahan dan kendala-kendala yang ada
3.     Diskusi dan pemecahan masalah
4.     Penandatanganan nota kesepahaman
5.     Penutupan.
C.   Tahapan Penyusunan Laporan
Pada tahap penyusunan laporan hasil kegiatan ini akan dilakukan melalui beberapa tahap kegiatan antara lain:
1.     Perumusan dan penyusunan naskah
2.     Pencetakan naskah/pembukuan
3.     Serah terima buku nota kesepahaman tentang pedoman pelaksanaan proses penegakan hukum pidana di kabupaten Way Kanan kepada pemerintah daerah kabupaten Way Kanan dan kepada seluruh lembaga penegakan hukum pidana.
4.     Sosialisasi dan distribusi

IV.     AGENDA KEGIATAN
Keseluruhan kegiatan ini rencananya akan dilaksanakan selama dua minggu dengan perincian sebagai berikut:
Kegiatan
minggu
kesatu
Minggu
Kedua
Keterangan
Pra Kegiatan
    xxxxxx

Panitia
Kegiatan Pokok
           
 x
Panitia &
Peserta
Laporan Akhir
              
xxx
Panitia


Senin, 04 April 2011

PERATURAN TENTANG “POKOK-POKOK PELAKSANAAN KEHIDUPAN ADAT LEMBAGA HUKOM ADAT LAOT KOTA SABANG”

 

BAB I KETENTUAN UMUM 
Pasal 1 Yang dimaksud dalam peraturan ini dengan : 1.    Hukum adat laot adalah seperangkat aturan yang bersumber dari kaidah-kaidah adat yang mengatur tentang kehidupan masarakat adat nelayan tentang masalah-masalah kelautan 2.    Lembaga hukom adat laot adalah struktur organisasi adat yang terdiri dari pemangku adat dan masarakat adat nelayan dalam ruang lingkup hukum adat laot di wilayah Kota Sabang 3.    Pemerintah daerah adalah Pemerintah Daerah Kota Sabang. 4.    Muspida adalah musyawarah pimpinan daerah Kota Sabang 5.    Dinas perikanan adalah Dinas Perikanan Kota Sabang 6.    Panglima laot adalah pemimpin pada lembaga adat laot yang bertugas memimpin kehidupan adat di bidang kelautan dalam wilayah kota atau wilayah lho’ Sabang. 7.    Dewan pakar adalah orang-orang cendikiawan yang memiliki keahlian dibidang ilmu pengetahuan yang berasal dari unsur praktisi atau akademisi yang berfungsi membantu dalam pemberdayaan dan peningkatan sumber daya manusia dilingkungan para nelayan. 8.    Nelayan adalah masarkat sabang yang menggantungkan kehidupannya kepada kekayaan laot 9.    Perikanan adalah segala jenis usaha yang berhubungan dengan penangkapan ikan yang menggunakan sarana dan alat penangkap ikan. 10.    Pelayaran adalah perjalanan mengarungi lautan dalam upaya melakukan penangkapan ikan dilaut. 11.    Sarana transport perikanan adalah alat pengapung diatas perairan laut untuk kegiatan penangkapan ikan. 12.    Badan usaha milik adat adalah badan usaha yang yang dibentuk dan bernaung dibawah lembaga adat yang dikelola dari nelayan oleh nelayan dan untuk nelayan. 13.    Alat tangkap ikan adalah perkakas-perkakas baik yang bersifat tradisional maupun modern untuk melakukan penangkapan ikan dilaut. 14.    Pawang laot adalah gelar adat seorang nelayan yang karena keahliannya dalam bidang pelayaran dan penangkapan ikan (perikanan)   15.    Persidangan adat adalah lembaga penyelesaian sengketa dan pelanggaran adat dalam lingkup lembaga adat laot 16.    Khanduri Laot adalah prosesi ritual sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas rizki berupa kekayaan laut. 17.    Uang adat adalah hak pendapatan adat yang diperoleh dari sumbangan para nelayan yang memiliki alat transportasi perikanan. 18.    Hak pendapatan lembaga adat adalah hak ekonomi sebagai pendapatan lembaga adat dalam menjalankan roda organisasi adat 19.    Uang meja adalah uang pendaftaran perkara pada lembaga persidangan adat laot. 20.    Lho’ adalah teluk atau sebuah wilayah perairan yang menjorok kedaratan sebagai wilayah hukum adat. 21.    Pemimpin sidang adalah panglima laot karena jabatannya sebagai pemimpin persidangan adat yang berwenang menyelesaikan perkara sengketa dan pelanggaran adat berdasarkan musyawarah mufakat 22.    Penasehat Persidangan adalah tokoh masarakat atau seseorang yang dianggap ahli dan memahami tentang materi yang dipersidangkan, yang ditunjuk oleh lembaga adat untuk menilai dan menentukan tentang melanggar atau tidaknya/salah atau tidaknya dalam perkara di persidangan adat. 23.    Petugas keamanan adat adalah nelayan atau pawang laot yang ditunjuk oleh lembaga adat untuk bertugas mengamankan dan mengawasi pelaksanaan kehidupan adat sekaligus melaksanakan putusan pemimpin sidang. 24.    Musyawarah umum nelayan adalah rapat yang dihadiri oleh para nelayan dan atau pawang laot diwilayah hukum lho’ 25.    Musyawarah umum panglima laot adalah rapat yang dihadiri oleh para panglima laot lho’ diseluruh wilayah Sabang. 26.    Musyawarah umum lembaga hukom adat laot adalah rapat seluruh komponen lembaga adat laot

BAB II  LEMBAGA HUKOM ADAT LAOT
Pasal 2 (1)    Lembaga adat laot Sabang terdiri dari Lembaga Adat Laot Kota dan Lembaga Adat Laot Lho’ (2)    Lembaga Adat Laot Kota secara kelembagaan dibawah Pemerintah Kota Sabang sedangkan secara organisasi berada di bawah Lembaga Adat Laot Propinsi Nanggro Aceh Darussalam. (3)    Lembaga adat laot lho’ secara kelembagaan berada dibawah Mukim sedangkan secara organisasi berada di bawah Lembaga Adat Laot Kota.  Pasal 3 (1)    Lembaga Adat Laot Kota Sabang dipimpin oleh seorang panglima yang disebut panglima  laot kota  (2)    Sedangkan lembaga adat laot lho’ dipimpin oleh seorang panglima yang disebut panglima Laot Lho’ Pasal 4 (1) Lembaga adat laot kota meliputi seluruh wilayah hukum adat Kota  Sabang (2) Lembaga Adat Laot Lho’ meliputi wilayah hukum adat di wilayah teluk (lho’) yang antara lain terdiri dari: Wilayah Hukum Lho’ Pasiran Wilayah Hukum Lho’ Ie Meulee Wilayah Hukum Lho’ Balohan Wilayah Hukum Lho’ Anoi Itam Wilayah Hukum Lho’ Pria Laot Wilayah Hukum Lho’ Berawang Wilayah Hukum Lho’ Keuneukai Wilayah Hukum Lho’ Paya Keuneukai Wilayah Hukum Lho’ Iboih Wilayah Hukum Lho’ Jaboi (3)    Pemekaran satu wilayah hukum adat lho’ atau peleburan antara dua wilayah hukum adat lho harus dengan persetujuan masarakat hukum adat setempat, panglima laot lho’ dan panglima laot kota Sabang. Pasal 5 (1)    Batas-batas wilayah hukum panglima laot lho’ ditentukan berdasarkan batas wilayah didarat yang ditarik garis lurus kelaut dari daratan yang terluar hingga sejauh-jauhnya berjarak 200 mil laut. (2)    Batas wilayah didarat ditunjukan dengan suatu patok atau tanda-tanda yang dibuat oleh masing-masing pemangku adat pada wilayah hukum yang saling berbatasan. (3)    Jika terjadi perselisihan mengenai batas wilayah hukum adat maka ditentukan melalui persidangan adat pada persidangan adat laot kota. (4)    Tidak sekali-kali pembatasan terhadap wilayah laot dilakukan terhadap upaya pemanfaatan kekayaan laot 

