Mengenai Saya

Foto saya
Way Kanan, Lampung, Indonesia
Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu

Senin, 21 Mei 2012


PROBLEMATIKA PENANGANAN CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF ASAS TERITORIAL DI INDONESIA

D.Y. Witanto[1]



A.    PENDAHULUAN
Dinamika perubahan sosial (social changes) dalam masyarakat tidak dapat dibatasi seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang terus berkembang dengan sangat pesat, bahkan diluar kontrol dan kendali pranata hukum yang tersedia. Perkembangan itu telah mendesak pada perubahan kultur dan prilaku masyarakat kearah dekadensi psikososial. Perubahan prilaku pada sub sistem masyarakat juga berpengaruh pada prevalensi tingkat kejahatan dengan segmen-segmen tertentu yang tidak lagi dilakukan secara konvensional dan manual namun telah menggunakan perangkat-perangkat teknologi yang sulit untuk dilacak baik locus, tempus maupun aktor delictinya.
Berkembangnya kejahatan berbasis teknologi yang terjadi pada dimensi maya ternyata belum mampu ditanggulangi sepenuhnya melalui pendekatan hukum, khususnya hukum pidana (penal approach), maka untuk menyikapi kenyataan itu, negara-negara di dunia dan pakar-pakar teknologi mulai melakukan kajian untuk membentuk suatu kebijakan kriminal (criminal policy) dalam menanggulangi meluasnya kejahatan mayantara (cyber crime) yang tanpa disadari terus berkembang pesat, baik kualitas maupun kuantitasnya. Upaya pemberantasan kejahatan dunia maya tidak cukup hanya dengan melakukan reformasi system hukum, namun juga harus dibarengi dengan upaya membangun kerjasama antar negara dalam penanganan kejahatan yang berskala internasional.
Lembaga-lembaga profit maupun non profit yang menggunakan sistem teknologi informatika sebagai basis penyimpan dan pengolah data mulai merasa resah dengan merajalelanya tindakan-tindakan usil para hacker dan cracker, karena hampir pada setiap ruang cyber yang menggunakan maximum security system ternyata masih sanggup di jebol oleh para hacker dan cracker. Disisi lain meluasnya pornografi dan pornoaksi dengan menggunakan cyber system juga menjadi problem yang belum terpecahkan melalui kebijakan hukum nasional saat ini, karena meningkatnya kebutuhan manusia terhadap system informasi global dalam setiap aspek kehidupan telah mendorong tingginya penggunaan fasilitas internet dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan upaya-upaya pembatasan yang saat ini terus dilakukan juga belum menunjukan hasil yang significan.
Kesulitan yang terjadi dalam melakukan penganggulangan dan pemberatantasan kejahatan mayantara lebih disebabkan karena antara pelaku dan korban pada umumnya tidak berada pada suatu tempat yang sama, atau bahkan sama sekali tidak pernah bertemu di dunia yang nyata. sehingga sangat sulit untuk menetukan locus dan tempus delictinya dengan metode atau teori hukum pidana pada umumnya, sedangkan berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement) terhadap kejahatan mayantara yang berdimensi trans nasional para penegak hukum selalu terkendala dengan batas yuridiksi suatu negara. Dalam ketentuan perundang-undangan hukum pidana kewenangan penegakan hukum selalu dibatasi oleh batas yuridiksi (teritorialitas) yang tidak mungkin di tembus tanpa adanya perjanjian ekstradisi atau perjanjian khusus antar negara.
Seiring dengan berkembangnya zaman yang terus bergerak menuju era serba teknologi yang berbasis informatika dan telematika, maka aktifitas komunikasi manusia di seluruh belahan dunia sudah tidak mungkin lagi dibatasi oleh batas kewenangan territorial suatu negara. Dunia komunikasi dan transaksi bisnis yang berskala internasional sudah menjadi bagian kehidupan manusia dan terus berkembang dengan sangat cepat sebagai suatu kebutuhan yang tidak terelakan pada saat ini. Mewabahnya kejahatan dunia maya (cyber crime) baik dalam bentuk kejahatan informasi (information crime) seperti pornografi dan pornoaksi maupun kejahatan lain yang menggunakan fasilitas teknologi informatika seperti pembobolan sistem perbankan yang dilakukan antar negara sudah menjadi persoalan seluruh negara di dunia, sehingga untuk menanggulanginya tidak mungkin dilakukan secara manual dan parsial, namun harus menggunakan sistem teknologi dan melibatkan seluruh negara-negara yang ada di dunia.

