PROBLEMATIKA SEPUTAR "KANIBALISME" PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
(Suatu Kajian
Normatif dan Empirik)
A. PENDAHULUAN.
Istilah
"kanibalisme[2]"
memang tidak lazim digunakan dalam sebuah tulisan hukum terlebih menyangkut persoalan
penerapan undang-undang, namun penulis sengaja memilih menggunakan istilah
tersebut agar bisa memberikan kesan yang ekstrim
bagi fenomena hukum yang terjadi selama ini dalam proses penerapan UU Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, karena ternyata undang-undang tersebut
bukan hanya bisa melindungi hak dan kepentingan anak, namun juga bisa memangsa
dan membinasakan anak, hal ini bisa kita lihat dari fakta yang terjadi
dilapangan, dimana sejak lahirnya UU Perlindungan Anak sampai dengan saat ini,
puluhan bahkan ratusan anak telah dipidana oleh undang-undang tersebut. Suatu kenyataan
yang sangat ironis mengingat judul undang-undang tersebut berbunyi "Perlindungan Anak" tapi
kenyataannya malah menjadi media untuk memenjarakan anak. Berpijak dari realita
tersebut, maka tidak ada istilah lain yang lebih pantas untuk menggambarkan
keadaan itu selain dengan kata "kanibalisme".
Semangat
tulisan ini dilatarbelakangi oleh buah pikiran Bapak Gatot Supramono (Hakim Tinggi PT Banjarmasin) dalam artikel Varia
Peradilan edisi Nomor 313 Bulan Desember 2011 yang berjudul "Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam
Hubungannya Dengan UU Perlindungan Anak"[3]
menurut penulis ide-ide progresif dalam tulisan tersebut perlu terus dikaji
secara lebih mendalam menyangkut beberapa hal yang sering menjadi pertentangan
batin dalam proses penegakan hukum yang melibatkan pelaku dan korban dari
kalangan anak-anak, atau setidaknya tulisan ini dapat menyajikan gambaran yang
lebih jelas menyangkut problematika seputar penerapan UU Perlindungan Anak yang
dalam beberapa hal sering tidak sejalan dengan tujuan lahirnya
undang-undang tersebut.
Penulis
sependapat dengan intisari tulisan Bapak Gatot
Supramono bahwa UU Perlindungan Anak tidak mungkin diterapkan terhadap pelaku
tindak pidana yang berasal dari kalangan anak-anak, karena kewajiban perlindungan
yang dibebankan oleh undang-undang tentunya hanya tertuju kepada mereka (subjek
hukum) yang telah dewasa, sehingga tidak mungkin seorang anak dibebankan
kewajiban oleh undang-undang untuk melindungi sesama anak yang lain, sedangkan
ia sendiri adalah orang yang masih dipandang belum cakap untuk melindungi
kepentingannya sendiri, oleh karena itu tidak mungkin seorang anak harus dipidana
karena telah melanggar kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan
perlindungan.
Idealnya
tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak cukup hanya diterapkan KUHP,
walaupun melibatkan korban dari kalangan anak-anak, karena KUHP mengadung
ancaman pidana yang lebih ringan dibandingkan UU Perlindungan Anak. Namun
demikian kerumitan yang ada saat ini tidak sebatas sampai disitu, karena banyak
perkara anak yang sudah terlanjur di ajukan ke pengadilan dengan dakwaan UU
Perlindungan Anak, sedangkan menurut Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, pengadilan dilarang menolak perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan tidak ada atau kurang jelas hukumnya. Berkaitan dengan hal
itu, maka muncul beberapa pertanyaan antara lain: Apa yang dapat dilakukan oleh
pengadilan terhadap anak yang didakwa melakukan tindak pidana perlindungan anak
dan bagaimana seorang hakim dapat menggunakan diskresinya bagi persoalan tersebut jika unsur-unsur perbuatannya
memang terbukti dan apakah mungkin penerapan UU Perlindungan Anak dapat di kesampingkan
meskipun perbuatan materiilnya nyata-nyata terpenuhi?