BAB III SUSUNAN PEMANGKU ADAT LAOT FUNGSI, TUGAS DAN KEWENANGANNYA
Pasal 6 (1)    Susunan pemangku adat laot kota meliputi: a.    1 (satu) orang Panglima Laot b.    1 (satu) orang wakil panglima laot c.    3 (tiga) orang penasehat d.    2 (dua) orang sekretaris e.    2 (dua) orang bendahara (2)    Susunan pemangku adat laot lho’ meliputi a.    1 (satu) orang panglima laot b.    1 (satu) orang wakil panglima laot c.    3 (tiga) orang penasehat d.    1 (satu) orang sekretaris e.    1 (satu) orang bendahara f.    beberapa orang petugas keamanan adat (3)    Susunan pemangku adat yang di maksud dalam ayat (1) dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuahan dalam kelembagaan masing-masing. (4)    Disamping susunan pemangku adat sebagaimana pada Ayat (1) dalam lembaga adat laot kota dibentuk pula Dewan Pakar yang berjumlah sekurang-kurangnya 3 orang yang berasal dari unsur cendikiawan atau akademisi. (5)    Dewan pakar berfungsi untuk membantu pemberdayaan dan pengembangan sumber daya manusia di lingkungan para nelayan.

PANGLIMA LAOT DAN WAKIL PANGLIMA LAOT
Pasal 7 (1)    Panglima laot kota dan wakil dipilih dari nelayan atau     pawang laot yang pernah menjadi Panglima laot Lho’ dan berdomisili di Kota Sabang berdasarkan musawarah umum panglima laot. (2)    Panglima laot lho dan wakil dipilih dari nelayan atau pawang laot yang berdomosili diwilayah hukum adat lho masing-masing berdasarkan musawarah umum nelayan.    Pasal 8 (1)    Panglima laot kota dan wakil memegang jabatan selama 8 tahun kecuali jika terdapat keadaan dimana sebelum masa jabatan tersebut berdasarkan rapat umum para panglima laot lho’ dalam wilayah Kota Sabang, jabatan tersebut harus diganti. (2)    Panglima laot lho’ dan wakil memegang jabatan selama 8 tahun kecuali jika terdapat keadaan dimana sebelum masa jabatan tersebut berdasarkan musyawarah umum nelayan dalam wilayah lho’ dimaksud, jabatan tersebut harus diganti. Pasal 9 (1)    Panglima laot kota dan wakil dalam menjalankan tugas dan fungsinya berkantor di Kantor Panglima Laot Kota yang bertempat di dekat pusat pemerintahan Kota Sabang (2)    Panglima laot lho’ dan wakil dalam menjalankan tugas dan fungsinya berkantor di kantor panglima laot lho yang berdekatan dengan balai nelayan wilayah lho’ yang bersangkutan. Pasal 10 (1)    Syarat-syarat untuk dapat menjadi panglima laot kota dan wakil antara lain: a.    Taat beragama dan mampu membaca Ayat Suci Al Quran b.    Mampu membaca dan menulis c.    Jujur, adil dan bijaksana d.    Berdomisili di wilayah Kota Sabang e.    Memahami tentang hukum adat laot  f.    Memiliki dedikasi dan perhatian terhadap nelayan  g.    Mempunyai hubungan baik dengan pemerintah (2)    Syarat-syarat untuk dapat menjadi panglima laot lho’ dan wakil antara lain: a.    Taat beragama dan mampu membaca Ayat Suci Al Quran b.    Nelayan atau Pawang laot di wilayah lho’ yang bersangkutan c.    Jujur, adil dan bijaksana d.    Mampu membaca dan menulis e.    Berdomisili di wilayah lho’ yang bersangkutan f.    Memahami tentang hukum adat laot  g.    Memiliki dedikasi dan perhatian terhadap nelayan  Pasal 11 (1)    Panglima Laot berfungsi: a.    Memimpin dalam pelaksanaan kehidupan adat dan hukum adat yang berhubungan dengan masalah pelayaran dan perikanan. b.    Menjadi penghubung antara nelayan dan pemerintah c.    Menjadi penampung aspirasi nelayan diwilayah hukumnya d.    Menjadi pemimpin sidang dalam persidangan adat e.    Menjadi wakil dari para nelayan untuk melakukan tindakan hukum dalam rangka memperjuangkan kepentingan para nelayan dalam wilayah hukumnya. f.    Menegakan hukum adat laot sesuai dengan peraturan hukum adat yang berlaku. (2)    Panglima laot bertugas: a.    Menyelesaikan masalah antara sesama nelayan atau antara nelayan dengan pihak lain yang menyangkut tentang sengketa kelautan di wilayah hukumnya. b.    Menyelesaikan masalah tentang pelanggaran hukum adat yang terjadi dalam wilayah hukumnya. c.    Memimpin rapat-rapat dan musyawarah untuk kepentingan lembaga adat. d.    Mengawasi penerapan hukum adat laot dalam segala aspek dan melaksanakan penindakan terhadap pelanggaran adat. e.    Tugas-tugas lain yang berhubungan dengan kepentingan para nelayan di wilayah hukumnya. (3)    Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya Panglima laot berwenang: a.    Menetapkan dan memutuskan setiap aturan-aturan adat yang berlaku pada wilayah adat masing-masing b.    Memberikan perintah kepada petugas keamanan adat untuk kepentingan lembaga adapt c.    Melakukan koordinasi dan hubungan-hubungan dengan lembaga-lembaga lain dalam lingkup lembaga hukum negara.  d.    