B.  CYBER CRIME MENURUT PANDANGAN HUKUM PIDANA
Menurut Marc Ansel bahwa Ilmu Hukum Pidana Modern (modern criminal science) mengandung tiga komponen yang antara lain ”criminology” ”criminal law” dan ”penal policy” dikemukakan juga olehnya bahwa ”penal policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan[2]
Kejahatan ekstra teritorial (trans nasional) atau biasa disebut Tindak Pidana Internasional adalah kejahatan yang melibatkan yuridiksi dari dua atau beberapa negara sekaligus. Pertautan antara dua atau beberapa negara yang sama-sama punya kewenangan untuk melakukan penegakan hukum dapat terjadi karena terdapat beberapa titik singgung antara lain:
1.      Memiliki dampak pada lebih dari satu negara;
2.      Menyangkut lebih dari satu kewarganegaraan;
3.      Menggunakan sarana/prasarana yang melampaui batas-batas suatu negara;
Dalam hal suatu kejahatan mengandung salah satu dari 3 (tiga) titik singgung diatas, maka sudah termasuk dalam dimensi Hukum Pidana Internasional yang penanganannya tidak bisa lagi hanya melibatkan kompetensi dari satu negara,[3] namun harus melibatkan dua atau beberapa negara yang sama-sama berwenang untuk melakukan proses penengakan hukum berdasarkan ketentuan hukum dinegaranya. Kewenangan suatu negara menurut prinsip hukum internasional dibatasi oleh dua hal:
1.      kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu; dan
2.      kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain dimulai.[4]
Era globalisasi telah membawa semua tatanan kehidupan serba teknologi dan internet, hampir semua sisi kehidupan manusia bisa berhubungan dengan internet, baik siang maupun malam baik dalam kehidupan bisnis, pendidikan maupun hiburan, dari fenomena itulah kemudian sisi negatif dari penggunaan internet tidak bisa dihindari, pelaku-pelaku yang memiliki kemampuan akses kedunia internet dapat menyalahgunakan pemanfaatannya untuk sebuah tindakan jahat.
Menurut kepolisian Inggris Cyber Crime adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan/atau  kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi digital[5]. Indra Safitri memberikan pembatasan mengenai kejahatan dunia maya sebagai jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan di akses oleh pelanggan internet.[6] Sedangkan PBB dalam kongres ke X tahun 2000 menyatakan bahwa cyber crime atau computer-related crime mencakup keseluruhan bentuk-bentuk baru dari kejahatan yang ditujukan pada komputer, jaringan komputer dan para penggunanya, dan bentuk kejahatan-kejahatan tradisional yang sekarang dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer[7]
Menurut ketentuan Pasal 2 KUHP bahwa: ”ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu delik di Indonesia” ketentuan tersebut merupakan landasan berlakunya asas teritorial terhadap penegakan hukum pidana yang terjadi dalam wilayah Negara Indonesia, namun demikian terhadap Pasal 2 diatas terdapat pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 3 yang menyebutkan ”Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan delict didalam perahu atau pesawat udara Indonesia”, dan Pasal 4 yang menyebutkan pengecualian berdasarka jenis-jenis kejahatan tertentu.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memberikan beberapa fasilitas menyangkut penanganan tindak pidana mayantara (cyber crime) yang dilakukan oleh orang yang berada di luar wilayah yuridiksi Negara Indonesia, yaitu dengan melakukan kerjasama pada saat penangkapan dan penyidikan kasus tersebut. Hampir pada setiap tindak pidana yang melibatkan beberapa yuridiksi suatu negara memerlukan penangangan secara ekstra ordinary karena kewenangan dalam melakukan tindakan-tindakan pro justicia akan terbentur dengan batas kewenangan berlakunya sistem hukum pidana dalam suatu negara.