Memang
persoalannya cukup pelik, namun jika hakim berpijak pada bunyi irah-irah
"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" pada setiap
kepala putusan, maka sesungguhnya seorang hakim masih memiliki alasan untuk
menentukan setiap perkara dengan pendekatan yang lebih progresif, asalkan tetap memiliki landasan keadilan yang dapat
dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan YME dan hukum itu sendiri.[4]
Melakukan terobosan hukum terhadap ketentuan yang telah baku bagi sebagian
kalangan memang akan dianggap sebagai anomali
penegakan hukum, karena menurut faham kaum legisme substansi penegakan hukum itu tidak lain hanya sebagai
simbol dari kepastian hukum semata (rechtzekerheid).
Namun tidak begitu bagi aliran faham hukum progresif
dimana penerobosan hukum bukanlah suatu hal yang tabu, karena jiwa penegakan
hukum bukanlah yang bersifat tekstual,
namun terkandung pada nilai keadilan yang dapat dirasakan oleh para justitiabel dan masyarakat.
B.
BEBERAPA ALASAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK TIDAK DAPAT DITERAPKAN TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA DARI KALANGAN ANAK-ANAK.
1.
Anak adalah pribadi yang belum mampu dibebani kewajiban untuk melakukan
perlindungan.
Anak
merupakan insan pribadi yang memiliki dimensi khusus dalam kehidupannya, dimana
selain tumbuh kembangnya memerlukan bantuan orang tua, faktor lingkungan juga
memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi kepribadian si anak
ketika menyongsong pase kedewasaannya kelak. Anak adalah sosok yang akan
memikul tanggung jawab di masa yang akan datang, sehingga atas kesadaran itu
negara merasa perlu untuk campur tangan dalam melakukan perlindungan terhadap
hak dan kepentingan anak demi kelangsungan masa depan bangsa yang lebih baik.
Pase
usia yang dikatagorikan sebagai anak menurut pandangan Pasal 1 angka 1 UU
Perlindungan Anak adalah sejak manusia itu masih dalam kandungan, usia balita,
sampai ia menginjak remaja dengan batas usia 18 (delapan belas) tahun. Para
pembentuk undang-undang mungkin memandang bahwa pada usia 18 tahun terjadi pase
peralihan dalam pribadi manusia dari anak-anak menuju dewasa, walaupun secara
sosiologis dan psikologis hal itu tidak selalu menjadi ukuran yang tepat karena
banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat kedewasaan manusia, seperti
kematangan intelektual dan sosial.
Menurut
John Locke anak adalah pribadi yang
masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari
lingkungan. Augustinus menyebutkan
bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan
untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah
belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat
memaksa, Sobur mengartikan anak
sebagai orang yang mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan
orang dewasa dengan segala keterbatasan. Sedangkan Haditono berpendapat bahwa anak merupakan mahluk yang membutuhkan
pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak
merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk
belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam
kehidupan bersama.[5]
Anak
merupakan analogi dari sosok manusia yang
belum dewasa, karena ukuran kedewasaan salah satunya ditentukan oleh usia,
selain oleh tindakan perkawinan dan kemadirian sosial. Memang pengertian pasal
1 angka 1 dalam UU Perlindungan Anak mengandung keganjilan karena hanya usia
saja yang menjadi ukuran, sedangkan perkawinan tidak turut menjadi penentu,
padahal Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak definisi
anak ditentukan oleh usia dan tindakan perkawinan, sehingga timbul pertanyaan
apakah pelanggaran terhadap seseorang yang usianya dibawah 18 tahun, namun
telah atau pernah melakukan perkawinan tetap harus dinyatakan melanggar
ketentuan perlindungan anak?
Kedewasaan
menunjuk pada suatu pase dalam diri manusia, dimana kepribadian seseorang telah
mencapai suatu tingkat kematangan. berdasarkan pada pengertian tersebut, maka
secara a contratio anak dapat
diartikan sebagai sebuah pase pada pertumbuhan manusia yang belum sampai pada
tingkat kematangan secara emosional dan sosial, sehingga mustahil jika orang
yang belum matang pribadinya harus dibebankan kewajiban-kewajiban yang tidak
mungkin mampu untuk dipikulnya. Menurut pasal 19 UU Perlindungan Anak, seorang anak
memiliki beberapa kewajiban antara lain:
a) Menghormati
orang tua, wali dan guru.
b) Mencintai
keluarga, masyarakat dan menyayangi teman.
c) Mencintai
tanah air, bangsa dan negara.
d) Menunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
e) Melaksanakan
etika dan akhlak mulia (ditambah dengan kewajiban-kewajiban lain yang layak
dibebankan kepada anak seperti belajar dan menuntut ilmu; red).