Kewenangan-keweangan lain untuk kepentingan lembaga adapt yang tidak bertentangan dengan aturan hukum adapt dan hukum Negara Pasal 12 (1)    Wakil panglima laot bertugas untuk membantu tugas-tugas panglima laot dan menggantikan peran panglima laot ketika panglima laot berhalangan sementara maupun berhalangan tetap. (2)    Dalam hal panglima laot berhalangan tetap maka wakil panglima laot menggantikan semua tugas dan fungsi panglima laot sampai dengan adanya keputusan rapat umum nelayan. Pasal 13 (1)    Panglima laot dan jajarannya berhak mendapatkan insentif setiap bulannya dari Pemerintah Daerah Kota Sabang sesuai dengan tingkat hirarky kelembagaannya. (2)    Besarnya penghasilan tersebut antara lain: a.    Panglima laot kota berhak mendapat insentif sebesar Rp. 750.000 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) perbulan dan wakil panglima laot kota berhak mendapat insentif sebesar Rp. 650.000 (enam ratus lima puluh ribu rupiah) perbulan b.    Panglima laot lho’ berhak mendapatkan insentif sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) perbulan dan wakil panglima laot kota berhak mendapat insentif sebesar Rp. 400.000 (empat ratus ribu rupiah) perbulan  Pasal 14 Pemilihan panglima laot kota dilakukan dalam musyawarah umum panglima laot dan pemilihan panglima laot lho’ dilakukan dalam musawarah umum nelayan wilayah lho’ masing-masing yang bertempat dibalai nelayan atau ditempat lain berdasarkan situasi dan kondisi setempat. Pasal 15 (1)    Sebelum diadakan musyawarah umum untuk pemilihan panglima laot dibentuk sebuah panitia kecil yang berjumlah 10 orang untuk mengatur mekanisme pemilihannya. (2)    Panitia untuk pemilihan panglima laot kota diambil wakil-wakil nelayan dari seluruh lho’ yang ada di Sabang sedangkan panitia untuk pemilihan panglima laot lho’ diambil dari anggota nelayan diwilayah hukum  lho yang bersangkutan.    Pasal 16 (1)    Rapat umum panglima laot untuk pemilihan panglima laot kota harus dihadiri oleh  sekurang-kurangnya 7 orang panglima laot lho’ yang ada di Wilayah Sabang dan sekurang-kurangnya 10  orang pawang laot yang ada di Sabang. (2)    Rapat umum nelayan untuk pemilihan panglima laot lho’ harus dihadiri oleh 50% jumlah nelayan yang ada di wilayah lho tersebut. dan dari yang hadir paling sedikit terdapat 5 orang pawang laot. Pasal 17 (1)    Calon untuk dilakukan pemilihan panglima laot kota dan wakil minimal 5 orang dan maksimal 7 orang. (2)    Calon untuk dilakukan pemilihan panglima laot lho’ dan wakil minimal 3 orang dan maksimal 5 orang. (3)    Calon yang mendapat suara terbanyak dalam pemungutan suara menjadi panglima laot dan calon yang mendapat suara terbanyak kedua menjadi wakil panglima laot. Pasal 18 (1)    Pemilihan panglima laot dilakukan secara musawarah mufakat namun jika tidak ditemukan kata mufakat yang bulat maka dilakukan pemungutan suara. (2)    Hasil pemungutan suara dari para anggota rapat umum dianggap sah jika 50%+1 dari  suara yang ada dinyatakan sah oleh panitia pemilihan. Pasal 19 (1)    Musyawarah umum untuk Pemilihan panglima laot kota dilakukan setiap 8 tahun sekali. (2)    Musyawarah umum untuk Pemilihan panglima laot lho’ dilakukan setiap 8 tahun sekali. Pasal 20 Dalam hal dianggap perlu sewaktu-waktu panglima laot kota dapat menetapkan untuk diadakan musyawarah umum lembaga adat laot untuk membahas persoalan yang sifatnya sangat penting dan atau menyangkut hayat hidup para nelayan secara global.  Pasal 21 Panglima laot memegang jabatan untuk satu masa jabatan dan setelahnya dapat dipih kembali untuk satu masa jabatan lagi. Pasal 22 Mekanisme dan prosedur pemilihan Panglima laot di tentukan oleh masing-masing lembaga dengan berdasarkan musyawarah mufakat yang diliputi asas kekeluargaan. Pasal 23 (1)    Panglima Laot Kota dilantik dikukuhkan dengan Surat Keputusan dari Walikota Sabang,  (2)    Panglima laot Lho’ dilantik dan dikukuhkan dengan surat keputusan dari Camat dimana wilayah lho’ tersebut berada. Pasal 24 (1)    Sebelum memangku jabatannya panglima laot kota disumpah oleh panglima laot Propinsi Nanggro Aceh Darussalam (2)    Sebelum memangku jabatannya panglima laot lho’ disumpah oleh panglima laot kota Pasal 25 Panglima laot dan atau wakil panglima laot diganti karena : -    Meninggal Dunia -    Karena masa jabatan berakhir  -    Mengalami sakit yang parah sehingga tidak mampu untuk menjalankan lagi kepemimpinannya. -    Melakukan suatu perbuatan yang dapat melukai para nelayan secara umum. -    Telah bersikap yang tidak adil sehingga menimbulkan permasalahan dalam komunitas adat nelayan sendiri -    Tidak mampu untuk memperjuangkan kepentingan para nelayan lagi -    Tidak dapat menjadi contoh yang baik bagi para nelayan. -    Melakukan penggaran adat yang sifatnya telah menjadi ketentuan adat yang turun temurun