Beberapa perjanjian kerjasama yang dapat menjadi contoh dalam penanganan kejahatan mayantara (cyber crime) dalam dimensi internasional antara lain seperti yang pernah dilakukan oleh negara-negara di Eropa dengan ”Draft Convention on Cyber Crime” disitu diatur mengenai tata cara penanganan kejahatan mayantara yang melibatkan negara-negara peserta kerjasama tersebut. Sedangkan PBB sendiri telah beberapa kali melakukan kongres dalam rangka membahas penanggulangan kejahatan ini, dengan dikeluarkanya beberapa kebijakan dalam menyangkut pencegahan dan penanganan kejahatan mayantara.

C.  CYBER CRIME DALAM DIMENSI KEJAHATAN INTERNASIONAL
Dalam sistem penanggulangan kejahatan, setiap kejahatan harus di bedakan antara kejahatan biasa (ordinary crime) dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Metoda penanggulangan kejahatannya tidak bisa disamakan antara satu kejahatan dengan kejahatan yang lain tergantung dari jenis dan karakteristik kejahannya. Kejahatan yang bersifat ekstra ordinary tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan law inforcement pada umumnya, namun harus menggunakan sistem-sistem dan pranata yang khusus karena akan berhadapan dengan beberapa persoalan dalam upaya penanggulangannya  antara lain:
1.      persoalan teritorial
2.      persoalan pembuktian
3.      persoalan locus dan tempus delicti; dan
4.      persoalan dampak/akibat yang ditimbulkannya
Cyber Crime merupakan salah satu genus dari kelompok kejahatan ekstra ordinary karena mengandung beberapa variable seperti yang disebutkan diatas, sehingga metode penanggulangannya harus dilakukan secara khusus melibatkan para pemangku kepentingan (stake holder) dan ahli-ahli dibidang cyber, bahkan dalam kasus-kasus tertentu cyber crime harus melibatkan kebijakan politik antar bangsa untuk bisa menaggulanginya, baik dengan perjanjian ekstradisi maupun dengan perjanjian-perjanjian internasional lainnya dalam bentuk konvensi intenasional.
Nazura Abdul Manap membedakan tipe-tipe dari cyber crime menjadi 3 (tiga) yaitu:
·         Cyber crimes againts property, meliputi Theft (berupa theft of information, theft of propoery dan theft of services), Fraud/Cheating, Forgery, dan Mischeif.
·         Cyber crimes againts persons, meliputi pornography, cyberharassment, cyber stalking dan cyber-trespass. Cyber-trespass meliputi Spam E-mail, Hacking a Web Page dan Breaking into Personal Computer.
·         Cyber-terrorism.[8]
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 43 Ayat (8) disebutkan bahwa “dalam rangka mengungkap tindak pidana informasi elektronik dan transaksi elektronik penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti”ketentuan tersebut dapat memberikan fasilitas hukum kepada para penegak hukum (penyelidik dan penyidik) untuk melakukan kerjasama penyidikan lintas negara dengan penagak hukum di negara lain, namun hal tersebut tetap tidak dapat terlepas dari respon dan hubungan baik antar negara, artinya tanpa adanya hubungan ekstradisi dan kerjasama antar negara para penegak hukum tetap tidak bisa menerobos batas kewenangan suatu negara.