2.
Penerapan UU Perlindungan Anak Terhadap Seorang
Anak Bertentangan dengan Tujuan Lahirnya Undang-Undang.
Sebagaimana
disebutkan dalam konsideran UU Perlindungan Anak huruf d yang berbunyi: "bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul
tanggung jawab tersebut maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial dan
berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan
kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya
serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi", maka jelas bahwa anak
adalah pihak yang berhak mendapatkan perlindungan, sedangkan kewajiban
perlindungan itu hanya ditujukan kepada mereka yang dipandang cakap oleh hukum
untuk bertindak dengan penuh tanggung. Hal itu bisa kita lihat juga dalam
pasal 20 yang menyebutkan bahwa "Negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak" rumusan pasal tersebut sesungguhnya
telah menutup kemungkinan bahwa anak juga menjadi bagian yang ditunjuk sebagai
pihak yang harus bertanggung jawab dalam tugas penyelenggaraan perlindungan.
Untuk
menerjemahkan suatu aturan perundang-undangan tidak cukup hanya dengan memaknai
rumusan dalam teks pasal demi pasal, namun perlu adanya pemahaman yang mendalam
melalui pendekatan sosiologis, filosofis dan historis terhadap lahirnya
undang-undang tersebut. Memang harus diakui bahwa pembentuk undang-undang telah
lalai dalam mencantumkan klausul pembatas yang memberikan limitasi terhadap berlakunya aturan pidana dalam undang-undang
tersebut, sehingga frase "setiap
orang" dalam pasal-pasal ketentuan pidana dapat dikecualikan bagi
subjek hukum yang berusia dibawah 18 tahun atau setidaknya bisa menambahkan
kalimat dibelakang rumusan pasal 1 angka 16 UU Perlindungan Anak menjadi "setiap orang adalah orang perseorangan atau
korporasi yang tidak termasuk dalam
katagori sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 1 undang-undang ini"
agar tidak menimbulkan multi tafsir dalam proses penegakan hukum dilapangan.
Sudah
hampir sepuluh tahun sejak UU Perlindungan Anak diundangkan tidak pernah ada
inisiatif dari pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan terhadap sesuatu
yang krusial dalam ketentuan UU
Perlindungan Anak, hal tersebut sangat berbeda dengan undang-undang yang lain,
dimana dalam kurun waktu lima tahun saja bisa beberapa kali mengalami
perubahan, padahal jika kita simak latar belakang lahirnya UU Perlindungan Anak
tersebut, maka terlihat begitu sangat urgen
dan penting atas keberadaannya bagi kelangsungan masa depan bangsa.
Setiap
ketentuan perundang-undangan harus memiliki relevansi
antara pasal yang satu dengan pasal yang lain, sehingga tidak boleh mengartikan
suatu pasal hanya dengan membaca pasal itu secara parsial tanpa mengaitkan dengan pasal-pasal yang lain. Ketentuan
pidana sebagaimana tercantum dalam Bab XII juga tidak bisa terlepas kaitannya
dengan ketentuan pasal 20 yang mengatur tentang siapa saja yang mengemban
tanggung jawab untuk menyelenggarakan perlindungan, sehingga akan terbentuk
suatu pemahaman bahwa ketentuan pidana dalam pasal 77 sampai dengan pasal 90
itu hanya berlaku bagi mereka yang memikul tanggung jawab untuk melakukan
perlindungan.
Jika
UU Perlindungan Anak diterapkan juga terhadap anak yang melakukan tindak
pidana, maka hal itu sesungguhnya akan menciderai makna dan cita-cita lahirnya
undang-undang tersebut, karena tujuan dibentuknya UU Perlindungan Anak adalah
untuk melindungi hak dan kepentingan anak, bukan menjadi media untuk memenjarakan
anak seperti realita yang banyak terjadi saat ini. Karena berdasarkan pasal 59
jo pasal 64, anak yang sedang berhadapan dengan hukum justru berhak mendapatkan
perlindungsn secara khusus.