SEKRETARIS 
Pasal 26 (1)    Sekretaris ditunjuk dan diangkat oleh panglima laot berdasarkan kecakapannya dengan persetujuan anggota dalam rapat umum nelayan.  (2)    Sekretaris bertugas membantu panglima laot dalam hal administrasi dan notulensi dalam rapat-rapat dan musyawarah. (3)    Masa jabatan sekretaris sesuai dengan masa jabatan panglima laot kecuali sebelum masa jabatannya berakhir panglima laot melakukan pergantian berdasarkan kesepakatan dengan para nelayan  Pasal 27 (1)    Sekretaris panglima laot kota berhak mendapatkan insentif dari Pemerintan Kota Sabang sebesar Rp. 350. 000 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah) perbulan (2)    Sekretaris panglima laot lho berhak mendapatkan insentif dari Pemerintah Kota Sabang sebesar Rp. 250. 000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) perbulan BENDAHARA Pasal 28 (1)    bendahara ditunjuk dan diangkat oleh panglima laot berdasarkan kecakapannya dengan persetujuan anggota dalam rapat umum nelayan.  (2)    Bendahara bertugas membantu panglima laot dalam hal keuangan lembaga adat laot (3)    Masa jabatan bendahara sesuai dengan masa jabatan panglima laot kecuali sebelum masa jabatannya berakhir panglima laot melakukan pergantian berdasarkan kesepakatan dengan para nelayan. Pasal 29 (3)    Bendahara panglima laot kota berhak mendapatkan insentif dari Pemerintah Kota Sabang sebesar Rp. 350. 000 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah) perbulan (4)    Bendahara panglima laot lho berhak mendapatkan insentif dari Pemerintah Kota Sabang sebesar Rp. 250. 000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) perbulan. PENASEHAT Pasal 30 Penasehat Panglima laot terdiri dari 3 (tiga) orang yang berasal dari 3 unsur yang antara lain: b.    Unsur pemerintah c.    Unsur tokoh agama d.    Unsur tokoh adapt Pasal 31 (1)    Penasehat panglima laot kota yang berasal dari unsur pemerintah adalah kepala dinas perikanan Kota Sabang karena jabatannya. (2)    Penasehat panglima laot kota yang berasal dari unsur tokoh agama adalah Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Sabang karena jabatannya  (3)    Penasehat panglima laot kota yang berasal dari unsur tokoh adat adalah Ketua Majelis Adat Aceh Kota Sabang karena jabatannya . Pasal 32 (1)    Penasehat panglima laot lho yang berasal dari unsur pemerintah adalah Imam Mukim dalam masing-masing wilayah lho’ karena jabatannya. (2)    Penasehat panglima laot lho yang berasal dari unsur tokoh agama adalah Imam meunasah dalam masing-masing wilayah lho’ yang bersangkutan  (3)    Penasehat panglima laot kota yang berasal dari unsur tokoh adat adalah tokoh masarakat di wilayah lho’ tersebut, yang dianggap memahami tentang hukum adat laot. Pasal 33 (1)    Penasehat bertugas memberikan nasihat dan pendapat kepada panglima laot baik diminta maupun tidak diminta. (2)    Nasehat dan pendapat penasehat bersifat mengikat dan wajib untuk dipertimbangkan oleh panglima laot. PETUGAS KEAMANAN ADAT Pasal 34 (1)    Petugas keamanan adat dibentuk pada masing-masing panglima laot lho’ (2)    Petugas keamanan adat diangkat oleh panglima laot yang berasal dari nelayan dan /pawang laot berdasarkan pemilihan oleh anggota nelayan dalam musyawarah umum nelayan. (3)    Petugas keamana adat dalam masing-masing lembaga adat laot lho’ paling sedikit berjumlah 5 orang dan paling banyak berjumlah 10 orang. Pasal 35 (1) Petugas keamanan adat bertugas: a.    Menjaga dan memelihara kehidupan adat dalam masarakat adat nelayan b.    Melakukan pengamanan dalam pelaksanaan persidangan adat c.    Mengamankan pelaksanaan penangkapan ikan dilaot dalam wilayah hukum adat masing-masing d.    Menjaga dan memelihara sarana transport perikanan dan barang-barang lain yang dalam penahanan lembaga adat. e.    Melaksanakan putusan persidangan adat. f.    Melakukan pertolongan terhadap musibah dan kecelakaan dilaut g.    Menjaga ketertiban dan kemanan dilaut bersama-sama dengan petugas keamanan laut  seperti POLAIR, KAMLA maupun petugas keamanan lain yang berwenang (2)    Petugas keamanan adat berwenang melakukan tindakan a.    Melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap pelanggar aturan/ ketentuan hukum adat laot b.    Melakukan penahanan sarana transport perikanan, alat-alat tangkap ikan dan benda-benda lain yang berhubungan dengan usaha penangkapan ikan untuk kepentingan persidangan adat c.    Melakukan penyitaan hasil tangkapan ikan berdasarkan keputusan sidang persidangan adat d.    Menyerahkan pelaku pelanggaran dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelanggarannya kepada petugas penegak hukum dalam lingkup hukum Negara jika pelanggaran tersebut bersifat tindak pidana. Pasal 36 (1)    Petugas keamanan adat hanya dapat melakukan pengejaran dan atau penangkapan jika orang yang disangka melanggar sedang atau sesaat baru selesai melakukan pelanggaran tersebut. (2)    Jika pada saat terjadinya pelanggaran, Petugas keamanan adat di wilayah tersebut sedang tidak ada, maka setiap nelayan berhak melakukan pengejaran dan penangkapan namun sesegera mungkin yang ditangkap harus diserahkan kepada petugas keamanan adat. Pasal 37 Petugas keamanan berhak mendapatkan insentif dari Pemerintah Kota Sabang sebesar Rp. 350.000 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah) perbulan. Pasal 38 Petugas keamanan bertugas di wilayah hukum adat masing-masing, kecuali berdasarkan perintah panglima laot kota dalam hal pengamanan gabungan.

BAB IV HUKUM ADAT LAOT MEKANISME PEMBENTUKAN HUKUM ADAT
Pasal 39 (1)    Hukum adat laot terbentuk karena suatu kebiasaan yang telah berlangsung lama secara turun temurun dan memiliki daya mengikat dalam masarakat adat nelayan (2)    Pengecualian pada ayat (1) hukum adat juga dapat terbentuk karena kesepakatan dari komponen masarakat adat dalam suatu wilayah hukum adat dan di cetuskan oleh panglima laot sebagai pemimpin adat. Pasal 40  Masing-Masing wilayah hukum lho berwenang untuk membentuk dan menentukan aturan adat masing-masing. Pasal 41 (1)    Aturan adat baru merupakan hukum adat jika tidak bertentangan dengan hukum agama dan hukum negara. (2)    Jika aturan adat ternyata bertentangan dengan hukum agama dan atau hukum negara maka demi hukum aturan tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat. (3)    Jika aturan adat berakibat mengganggu terhadap kelangsungan hayat hidup para nelayan maka aturan tersebut dapat dibatalkan Pasal 42 (1)    Aturan adat dalam suatu wilayah lho baru mengikat secara hukum adat jika aturan tersebut telah di beritahukan kepada Panglima laot Kota untuk dicatat dalam lembaran adat, dan di umumkan di seluruh wilayah lho’ yang ada di Sabang. (2)    Panglima Laot Kota berwenang membatalkan aturan adat yang ternyata bertentangan dengan pasal 41 diatas; (3)    Pembatalan tersebut dilakukan dengan surat keputusan yang ditembuskan kepada seluruh wilayah hukum lho’ yang ada di Sabang;

SANKSI ADAT
Pasal 43 Sanksi adat terdiri dari: a.    Denda b.    Penyitaan hasil tangkapan ikan c.    Penahanan sarana transportasi perikanan untuk sementara waktu d.    Penyitaan alat tangkap ikan.  Pasal 44 Sanksi adat dijatuhkan dengan mempertimbangkan berat dan ringannya pelanggaran. Pasal 45 Sanksi denda dapat dijatuhkan untuk paling rendah Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah dan paling tinggi Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah). Pasal 46 Sanksi penyitaan hasil tangkapan ikan dapat dijatuhkan untuk seluruh atau sebagian hasil tangkapan.  Pasal 47 Sanksi penahanan saranan transportasi perikanan dapat dijatuhkan untuk paling singkat 3 (tiga) hari dan paling lama 5 (lima) hari. Pasal 48 Sanksi penyitaan alat tangkap ikan dapat dijatuhkan jika alat tangkap ikan tersebut bersifat merusak dan memusnahkan ekosistem laut. Pasal 49 Barang-barang berupa sarana transportasi perikanan dan alat tangkap perikanan yang ditahan atau disita harus disimpan ditempat yang aman dengan penjagaan oleh petugas keamanan adat. Pasal 50 (1)    Selain dari sanksi tersebut pada Pasal 43 maka dapat dijatuhkan  pula sanksi subsider terhadap kemungkinan tidak dilakukannya pembayaran atas putusan denda (2)    Sanksi subsider tersebut berupa penahanan boat untuk paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 14 (empat belas) hari. Pasal 51 (1)    Sanksi adat sebagaimana pada Pasal 43 dapat dijatuhkan salah satu jenis atau beberapa jenis sesuai dengan berat dan ringannya pelanggaran. (2)    Dengan alasan-alasan tertentu Panglima laot berdasarkan kesepakatan dengan para anggota sidang dalam persidangan adat dapat membebaskan sipelanggar dari penjatuhan sanksi. Pasal 52 (1)    Penjatuhan sanksi senantiasa harus dihindari jika akan sangat mengganggu kehidupan ekonomi si pelanggar. (2)    Pertimbangan mengenai dijatuhkannya atau tidak sanksi terhadap sipelanggar merupakan kewenangan panglima laot dengan terlebih dahulu meminta saran-saran dari anggota persidangan.

