Mengenai Saya

Foto saya
Way Kanan, Lampung, Indonesia
Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu

Kamis, 28 Maret 2013

KONFLIK PENALARAN MENYANGKUT UNSUR "KEKUATAN GAIB" DALAM PASAL 293 RUU KUHP

Oleh: D.Y. Witanto


Ketika RUU KUHP akan dilakukan pembahasan oleh DPR muncul polemik terhadap substansi beberapa pasal yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam Hukum Pidana, salah satu ketentuan pasal yang sering menjadi perdebatan tersebut adalah Pasal 293 yang oleh beberapa kalangan disebut dengan "delik santet" penulis sendiri sebenarnya tidak sependapat jika Pasal 293 RUU KUHP tersebut disebut dengan delik santet karena dalam rumusan unsur Pasal 293 sama sekali kita tidak temukan kata/istilah santet, yang ada hanyalah frasa "kekuatan gaib" sedangkan kekuatan gaib tidak selalu dalam bentuk santet dan selain itu unsur kekuatan gaib dalam pasal 293 bukanlah unsur pokok yang menjadi identitas.

Pasal 293 ayat (1) RUU KUHP selengkapnya berbunyi "setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak katagori IV" jika kita telaah secara cermat rumusan pasal diatas, maka sesungguhnya unsur kekuatan gaib itu tidak dirumuskan dalam bentuk perbuatan (kata kerja) karena unsur yang menunjukan bentuk perbuatan dalam pasal tersebut adalah "menyatakan dirinya", "memberitahukan" "menimbulkan harapan" "menawarkan" dan "memberikan bantuan jasa" sedangkan kekuatan gaib itu hanyalah sebatas isi (konten) dari perbuatan si pelaku dalam bentuk pernyataan diri.

Tindak pidana (strafbaarfeit) oleh beberapa sarjana sering juga diistilahkan sebagai perbuatan pidana atau peristiwa pidana. menurut Simon perbuatan pidana/peristiwa pidana adalah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. (CST. Cansil, 2007: 38), sehingga jika kita uraikan, maka pengertian tindak pidana tersebut terdiri dari beberapa komponen antara lain:
1. Komponen perbuatan
2. Komponen kesalahan dan sifat melawan hukum
3. Komponen ancaman pidana 
4. Komponen subjek hukum
5. Komponen pertanggungjawaban pidana

Unsur perbuatan dalam suatu rumusan delik merupakan unsur pokok yang menjadi identitas dan ciri khas dari delik tersebut, misalnya unsur "mengambil" pada Pasal 362 tentang Pencurian, atau unsur "menghilangkan nyawa" pada Pasal 338 tentang Pembununan. Unsur perbuatan pada umumnya dinyatakan dalam bentuk kata kerja baik yang bersifat aktif (en doen) maupun pasif (een nalaten). (Lamintang, 1997: 93) 

Kembali pada rumusan Pasal 293 RUU KUHP, bahwa pembentuk undang-undang telah merumuskannya dalam bentuk delik formil (formeel delict) yaitu suatu delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. (Lamintang, 1997: 213, ibid), sehingga Pasal 293 tidak memandang bahwa akibat dari perbuatan itu harus telah timbul, karena essensi dari suatu delict dalam katagori formil ada pada perbuatannya sendiri yang telah bertentangan dengan ketentuan yang diatur oleh undang-undang hukum pidana dan telah diancam pidana bagi siapa saja yang melanggarnya, sedangkan unsur "kekuatan gaib" dalam rumusan Pasal 293 bukanlan sebagai perbuatan melainkan isi dari sebuah pernyataan.

Memang harus kita akui bahwa unsur "kekuatan gaib" dalam Pasal 293 adalah unsur yang paling seksi, bahkan saking seksinya telah membuat para pakar dan ahli-ahli hukum terbuai oleh keberadaan unsur tersebut, sehingga orang yang membaca rumusan Pasal 293 langsung berkesimpulan bahwa kekuatan gaib telah ditarik oleh pembentuk undang-undang kedalam ranah hukum yang sebenarnya syarat dengan logika pembuktian secara rasional, maka tidak heran jika kebanyakan orang mempertanyakan tentang bagaimana cara membuktikan kekuatan gaib dengan metoda pembuktian secara hukum? Inilah barangkali yang sering kita dengar dalam diskusi-diskusi di berbagai media menyangkut eksistensi Pasal 293 RUU KUHP, padalah jika kita cermat dalam membaca rumusan Pasal tersebut, maka sebenarnya kekuatan gaib itu bukanlah unsur pokok dari tindak pidananya melainkan hanya isi dari pernyataan diri si pelaku, contoh perbuatan materiil yang dapat dipidana dengan Pasal 293 tersebut antara lain misalnya: "A berkata kepada B dan C bahwa ia memiliki kekuatan gaib dan bisa membuat orang lain mati dengan kekuatan itu" yang harus dibuktikan bukanlan bagaimana bentuk kekuatan gaib itu melainkan apakah benar A telah berkata kepada B dan C seperti itu? jadi sama sekali tidaklah sulit untuk bisa membuktikannya karena cukup B dan C bersaksi di pengadilan bahwa benar A telah berkata ia memiliki kekuatan gaib dan dapat membuat orang lain mati dengan kekuatan itu kepada B dan C, maka tindak pidana dalam Pasal 293 telah dianggap terbukti,hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh H. Sarifuddin Sudding bahwa fokus kriminalisasi dalam Pasal 293 ditekankan pada perbuatan menawarkan/memberikan jasa dengan ilmu santet untuk membunuh atau mencelakakan orang lain bukan pada substansi santetnya. (Sarifuddin Sudding, dikutip dari http://hanura.com/web/article)