Pembentuk
undang-undang seharusnya mencantumkan secara jelas tentang siapa sebenarnya subjek
hukum yang dapat dikenakan pelanggaran terhadap ketentuan pidana dalam UU
Perlindungan Anak, sehingga tidak menimbulkan multi tafsir, yang pada akhirnya
justru akan merugikan kepentingan anak. Para penegak hukum, baik polisi, jaksa
dan hakim pada umumnya hanya melihat rumusan undang-undang secara tekstual, dimana ketika tidak ada
pembatasan yang tegas menyangkut unsur "setiap orang" dalam rumusan delict selalu diasumsikan bahwa semua orang dapat dikenakan oleh
undang-undang tersebut tidak terkecuali juga seorang anak, padahal hal tersebut
tidak sesuai dengan jiwa dan kehendak yang terkandung dalam undang-undang itu
sendiri.
3.
Ancaman Pidana Dalam UU Perlindungan
Anak Tidak Sesuai untuk Diterapkan Terhadap Anak.
UU
Perlindungan Anak mengandung ancaman pidana yang cukup berat, dari beberapa
pasal yang ada, penulis akan mengambil contoh dua pasal yang menyangkut pelanggaran
susila terhadap anak antara lain:
Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
(2)
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Kedua
pasal tersebut mengandung ancaman pidana maksimum masing-masing selama 15 (lima
belas) tahun dengan batas minimal pidana masing-masing selama 3 (tiga) tahun. Seperti
halnya pidana penjara, pidana denda juga mengandung batas nilai minimum yaitu masing-masing
sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). Disamping itu UU Perlindungan
Anak juga mengandung sistem penjatuhan pidana pokok secara kumulatif, dimana antara
penjara dan denda harus diterapkan secara bersamaan, karena kata yang digunakan
untuk menghubungkan dua pidana pokok tersebut adalah kata “dan” sehingga hakim terikat untuk menerapkan kedua jenis pidana
tersebut.
Berdasarkan
bentuk dan jenis pidana yang terkandung dalam Pasal 81 dan 82 diatas, maka
sesungguhnya tidak mungkin ancaman pidana tersebut dapat diterapkan bagi pelaku
kejahatan dari kalangan anak-anak. Hal ini didasarkan pada dua alasan antara
lain:
- Ancaman
pidana tersebut mengandung batas minimal, baik pidana penjara maupun
denda, sehingga hal itu akan bersinggungan dengan ketentuan Pasal 26 ayat
(1) UU Pengadilan Anak yang mengatur bahwa pidana penjara bagi anak paling
lama setengah dari maksimum ancaman pidana umtuk orang dewasa. Persoalannya
adalah apakah Pasal 26 ayat (1) tersebut dapat mereduksi batas minimal pidana dalam UU Perlindungan anak,
meskipun UU Pengadilan anak menentukan jenis “tindakan” yang dapat diterapkan terhadap anak?
- Ancaman
pidana denda dalam UU Perlindungan anak memiliki batas minimum yang cukup
besar seperti dalam Pasal 81 dan 82 sebesar 60.000.000 (enam puluh juta
rupiah), sehingga persoalannya adalah apakah ketentuan Pasal 26 ayat (1)
UU Pengadilan Anak juga dapat mereduksi batas minimum pidana denda? Karena
sangat tidak rasional jika nilai denda sebesar itu diterapkan terhadap seorang
anak.
Berdasarkan
dua alasan diatas, maka sepatutnya kita menyimpulkan bahwa para pembentuk
undang-undang tidak menghendaki ketentuan pidana tersebut diterapkan bagi seorang
anak, karena bagaimana mungkin seorang anak harus dibebankan pidana denda sebesar
itu, sedangkan ia sendiri belum memiliki penghasilan, sehingga penjatuhan
pidana denda tersebut pada akhirnya akan menjadi hukuman bagi orang tuanya dan
jika denda itu tidak mampu dibayar, maka akan menjadi tambahan penderitaan
secara fisik bagi si anak karena pidana denda akan selalu disubstitusikan
dengan pidana kurungan.