PANTANG LAOT
Pasal 53 (1)    Pantang Laot adalah larangan untuk melakukan penangkapan ikan dan segala jenis biota laot lainya (2)    Terhadap kegiatan pelayaran yang tidak melakukan penangkapan ikan dan segala jenis biota laot lainya tidak berlaku pantang laot (3)    pelanggaran terhadap ketentuan pantang laot merupakan pelanggaran adat Pasal 54 (1)    Masing-masing wilayah hukum adat berhak menentukan pantang laot sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah adat setempat (2)    Penentuan mengenai hari pantang laot sedapat mungkin tidak  sampai mengganggu kondisi ekonomi masarakat nelayan setempat.  ADAT SOSIAL LAOT Pasal 55 (1)    Setiap masarakat adat nelayan Kota Sabang wajib senantiasa menumbuhkan sikap gotong-royong dan saling tolong-menolong (2)    Siapapun yang melihat, mengetahui atau menyaksikan ada anggota nelayan atau siapa saja yang mengalami kesulitan, kecelakaan atau ganguan ditengah laot maka wajib untuk melakukan pertolongan (3)    Pertolongan yang dilakukan harus sampai dengan orang/nelayan yang  perlu ditolong tersebut terbebas dari bahaya di laot. (4)    Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2) diatas merupakan pelanggaran adat dalam katagori yang berat

BAB V LEMBAGA PERSIDANGAN ADAT LAOT STRUKTUR PERSIDANGAN ADAT
Pasal 56 (1)    Persidangan adat terdiri dari dua tingkatan yaitu persidangan adat laot kota dan persidangan adat laot lho’ (2)    Persidangan adat laot kota bertempat di balai nelayan lembaga adat laot kota (3)    Persidangan laot lho’ bertempat dibalai nelayan pada masing-masing wilayah hukum lho’ PERANGKAT PERSIDANGAN Pasal 57 Perangkat persidangan adat laot kota terdiri dari: a.    Panglima laot karena jabatannya sebagai pemimpin sidang b.    Beberapa orang Penasehat Persidangan adat yang jumlahnya harus ganjil, berasal dari tokoh masarakat, Tokoh Adat atau orang yang dianggap ahli dan memahami perkara yang disidangkan. c.    1 (satu) orang sekretaris sidang adat yang merupakan sekretaris panglima laot d.    Anggota persidangan. Pasal 58 Pemimpin sidang berwenang untuk: a.    Memimpin dan mengatur jalannya persidangan b.    Menyatakan bebas atau dihukum c.    Menjatuhkan sanksi jika berdasarkan penilaian Penasehat Persidangan orang yang disangka melanggar bersalah dalam perkara pelanggaran aturan adat d.    Menyatakan pihak mana yang harus melakukan sesuatu, membayar sesuatu dan mengganti sesuatu dalam sengketa perdata adat berdasarkan penilaian Penasehat Persidangan pihak mana yang dinilai bersalah. e.    Mendamaikan para pihak dipersidangan. Pasal 59 (1)    Penasehat Persidangan adat sebagaimana pada ayat (1) huruf b di ditunjuk oleh panglima laot dari tokoh masarakat, Tokoh Adat atau seseorang yang dianggap ahli atau memahami persoalan yang disidangkan. (2)    Penasehat Persidangan adat yang ditunjuk harus independent atau netral baik terhadap pihak yang berperkara maupun terhadap permasalahan yang disidangkan. (3)    Penasehat Persidangan adat dalam persidangan pelanggaran menentukan tentang melanggar atau tidaknya terhadap ketentuan adat yang di tuduhkan. (4)    Penasehat Persidangan adat dalam persidangan sengketa perdata adat menentukan pihak mana yang bersalah. Pasal 60 Sekretaris bertugas mencatat segala sesuatu yang terjadi di dalam persidangan termasuk mencatat dalam buku khusus butir-butir putusan pemimpin sidang. Pasal 61 Anggota sidang membantu dalam mencari penyelesaian perkara yang sedang di sidangkan dengan cara memberikan saran atau pendapat. 

KEWENANGAN PERSIDANGAN ADAT
Pasal 62 (1)    Persidangan adat berwenang menyelesaikan perkara-perkara adat dikalangan para nelayan. (2)    Perkara adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah “perselisihan”, “sengketa” dan “pelanggaran”. Pasal 63 (1)    Perselisihan adalah persoalan dalam hubungan kemasyarakatan antara nelayan dengan nelayan atau antara nelayan dengan bukan nelayan  (2)    Perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terjadi dalam bentuk perbedaan pendapat yang menimbulkan ketegangan, pertengkaran, pertikaian, perkelahian atau bentuk-bentuk lain yang dapat menimbulkan keresahan dalam masarakat. Pasal 64 Sengketa adalah perselisihan dalam ruang lingkup hukum perdata adat tentang hak-hak keperdataan adat antara seorang nelayan atau sekelompok nelayan dengan seorang nelayan atau sekelompok nelayan yang lainnya dalam bidang pelayaran dan/ perikanan. Pasal 65 Pelanggaran adalah tindakan yang telah menyalahi ketentuan yang dilarang atau tidak melakukan suatu keharusan dalam ketentuan hukum adat laot yang berlaku. Pasal 66 (1)    Persidangan adat laut kota berwenang menyelesaikan perkara perselisihan dan sengketa diantara para nelayan yang berada dalam wilayah lho’ yang berbeda. (2)    Disamping kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) persidangan adat laut kota juga berwenang mnyelesaikan perkara perselisihan, sengketa dan pelanggaran yang tidak mampu diselesaikan oleh persidangan adat lho. (3)    Persidangan adat laot lho berwenang menyelesaikan perselisihan, sengketa dan pelanggaran dalam wilayah hukum adat masing-masing lho’. Pasal 67 (1)    Kewenangan persidangan adat dalam menyelesaikan perkara perselisihan atau senketa ditentukan berdasarkan domisili nelayan yang bersengketa. (2)    Jika diantara yang berselisih atau bersengketa kesemuanya berdomisili dalam satu wilayah lho’ yang sama maka persidangan adat lho’ yang bersangkutan yang berwenang menyelesaikannya. (3)    Jika diantara nelayan yang berselisih atau bersengketa berlainan wilayah lho’, maka persidangan adat laut kota yang berwenang menyelesaikannya. (4)    Jika nelayan nelayan berselisih atau bersengketa dengan yang bukan nelayan maka yang menyelesaikan adalah persidangan adat dimana si nelayan berdomisili. Pasal 68 (1)    Dalam perkara pelanggaran persidangan adat yang berwenang adalah persidangan adat lho’ diwilayah mana pelanggaran tersebut terjadi. Pasal 69 (1)    Jika suatu tindakan pelanggaran adat yang dimaksud ternyata juga pelanggaran terhadap hukum pidana negara maka pihak lembaga adat wajib menyerahkan perkara tersebut kepada pihak penegak hukum dalam lingkup hukum negara. (2)    Penyerahan perkara tersebut kepada sistem persidangan negara tidak menutup kemungkinan panglima laot untuk dan atas nama para nelayan mengajukan gugatan ganti kerugian  secara class action kepada Persidangan Negeri jika akibat perbuatan tersebut berdampak besar bagi kehidupan ekosistem laut.