Ruang lingkup Cyber law antara lain sebagaimana diungkapkan oleh Jonathan Rosenoer dalam Cyber law, the law of internet sebagai berikut:
  1. Hak Cipta (copy right)
  2. Hak Merek (trade mark)
  3. Pencemaran nama baik (defamation)
  4. Fitnah, penistaan, penghinaan (hate speech)
  5. Serangan terhadap fasilitas komputer (hacking, viruses, illegal access)
  6. Pengaturan sumber daya internet seperti IP address domein name dll
  7. Kenyamanan individu (privacy)
  8. Prinsip kehati-hatian (duty care)
  9. Tindakan kriminal biasa yang menggunakan TI sebagai alat;
  10. Isu prosedural seperti yuridiksi, pembuktian, penyidikan dll
  11. Kontrak/transaksi elektronik dan tanda tangan digital;
  12. Pornografi termasuk pornografi anak;
  13. Pencurian melalui internet;
  14. Perlindungan konsumen;
  15. Pemanfaatan internet dalam aktivitas keseharian manusia seperti e-commerce, e-government, e-education dan lain sebagainya[9]
Dalam rangka upaya untuk menanggulangi cyber crime tersebut Resolusi Kongres PBB ke VIII/1990 mengenai Computer Related Crime mangajukan beberapa kebijakan antara lain sebagai berikut:
  1. Menghimbau negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut:
    1. Melakukan modernisasi hukum pidana materiil dan hukum acara pidana;
    2. Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer;
    3. Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka (sensitif) warga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer (untuk selanjutnya dalam kutipan ini disingkat dengan istilah Cyber Crime (CC)
    4. Melakukan upaya-upaya pelatihan (training) bagi para hakim pejabat dan aparat penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan Cyber Crime (CC)
    5. Memperluas rule of crime dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya melalui kurikulum informasi;
    6. Mengadopsi kebijakan perlindungan korban Cyber Crime (CC) sesuai dengan deklarasi PBB mengenai korban dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong melaporkan adanya Cyber crime (CC)
  2. Menghimbau negara anggota meningkatkan kegiatan nasional dalam upaya penanggulangan Cyber crime (CC)”
  3. Merekomendasikan kepada komite Pengendalian dan Pencegahan kejahatan (Committee on Crime Prevention and Control) PBB untuk:
    1. Menyebarluaskan pedoman dan standar untuk membantu negara anggota menghadapi Cyber crime (CC) ditingkat nasional, regional dan internasional;
    2. Mengembangkan penelitian dan analisis lebih lanjut guna menemukan cara-cara baru menghadapi problem Cyber crime (CC) dimasa yang akan datang;
    3. Mempertimbangkan Cyber Crime (CC) sewaktu meninjau pengimplementasian perjanjian ekstradisi dan bantuan kerjasama dibidang penanggulangan kejahatan [10]
Selanjutnya menyangkut penangangan kejahatan mayantara yang berdimensikan lintas negara (trans nasional) atau internasional maka negara-negara di Eropa telah melakukan kerjasama dengan membuat kesepakatan yang dikenal dengan ”Draft Convention on Cyber Crime berisi:
  1. Tiap pihak (negara) akan mengambil langkah-langkah legislatif dan pihak lain yang diperlukan untuk menetapkan yuridiksi terhadap setiap tindak pidana yang ditetapkan sesuai dengan Pasal 2 sampai Pasal 11 konvensi ini apabila tindak pidana itu dilakukan;
    1. Didalam wilayah teritorialnya;
    2. Diatas kapal yang mengibarkan bendera negara yang bersangkutan;
    3. Diatas pesawat yang terdaftar menurut hukum negara yang bersangkutan; atau
    4. Oleh seorang dari warga negaranya apabila tindak pidana itu dapat dipidana menurut hukum pidana ditempat tindak pidana itu dilakukan atau apabila tindak pidana itu dilakukan diluar yuridiksi teritorial setiap negara;
  2. Setiap negara berhak untuk tidak menerapakan atau hanya menerapkan aturan yuridiksi sebagaimana disebut dalam Ayat (1) b – Ayat (1) d pasal ini dalam kasus-kasus atau kondisi-kondisi tertentu.
  3. Tiap pihak (negara) akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menerapkan yuridiksi terhadap tindak pidana yang ditunjuk dalam Pasal 24 (1) konvensi ini (pasal tentang ekstradisi) dalam hal tersangka berada dalam wilayahnya dan negara itu tidak mengekstradisi tersangka itu kenegara lain (semata-mata berdasar alasan kewarganegaraan tersangka) setelah adanya permintaan ekstradisi.