4. Penerapan UU Perlindungan Anak
Terhadap Beberapa Tindak Pidana Anak Akan Meniadakan Makna Perlindungan.
Terdapat
suatu kecenderungan, bahwa jika UU Perlindungan Anak juga diterapkan terhadap
pelaku kejahatan dari kalangan anak-anak, maka pada akhirnya akan meniadakan
makna perlindungan itu sendiri, kenapa demikian? Karena dalam beberapa tindak
pidana seperti pada perkelahian antar anak-anak yang mengakibatkan luka pada
kedua belah pihak atau perbuatan cabul/persetubuhan yang dilakukan secara suka
sama suka oleh sesama anak, dimana antara pelaku dan korban keduanya memiliki
peran yang seimbang, sehingga keduanya bisa dipandang sebagai pelaku. Lalu jika
keduanya menjadi pelaku dan kemudian sama-sama dipidana. Lalu undang-undang
tersebut sesungguhnya melindungi siapa? Dalam kasus persetubuhan antara sesama
anak, dimana kedua belah pihak saling melaporkan satu dengan yang lain, maka meskipun
pihak perempuan akan menjadi pihak yang lebih dirugikan, namun bukan berarti
bahwa pihak laki-laki tidak berhak melaporkan perbuatan tersebut, karena UU
Perlindungan Anak tidak membatasi korbannya harus berjenis kelamin perempuan.
Inilah
sebenarnya problematika terbesar dalam proses impelentasi UU Perlindungan Anak,
dimana makna perlindungan itu menjadi hilang karena telah salah kaprah dalam menerapkannya
dan yang ada hanyalah proses “kanibalisme”
dimana UU Perlindungan Anak digunakan untuk memangsa dan membinasakan anak yang
seharusnya dilindungi oleh undang-undang tersebut.
Belum
lagi tuntas dengan persoalan diatas, dalam praktik sering terjadi antara pelaku
dan korban pelanggaran susila kemudian menikah. Dalam kondisi demikian, apakah
si pelaku masih tetap layak untuk dipidana? Sedangkan ketentuan pidana dalam UU
Perlindungan Anak tidak dirumuskan dalam bentuk delik aduan (klacht delict) sehingga tidak ada celah
untuk menghentikan perkara yang telah mulai diproses dan apakah mungkin
tindakan pernikahan itu bisa menjadi alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) yang dapat menghapuskan sifat melawan
hukum (wederrechtelijk) pada
perbuatan si pelaku.[6]
Rasanya itu juga sulit untuk diterapkan karena tidak ada instrument dalam
ketentuan hukum pidana yang bisa menjadikan tindakan perkawinan itu sebagai
alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden)
yang dapat meniadakan pertanggungjawaban pidana (strafuitsluitingsgronden),[7]
karena selain itu akan menimbulkan dampak negatif bagi nilai kesakralan sebuah
perkawinan, disaat persetubuhan diluar nikah harus dilegitimasi menjadi suatu perbuatan yang tidak melanggar hukum oleh
tindakan pernikahan dikemudian hari, selain itu akan memicu orang untuk dengan
mudah melakukan persetubuhan diluar nikah dengan satu pertimbangan jika kemudian
diproses secara hukum mereka lalu melakukan pernikahan untuk bisa menghindari
sanksi pidana, padahal sesungguhnya dalam keadaan apapun persetubuhan diluar
nikah tetap harus dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan
norma-norma agama dan norma kemasyarakan lainnya.
C.
DISKRESI HAKIM DALAM UPAYA MEMECAHKAN PROBLEMATIKA PENERAPAN UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ANAK.
Ada
beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan oleh hakim jika menghadapi persoalan sebagaimana
diuraikan diatas, namun dari sekian kemungkinan itu masing-masing memiliki
konsekuensi hukum. Beberapa kemungkinan tersebut antara lain:
1.