ASAS-ASAS PERSIDANGAN ADAT
Pasal 70 (1)    Persidangan adat dilakukan secara terbuka untuk umum. (2)    Pengecualian dari ayat (1) diatas persidangan dapat dilakukan secara tertutup jika nyata-nyata akan mengakibatkan jatuhnya harga diri seseorang. (3)    Penentuan persidangan dapat dilakukan secara tertutup atau tidak merupakan kewenangan pemimpin sidang dengan saran dari anggota persidangan. Pasal 71 Suasana persidangan harus senantiasa dilandasi dengan sikap kekeluargaan. Pasal 72 Setiap orang yang disangka melanggar aturan adat harus dianggap belum bersalah sampai dengan putusan pemimpin sidang dijatuhkan. Pasal 73 Orang yang disangka melanggar aturan adat wajib diberi kesempatan untuk membela diri. Pasal 74 (1)    Tidak sekali-kali dapat dinyatakan bersalah jika pelanggaran dilakukan dalam keadaan darurat atau dalam menjalankan tugas negara. (2)    Kewenangan untuk menilai keadaan tersebut darurat atau tidak adalah kewenangan Penasehat Persidangan adat (penengah) dalam persidangan. Pasal 75 (1)    Alat bukti dalam perkara adat meliputi: a.    Saksi b.    Benda-benda yang berhubungan dengan penangkapan ikan c.    Bukti-bukti lain yang berhubungan dengan perkara yang disidangkan (2)    setiap saksi yang dihadirkan dipersidangan adat disumpah dibawah kitab suci oleh seorang tengku meunasah Pasal 76 Persidangan harus dihadiri oleh minimal 5 orang anggota persidangan yang berasal dari para nelayan atau pawang laot.   Pasal 77 (1)    Keputusan dalam persidangan diambil berdasarkan musawarah mufakat  (2)    Jika mufakat tidak tercapai maka diambil dengan suara terbanyak dari anggota  sidang. Pasal 78 (1)    Setiap penjatuhan putusan dalam perkara perdata adat sedapat mungkin tidak dalam bentuk menang atau kalah tapi merupakan suatu kesepakatan antara kedua belah pihak. (2)    Dalam keadaan yang sangat memaksa Pemimpin sidang dalam perkara perdata adat dapat menjatuhkan putusan berupa kewajiban untuk menyerahkan sesuatu atau membayar sejumlah uang atau mengganti sesuatu berdasarkan kesepakatan pendapat dari para anggota persidangan dengan mempertimbangkan secara bijaksana kemampuan orang yang dihukum. Pasal 79 Putusan berupa hukuman sanksi adat terhadap sipelanggar harus senantiasa disesuaikan dengan kemampuan sipelanggar dan kondisi ekonomi sipelanggar. Pasal 80 (1)    Dalam perkara perselisihan pemimpin sidang tidak harus mengeluarkan putusan kecuali jika dalam penyelesaian tersebut terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang berselisih maka dituangkan kedalam putusan. (2)    Dalam setiap persidangan perkara perselisihan harus senantiasa diakhiri dengan saling memaafkan diantara pihak yang berselisih Pasal 81 (3)    Setiap pelaksanaan putusan dilakukan secara sukarela dengan bantuan petugas keamanan adat. (4)    Hukuman berupa sanksi adat tidak boleh dijatuhkan jika akan berdampak sangat besar terhadap perekonomian pihak yang dihukum. Pasal 82 Keputusan persidangan adat laot kota maupun keputusan persidangan adat bersifat final dan mengikat.