Berbeda halnya jika Pasal 293 itu dirumuskan sebagai berikut:
"Setiap orang yang menyantet atau melakukan santet terhadap orang lain dipidana penjara paling lama 5 tahun" maka materi santet itu harus dibuktikan karena ia dirumuskan dalam bentuk perbuatan. Tidak mungkin undang-undang dirumuskan dalam bentuk seperti itu karena rumusan seperti itu akan memaksa hukum untuk menjangkau wilayah-wilayah yang non ilmiah.

Pasal 293 dalam RUU KUHP sebenarnya mirip dengan Pasal 546 ayat (1) KUHP yang berbunyi "barangsiapa menjual, menawarkan menyerahkan membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat penangkal atau benda lain yang dikatakan olehnya mempunyai kesaktian" coba perhatikan kata "yang dikatakan olehnya mempunyai kesaktian" jika kita tidak cermat memaknai kalimat tersebut, maka kita akan tersesat seakan-akan yang harus dibuktikan adalah "kesaktiannya" padahal kesaktian itu hanya merupakan isi dari perkataan si pelaku. Jadi sebenarnya Pasal 293 RUU KUHP itu merupakan tindak pidana tentang informasi yang menyesatkan meskipun tidak pula bisa kita katakan sama persis dengan tindak pidana penipuan sebagaimana dalam Pasal 378 KUHP.

Jika kita lihat penjelasan dari Pasal 293 maka sesungguhnya maksud pembentuk undang-undang merumuskan pasal tersebut untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet) sehingga misi pembentuk undang-undang mencantumkan ketentuan Pasal 293 dalam RUU KUHP adalah untuk meminimalisasi praktik-praktik perdukunan.

Suatu perbuatan dirumuskan sebagai tindak pidana karena perbuatan itu telah nyata-nyata meresahkan masyarakat dan menimbulkan terganggunya rasa aman dan tentram dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Yang menjadi persoalan dalam ketentuan Pasal 293 RUU KUHP adalah menyangkut apakah pernyataan seseorang tentang kepemilikan kekuatan gaib telah menimbulkan rasa nyaman dan tentram dalam masyarakat menjadi terganggu? Memang keberadaan santet di Indonesia telah menjadi fenomena sosial di masyarakat, sehingga menimbulkan miss persepsi dan miss interaksi diantara komponen masyarakat, sebagai contoh terjadinya tindakan main hakim sendiri terhadap orang yang diduga sebagai dukun santet padahal hal itu baru sebatas dugaan dan prasangka masyarakat, atau maraknya iklan-iklan di majalah klenik yang menawarkan jasa kepada masyarakat untuk melakukan santet. Konflik persepsi di masyarakat tidak berada dalam dimensi supranatural karena yang dijangkau oleh hukum bukan materi santet atau ilmu gaibnya, namun semata hanya ditujukan pada hubungan-hubungan sosial yang terganggu oleh adanya pernyataan atau informasi menyesatkan yang menimbulkan keresahan di masyarakat.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka tidak pada tempatnya jika kita mempersoalkan tentang bagaimana membuktikan ilmu santet dengan media pembuktian secara hukum, karena meskipun Pasal 293 RUU KUHP mengandung unsur ilmu gaib, namun pokok perbuatan materiilnya bukan pada substansi santet dan ilmu gaibnya akan tetapi pada proses perbuatan dalam bentuk pernyataan diri atau penawaran jasa. Masyarakat seharusnya bisa mendapatkan informasi yang lebih proporsional menyangkut essensi Pasal 293 ini agar tidak salah mengartikan substansi Pasal 293 RUU KUHP tersebut, walaupun kita cukup prihatin karena konflik penalaran itu justru timbul dari statement para pakar-pakar hukum yang telah tidak cermat dalam memahami substansi Pasal 293 RUU KUHP tersebut. Wallohualam...