Metode
pemecahan masalah melalui pendekatan unsur "setiap orang"
Seorang
anak yang didakwa dengan UU Perlindungan Anak sesungguhnya mengandung persoalan
pada essensi subjek hukumnya, walaupun bukan berarti bahwa subjek hukum yang
diajukan itu keliru menyangkut orangnya (error
in persona), karena rumusan tindak pidana dalam UU Perlindungan Anak
termasuk dalam katagori delicta proria.[8]
Yang menjadi persoalan disini adalah karena subjek hukum tersebut bukanlah kualitas
yang dihehendaki oleh undang-undang seperti halnya beberapa delict dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang
mensyaratkan subjek hukumnya harus seorang pegawai negeri. Sedangkan persoalan
dalam penerapan UU Perlindungan Anak subjek hukum yang dihendaki adalah orang
dewasa dan anak bukanlah orang yang dimaksud oleh unsur “setiap orang” dalam rumusan pasal UU Perlindungan Anak.
Ada
dua kemungkinan jika kualitas subjek hukum yang diajukan mengandung kekeliruan
antara lain dengan cara menyatakan unsur “setiap
orang” tidak terpenuhi, sehingga terdakwa dinyatakan bebas dari dakwaan
Penuntut Umum, namun hal itu mengandung sedikit pergesekan dengan pengertian
putusan bebas menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa putusan
bebas itu dijatuhkan jika kesalahan terdakwa atas “perbuatan” yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, sedangkan unsur “setiap orang”
dalam rumusan pasal bukanlah bagian dari unsur perbuatan, sehingga tidak
terbuktinya unsur “setiap orang” sulit
untuk disimpulkan sebagai alasan yang bisa membebaskan terdakwa, hal ini pernah
terjadi pada perkara pembunuhan Udin
wartawan bernas, dimana terdakwa Iwik
diputus bebas dengan alasan tidak terbukti unsur “barangsiapa” yang sempat menjadi kontroversi.
Kemungkinan
lain bahwa kekeliruan dalam unsur “setiap
orang” itu bisa diakomodir melalui ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP,
diamana hakim dapat menyatakan bahwa dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima.
Menurut M. Yahya Harahap ada
beberapa keadaan yang dapat dipandang bahwa dakwaan penuntut umum tidak dapat
diterima antara lain karena:
a. Tindak
pidana yang didakwakan sedang bergantung pemeriksaannya
b.
Orang
yang diajukan sebagai terdakwa keliru
c. Sistematika
dakwaan keliru
d. Bentuk
dakwaan yang diajukan keliru[9]
Namun
yang menjadi persoalan adalah, apakah hakim tetap berwenang untuk menentukan
dakwaan tidak dapat diterima dengan alasan adanya kekeliruan dalam unsur “setiap orang”, meskipun tanpa adanya
eksepsi dari terdakwa atau penasehat hukum terdakwa? dengan berpegang teguh
pada prinsip bahwa prosedur penyelesaian perkara pidana harus dilakukan secara tepat
dan sempurna, maka meskipun tidak ada eksepsi dari terdakwa/penasehat hukum seyogyanya
hakim tetap berwenang untuk menyatakan suatu dakwaan tidak dapat diterima untuk
menghindari pelanggaran HAM bagi orang yang diajukan kepersidangan dengan
dakwaan yang tidak cermat.
Menyangkut
amar putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima bisa kita temukan
dalam Putusan Peninjauan Kembali MA-RI Nomor: 13 PK/Pid/2011. Majelis Hakim PK
menyatakan bahwa dakwaan Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat diterima, dengan
alasan Penuntut Umum tidak cermat dalam membuat surat dakwaan yang tidak
mempergunakan Undang-Undang Pers yang sifatnya khusus.[10]
Putusan PK tersebut bisa menjadi dasar bahwa kekeliruan dalam menerapkan
undang-undang dapat menjadi alasan suatu dakwaan tidak dapat diterima. Kekeliruan
dalam menerapkan UU Perlindungan Anak terhadap seorang anak sesungguhnya
mengandung persoalan yang hampir mirip, hanya perbedaannya bahwa disini
Penuntut Umum telah tidak cermat dalam menggunakan undang-undang yang
seharusnya hanya diberlakukan terhadap orang dewasa.
2.