MEKANISME PERSIDANGAN
Perkara Sengketa Perdata Adat Pasal 83 (1)    Pada saat melaporkan gugatannya pihak yang merasa dilanggar hak perdata adatnya diwajibkan untuk membayar uang meja sebesar Rp. 20.000 (dua puluh ribu rupiah). (2)    Laporan gugatan hanya diterima di kantor panglima laot pada hari senin sampai dengan hari rabu dari pukul 10.00 Wib sampai dengan pukul 15.00 Wib (3)    Laporan gugatan dicatat oleh sekretaris panglima laot untuk kemudian dilakukan pemanggilan kepada masing-masing pihak (4)    Pemanggilan untuk persidangan harus sudah diterima oleh para pihak selambat-lambatnya 3 hari sebelum hari persidangan. Pasal 84 (1)    Persidangan adat terhadap sengketa perdata adat dilaksanakan pada setiap hari jumat dari pukul 08.00 Wib sampai dengan pukul 11.00 Wib,  Pasal 85 (1)    Jika setelah dipanggil pada hari persidangan penggugat tidak hadir maka gugatan dinyatakan gugur. (2)    Jika setelah dipanggil pada hari persidangan tergugat tidak hadir maka dilakukan pemanggilan sekali-lagi untuk persidangan jumat berikutnya. (3)    Jika setelah dipanggil dua kali berturut-turut tergugat tidak datang maka persidangan dapat diputuskan dengan tanpa kehadiran tergugat berdasarkan bukti-bukti yang ada. Pasal 86 Pemimpin sidang tidak dapat menentukan putusan dalam perkara sengketa perdata adat kecuali dengan dua alat bukti yang dapat dipertanggungjawabkan di persidangan. Pasal 87 Persidangan diputus dengan mendengar keterangan masing-masing pihak dan mempertimbangkan semua alat-alat bukti yang dihadirkan oleh masing-masing pihak. Pasal 88 (1)    Setiap persidangan diputus pada hari itu juga kecuali karena alasan-alasan tertentu dapat ditunda sampai dengan persidangan  hari jumat berikutnya. (2)    Terhadap perkara perdata adat yang tidak dapat diputus pada hari jumat itu maka pada hari jumat berikutnya Pemimpin sidang harus menjatuhkan putusannya. Pasal 89 (1)    Setelah masing-masing pihak mendapat giliran untuk mengemukakan keterangannya dan mengajukan bukti-buktinya maka pemimpin sidang menanyakan kepada Penasehat Persidangan adat siapakah yang bersalah. (2)    Setelah ditentukan pihak mana yang bersalah maka Pemimpin sidang bermusyawarah dengan para pihak yang bersengketa dan anggota persidangan untuk mencari penyelesaian masalahnya dan kemudian pemimpin sidang menentukan putusannya.  Pasal 90 Setiap putusan perkara sengketa perdata adat dilaksanakan oleh masing-masing pihak secara sukarela dengan bantuan petugas keamanan adat Perkara Pelanggaran Pasal 91 (1)    Persidangan perkara pelanggaran dilakukan pada hari pelanggaran tersebut terjadi  (2)    Jika tidak mungkin disidangkan pada hari itu juga maka persidangan dapat dilakukan pada hari berikutnya dengan prinsip sesegera mungkin perkara pelanggaran tersebut disidangkan (3)    Jika sampai dengan hari ke 7 (tujuh) hari sejak pelanggaran tersebut terjadi perkaranya tidak juga disidangkan maka perkara pelanggaran tersebut demi hukum menjadi gugur dan segala bentuk tindakan sementara yang antara lain: a.    Jika alat transportasi perikanan dan alat tangkap ikannya sudah ditahan maka sesegera mungkin harus dikembalikan. b.    Jika hasil tangkapan ikannya telah disita atau dilelang maka uang hasil pelelangan tersebut harus segera dikembalikan. Pasal 92 (1)    Dalam sidang pelanggaran pertama-tama orang yang disangka melanggar di hadapkan dipersidangan oleh petugas keamanan adat dalam keadaan bebas beserta saksi-saksi dan atau benda-benda yang berhubungan dengan pelanggarannya. (2)    Setelah mendengar keterangan saksi-saksi yang telah disumpah maka orang yang disangka melanggar diberi hak untuk membela diri. (3)    Kemudian Penasehat Persidangan adat menilai apakah perbuatan orang yang disangka melanggar tersebut bersalah atau tidak. (4)    Pemimpin sidang kemudian meminta pendapat anggota persidangan untuk menentukan putusannya. (5)    Masing-masing anggota persidangan mempunyai hak suara dalam menentukan putusan. (6)    Setelah meminta mendapatkan kata mufakat dari anggota persidangan maka Pemimpin sidang  menjatuhkan putusan. (7)    Jika pendapat dari anggota persidangan tidak dihasilkan kata mufakat maka diambil  dengan suara terbanyak. Pasal 93 Setelah diputuskan maka segala hasil keputusan pemimpin sidang dilaksanakan oleh petugas keamanan adat. Perkara Perselisihan Pasal 94 (1)    Persidangan perkara perselisihan dilakukan pada hari ketika terjadinya perselisihan (2)    Jika terhadap perkara perselisihan tidak dapat disidangkan pada hari itu juga maka dapat dilakukan persidangan pada hari berikutnya dengan prinsip sesegera mungkin perselisihan tersebut dapat diselesaikan. Pasal 95 Dalam perkara perselisihan pihak-pihak yang berselisih dipanggil kedalam ruang persidangan dengan pengawalan petugas keamanan adat. Pasal 96 Pertama-tama sebelum dimulainya persidangan pemimpin sidang berusaha untuk mendinginkan suasana sehingga persidangan berjalan dalam suasana yang dingin  Pasal 97 (1)    Dalam perkara perselisihan Penasehat Persidangan sedapat mungkin ditunjuk dari seorang tokoh agama yang bisa memberikan nasihat keagamaan kepada para pihak yang berselisih  (2)    Penasehat Persidangan adat dalam perkara perselisihan hanya memberi nasihat keagamaan dan mengusulkan penyelesaiannya (3)    Pemimpin sidang, pihak-pihak yang berselisih beserta anggota sidang selanjunya bermusyawarah untuk mencari penyelesaiannya (4)    setelah ditemukan penyelesaiannya maka kedua belah pihak yang berselisih didamaikan dengan saling bermaafan di depan pemimpin sidang. Pasal 98 Dalam perkara perselisihan putusan tidak perlu dijatuhkan terkecuali jika dari hasil musyawarah berdasarkan kesepakan pihak-pihak yang berselisih ditentukan tentang syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian tertentu yang perlu untuk dikuatkan dalam putusan pemimpin sidang.

BAB VI HUBUNGAN PANGLIMA LAOT DENGAN LEMBAGA LAIN
Pasal 99  (1) Unsur-unsur pimpinan di daerah yang terdiri dari: a. Walikota Sabang b. Ketua Pengadilan Negeri Sabang c. Ketua Mahkamah Syariah Sabang d. Kepala Kejaksaan Negeri Sabang e. Kepala Kepolisian Resort Sabang f. Komandan LANAL Sabang g. Kepala Navigasi Sabang Karena jabatannya merupakan pelindung lembaga adat laot (1)    Pelindung berperan aktif dalam melindungi dan mengawasi kehidupan adat dalam lembaga adat laot. Pasal 100 Panglima laot harus senantiasa menjaga hubungan baik dengan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan kegiatan pelayaran dan perikanan. Pasal 101 Dalam hal diperlukan panglima laot dapat membantu atau meminta bantuan aparat TNI Angkatan Laut (KAMLA) atau Kepolisian RI (AIRUD) dalam hal terjadinya pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan di laut..   Pasal 102 Panglima laot harus diikutsertakan dalam hal upaya penanggulangan pencemaran laut atau penanggulangan akibat kecelakaan dilaut. Pasal 103 (1)    Panglima laot dapat memberikan saran kepada Pemerintah Daerah dalam hal pengambilan kebikajan yang berhubungan dengan laot. (2)    Jika kebijakan tersebut secara langsung menyangkut hajat hidup para nelayan maka wajib terlebih dahulu meminta pendapat panglima laot kota