Metode
pemecahan masalah dengan tetap memberlakukan KUHP.
Opsi
pemecahan kedua adalah dengan cara mengesampingkan UU Perlidungan Anak dan
tetap menerapkan KUHP meskipun KUHP tidak turut didakwakan, hal ini
dilatarbelakangi oleh alasan bahwa rumusan delict
dalam UU Perlindungan Anak mengandung kemiripan dengan delict-delict dalam KUHP atau setidaknya masih dalam rumpun yang
sama, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa KUHP tetap diterapkan meskipun
dakwaan penuntut umum tidak memuat ketentuan KUHP.
Metode
pemecahan ini tentunya akan mengandung resiko terhadap nilai kepastian hukum (rechtzekerheid), dimana hakim terkesan memutus
perkara secara semena-mena dengan menentukan kesalahan terdakwa oleh pasal yang
tidak didakwakan. Dasar logika yang dapat digunakan dalam menerapkan KUHP semata-mata
karena ancaman pidana dalam KUHP lebih ringan dibandingkan ancaman pidana dalam
UU Perlindungan Anak, sehingga hakim dapat menentukan ukuran pidana yang lebih adil
dan manusiawi bagi si anak, jika hakim tetap memilih penjatuhan pidana ketimbang
“tindakan” bagi si anak.
3.
Metode
pemecahan masalah dengan cara menerobos batas minimal ancaman.
Opsi
pemecahan lain adalah dengan cara menentukan ukuran pidana (strafmaat) tanpa memperhatikan batas
minimal pidana yang tercantum dalam UU Perlindungan Anak, artinya hakim
menerobos batas minimal tersebut seakan-akan tidak pernah ada pembatasan
minimal. Memang dalam metode penerobosan batas minimal ini hakim akan terlihat
lebih humanis, namun sesungguhnya
dengan tetap menerapkan UU Perlindungan Anak, hakim telah melakukan kanibalisme penegakan hukum, karena
undang-undang yang dibentuk untuk tujuan melindungi anak ternyata diterapkan
untuk menghukum si anak.
Tindakan
hakim dalam melakukan penerobosan batas minimal pidana dapat menjadi solusi
yang efektif bagi jenis pelanggaran kesusilaan yang antara korban dan pelaku kemudian
melakukan pernikahan secara sah, sehingga hukum tidak menjelma sebagai sarana
memuaskan hasrat untuk memenjarakan orang, namun dapat menjadi media untuk
mendorong para pihak (pelaku dan korban) untuk saling memafkan dan menyadari akan
kekeliruannya. Penanggulangan kejahatan melalui metode penal tidak selalu menjadi jalan yang terbaik bagi upaya pemulihan
prilaku yang menyimpang, karena sistem pembinaan di lembaga pemasyarakatan
sendiri sampai dengan saat ini belum terbukti memberikan hasil yang optimal
dalam membentuk para warga binaan menjadi pribadi yang lebih baik.
D. PENUTUP.
Berdasarkan
uraian-uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. UU
Perlindungan Anak merupakan suatu bentuk lex
spesialis dari KUHP yang seharusnya hanya diterapkan kepada pelaku
kejahatan dari kalangan orang dewasa (diatas usia 18 tahun)
2. Kewajiban
untuk menyenggarakan perlindungan bagi anak merupakan kewajiban yang dibebankan
oleh undang-undang kepada mereka yang telah dewasa dan tidak dapat dibebankan
kepada seorang anak. Berdasarkan hal tersebut mustahil seorang anak dapat
dinyatakan melanggar kewajiban perlindungan.
3. Penerapan
UU Perlindungan Anak terhadap pelaku kejahatan dari kalangan anak-anak
merupakan suatu tindakan “kanibalisme”
dalam penegakan hukum, karena undang-undang yang dibuat untuk tujuan melindungi
anak justru digunakan sebagai sarana untuk mempidana anak.
4. Dalam
hal seorang anak sudah terlanjur di hadapkan kepengadilan dengan dakwaan
pelanggaran UU Perlindungan Anak, maka pengadilan dapat mengambil beberapa opsi
sebagai terobosan hukum yang dipandang mampu melindungi kepentingan hukum bagi
si anak.