BAB VII  HAK PENDAPATAN LEMBAGA ADAT
Pasal 104 (1)    Lembaga adat berhak mendapatkan subsidi dari Pemerintah Kota Sabang sebagai pendapatan lembaga guna menjalankan organisasinya. (2)    Pendapatan tersebut sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) perbulan bagi lembaga adat laot kota dan Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) perbulan bagi lembaga adat laot lho’. Pasal 105 (1)    Lembaga adat berhak memungut “uang adat” atas: a.    Pemilik sarana transportasi perikanan berdasarkan jenis dan macamnya. b.    Toke-toke bangku, muge-muge dan pelaku-pelaku usaha lain yang berhubungan dengan usaha perikanan dan kelautan. (2)    Uang adat tersebut dipungut setahun satu kali dengan melihat kemampuan dan kesanggupan secara ekonomi berdasarkan kepemilikan sarana transport perikanan dan jenis usahanya. (3)    Uang adat yang dapat ditarik paling rendah sebesar Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah) dan paling tinggi sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) (4)    Uang adat tersebut menjadi kas lembaga adat laot lho’ dengan ketentuan 20% dari nilai keseluruhan uang adat tersebut menjadi hak lembaga laot kota. (5)    Pemungutan uang adat dilakukan oleh petugas keamanan adat setiap bulan Januari dan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Januari sudah selesai terkumpul. Pasal 106 Selain dari pungutan sebagaimana tercantum dalam Pasal 105 diatas uang adat juga dapat dipungut dari iuran-iuran para nelayan yang tidak bertentangan dengan hukum adat dan hukum negara dengan tetap berpedoman kepada kemampuan dari orang yang dipungut Pasal 107 (1)    Setiap jual beli, sewa menyewa, gadai maupun perjanjian keperdataan lain yang dapat menimbukan manfaat ekonomi harus dengan sepengetahuan panglima laot lho’ pada masing-masing wilayah lho’ yang bersangkutan. (2)    Dari setiap perjanjian tersebut pada ayat (1) menjadi hak lembaga adat 2,5% dari nilai perjanjian. (3)    Ketentuan 2,5% tersebut 1% merupakan hak lembaga laot kota dan 1,5% merupakan hak lembaga laot lho yang bersangkutan. (4)    Pihak yang menerima uang dalam perjanjian tersebut yang berkewajiban untuk membayar 2,5% hak lembaga. (5)    Uang tersebut dimasukan kepada kas lembaga adat laot. Pasal 108 (1)    Untuk mendapatkan sebuah surat keterangan SIB, SIP, IUP, SKP,  SIKPPI dan SIKPI yang Kapal atau alat transportasi perikanannya didaftarkan diwilayah Kota Sabang maka sebelumnya harus mendapat surat rekomendasi dari panglima laot kota. (2)    Dari penerbitan surat rekomendasi tersebut bagi pemohon dikenakan biaya administrasi sebesar Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah) (3)    Uang dari biaya administrasi tersebut menjadi uang kas lembaga adat laot kota. Pasal 109 Segala pendapatan yang menjadi kas lembaga dipergunakan untuk kepentingan rumah tangga lembaga dengan penggunaan yang disesuaikan berdasarkan peruntukan yang benar dan tepat. Pasal 110 (1)    Pemasukan dan pengeluaran keuangan lembaga adat harus dicatat dalam sebuah pembukuan  (2)    Pencatatan tersebut dilakukan oleh bendahara panglima laot Pasal 111 Segala pengeluaran dan penggunaan uang kas lembaga setiap tahun harus dipertanggungjawabkan oleh panglima laot kepada para nelayan dalam rapat umum tahunan.

BAB VIII  KHANDURI LAOT
Pasal 112 Khanduri Laot wajib dilaksanakan oleh masing-masing lembaga laot lho’ dan lembaga adat laot kota. Pasal 113 (1)    Pelaksanaan khanduri laot lho’ sedapat mugkin dilaksanakan setiap satu tahu satu kali. (2)    Namun jika tidak mungkin dilaksankan satu tahun  berurutan maka dalam tiga tahun minimal dapat dilaksankan satu kali khanduri laot. (3)    Kenduri laot akbar pada lembaga adat laot kota dapat dilaksanakan sekurang-kurangnya 5 tahun satu kali.  Pasal 114 (1)    Mekanisme pelaksanaan khanduri laot dilakukan berdasarkan ketentuan dan kebijakan masing-masing wilayah hukum adat yang bersangkutan. (2)    Prosesi khanduri laot sebagaimana dalam ayat (1) tidak boleh bertententangan dengan ketentuan hukum agama dan hukum negara. Pasal 115 (1)    Biaya pelaksanaan khanduri laot diambil dari iuran sukarela para nelayan pada masing-masing wilayah hukum adat yang bersangkutan berdasarkan musyawarah dan mufakat para nelayan dan pemangku adat. (2)    Selain dari iuran para nelayan biaya khanduri dapat juga diperoleh dari sumber lain dengan menggunakan cara-cara yang tidak melanggar aturan adat dan aturan hukum negara. Pasal 116 (1)    Pelaksanaan khanduri laot harus diberitahukan kepada panglima laot kota dan/ seluruh panglima laot lho’ yang ada di Sabang  (2)    Pantang laot kenduri dapat ditentukan selama-lamanya 3 hari sejak kenduri laot dilaksanakan. (3)    Jika pelaksanaan khanduri laot tidak diberitahukan maka tidak berlaku pantang laot khanduri.

BAB IX BADAN USAHA MILIK ADAT
Pasal 117 (1)    Lembaga adat laot yang terdiri dari sekumpulan nelayan dapat membuat badan usaha dibawah naungan lembaga adat. (2)    Badan usaha tersebut dibentuk dari nelayan oleh nelayan dan untuk nelayan.

KOPERASI NELAYAN 
Pasal 118 (1)    Koperasi nelayan dapat dibentuk pada Lembaga Adat Laot Kota  yang meliputi seluruh wilayah hukum adat Kota Sabang maupun pad lembaga adat laot lho’ yang meliputi wilayah hukum panglima laot lho’ (2)    Koeperasi tersebut beranggotakan para nelayan sesuai dengan tingkat lembaga adat yang menaunginya. (3)    Koperasi nelayan betujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan.  Pasal 119 Jenis usaha jasa koperasi disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kebutuhan nelayan. Pasal 120 (1)    Permodalan koperasi diperoleh dari anggota dalam bentuk simpanan anggota. (2)    Selain dari yang disebutkan pada ayat (1) permodalan koperasi dapat diperoleh dari sumber lain yang tidak bertentangan dengan aturan adat maupun aturan negara.

BADAN USAHA LAIN
Pasal 121 Disamping koperasi sebagai badan usaha milik adat lembaga adat dapat membentuk badan usaha lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum adat maupun hukum Negara dengan tujuan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan nelayan.

BAB X KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 122 (1)    Dalam waktu 6 bulan sejak peraturan ini disahkan maka terhadap segala sesuatu yang telah berjalan sebelum peraturan ini disahkan tidak sesuai dengan yang diatur dalam peraturan ini sejauh mungkin disesuaikan sebagaimana yang diatur dalam peraturan ini.

BABV XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 123 Peraturan ini disebut Peraturan Tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Kehidupan Adat Lembaga Hukom Adat Laot Kota Sabang. Pasal 124 Peraturan ini berlaku sejak disahkan dalam Rapat Umum Lembaga Adat Laot Kota Sabang.  Naskah peraturan ini disahkan dalam MUSYAWARAH UMUM LEMBAGA HUKOM ADAT  LAOT KOTA SABANG yang dilaksanakan di S A B A N G Pada Hari S E L A S A tanggal 20 F E B R U A R I Tahun 2007 oleh :  PANGLIMA LAOT KOTA SABANG  dto  M. JUSUF DJAMIN  PANGLIMA LAOT LHO’ PASIRAN  dto HASAN BASRI    PANGLIMA LAOT LHO, IE MEULEE  dto KARNAINI PANGLIMA LAOT LHO’ BALOHAN  dto ISMAIL TAHER    PANGLIMA LAOT LHO’ KEUNEUKAI  Dto BASARI PANGLIMA LAOT LHO PRIA LAOT  dto AGUS A RAHMAN    PANGLIMA LAOT LHO’ PAYA KEUNEUKAI dto RAJALI PANGLIMA LAOT LHO’ BERAWANG  dto RAJALI RANI    PANGLIMA LAOT LHO’ ANOI ITAM  dto MAWARDI PANGLIMA LAOT LHO’ IBOIH  dto LUKMAN    PANGLIMA LAOT LHO’ JABOI  dto HASBALLAH

Ket: Peraturan ini disusun berdasarkan Hasil Penelitian dalam Buku Hukum Adat Laut Sabang Kearifan-Kearifan Yang Terlupakan karya: D.Y. Witanto, SH