Segala
pemikiran dan hasil analisis dalam tulisan ini pada umumnya masih memerlukan
kajian akademik yang lebih mendalam, sehingga suatu saat para penegak hukum
dapat mengungkap maksud dan tujuan dibentuknya suatu aturan perundang-undangan
sehingga proses penegakan hukum tidak kehilangan jati diri yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, edisi revisi 2008 cetakan III, Rineka
Cipta, Jakarta, 2008
Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu
Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Prilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus
Hakim Bismar Siregar, Citra Aditya Bakti Bandung
Blog Dunia Psikologi
http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/19/pengertian-anak-tinjauan-secara-kronologis-dan-psikologis/
Gatot Supramono, Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam
Hubungannya Dengan UU Perlindungan Anak, Varia Peradilan, Majalah Hukum
tahun XXVII, Nomor 313 Desember 2011
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat
Departemen Pendidikan Nasional.
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Pmenerapan
KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali,
edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta cetakan kelima, 2003
PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bandung,
Varia Peradilan Majalah Hukum edisi
tahun XXVII Nomor 313 Desember 2011,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman
[1] Hakim
pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu
[2] Istilah
kanibalisme menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia Pusat Departemen Pendidikan Nasional, hlm: 632. Adalah manusia
yang memakan manusia atau bisa juga diartikan sebagai pembunuhan yang sangat
kejam. Penggunaan kata kanibalisme
dalam tulisan ini sekedar untuk menggambarkan suatu kekejaman dalam proses
penegakan hukum dimana seorang anak dipenjarakan oleh undang-undang yang
seharusnya melindunginya.
[3]
Gatot
Supramono, Anak Sebagai Pelaku Kejahatan
Dalam Hubungannya Dengan UU Perlindungan Anak, Varia Peradilan, Majalah
Hukum tahun XXVII, Nomor 313 Desember 2011, hlm: 31
[4] Antonius
Sudirman, Hati Nurani Hakim dan
Putusannya, Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Prilaku (Behavioral
Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, Citra Aditya Bakti Bandung, hlm:
51
[5]
Blog
Dunia Psikologi http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/19/pengertian-anak-tinjauan-secara-kronologis-dan-psikologis/
[6]
Andi
Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, edisi
revisi 2008 cetakan III, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm: 102
[8] Ibid,
hlm: 144
[9] M.
Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan
dan Pmenerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan
Peninjauan Kembali, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta cetakan kelima,
2003, hlm: 127
[10] Varia Peradilan Majalah Hukum edisi
tahun XXVII Nomor 313 Desember 2011, hlm: 131 dan 133.
Assalamuallaikum pak hakim yg baik karena sudah membuat tulisan ini.
BalasHapusSaya Ainal Arifin usia 38 tahun.
Memiliki kasus yg sangat mirip dng apa yg bapak tulis.dimana dalam kasus ini anak saya sebagai terdakwanya.usia anak saya 17 tahun 10 bulan dan korban tepat 17 tahun.dimana terjadinya persetubuhan itu sangat sangat alami sekali,tidak ada satupun pelanggaran yg disebutkan dalam pasal
76e dan 81 dan 82 uu perlindungan anak.dalam investigasi secara rahasia,saya menemui banyak kejanggalan dan ada unsur kesengajaan yg dilakukan oleh korban,dan ada sesuatu yg di tutupi oleh orang tua korban,berdasarkan hasil dari beberapa kali pertemuan dng pihak korban,maka saya merasa sangat yakin bahwa anak sikorban ini memang memiliki catatan kurang baik beberapa tahun sebelumnya,sehingga masalah itu yg menjadi penyebab sikorban putus sekolah smp.merujuk dari sikap dan keinginan orang tua korban serta keterangan alasan mengenai putusnya sekolah sikorban ini..? Sangat bertentangan sekali,dan sulit diterima oleh akal sehat kita.lalu pada pertemuan ketiga saya pun semakin terkejut lagi..? Dng apa yg mereka utarakan.korban tidak ingin dinikahi tapi mau melanjutkan sekolah yg sudah putus 1.5 tahun.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.net
arena-domino.org
100% Memuaskan ^-^