  4. Konvensi ini tidak meniadakan yuridiksi kriminal yang dilaksanakan sesuai dengan hukum domestik (hukum negara yang bersangkutan).
  5. Apabila lebih dari 1 (satu) pihak (negara) menyatakan berhak atas yuridiksi tindak pidana dalam konvensi ini maka para pihak yang terlibat akan melakukan konsultasi untuk menetapkan yuridiksi yang paling tepat untuk penuntutan.[11]
Berdasarkan ketentuan 1 sub (a) diatas bahwa penanganan dilakukan berdasarkan asas teritorial atau yuridiksi teritorial yang berlaku, baik apabila pelaku dan korbannya berada diwilayah teritorialnya ataupun komputer yang diserang berada diwilayahnya tetapi sepelaku penyerangan terhadap keamanan komputer tidak berada diwilayahnya. Ketentuan ini merupakan perluasan dari asas teritorial yang berlaku pada sistem hukum pidana di masing-masing negara, sedangkan pada ketentuan 1 sub (b) diatas menyangkut menganai asas nasionalitas. Pada ketentuan ayat (2) menunjukan bahwa masing-masing negara berhak untuk mengajukan keberatan (reservasi) terhadap pemberlakuan pada ketentuan Ayat (1) sub b, c dan d, kecuali pada sub a yang harus diperlukan untuk menjamin negara yang menolak melakukan ekstradisi warga negaranya, tetap mempunyai kemampuan untuk melakukan investigasi dan proses menurut hukumnya sendiri.[12]
Tata cara penanganan diatas merupakan contoh yang pernah dilakukan oleh negara-negara di Eropa sehingga terhadap kejahatan mayantara yang ruang lingkupnya internasional dapat ditangani dan ditanggulangi berdasarkan ketentuan yang telah disepakati oleh negara-negara yang membuat kesepakatan tersebut, hal ini mengingat bahwa penanganan kejahatan (tindak pidana) pada setiap negara yang berdaulat memiliki kekuasaan yuridiksi masing-masing yang harus senantiasa dihormati oleh negara lain, sehingga tidak mudah untuk melakukan penerobosan kedalam yuridiksi negara lain tanpa adanya perjanjian antar negara.

D.    PENUTUP
Cyber crime menurut sifatnya adalah kejahatan yang sulit untuk dideteksi dengan pendekatan hukum pidana pada umumnya karena terjadi pada dunia maya yang perbuatannya sulit dibuktikan secara nyata, disamping itu kejahatan mayantara (cyber crime) kerap dilakukan oleh orang yang pandai dan ahli dibidang teknologi dan terkadang menembus batas teritorial suatu negara, seperti seseorang yang melakukan kejahatannya terhadap sistem komputer di Indonesia namun sipelaku tersebut berada di luar Indonesia.
Dalam keadaan demikian, maka perlu adanya penangan secara khusus yang dimulai dari reformasi kebijakan hukum pidana (penal policy) sampai kepada kebijakan politik dengan negara-negara lain untuk mengantisipasi dan menanggulangi kejahatan yang ruang lingkupnya internasional. Pemerintah saat ini sudah mulai melakukan reformasi hukum di bidang teknologi informasi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, sehingga secara substansial penyalahgunaan teknologi informasi telah mulai di kriminalisasi dalam bentuk yang lebih kongkrit.
Dampak yang dialami sekarang dengan meluasnya kejahatan mayantara telah memaksa adanya suatu sikap dan upaya dari pemerintah yang lebih serius dalam menanggulangi kejahatan mayantara dengan beberapa pendekatan sebagai berikut:
1.      Pemerintah Indonesia harus terus melakukan kerjasama dengan negara-negara lain didunia menyangkut pencegahan dan penanganan kejahatan mayantara yang melibatkan yuridiksi internasional
2.      Memperbaiki sistem hukum pidana di Indonesia terutama menyangkut asas teritorial dalam KUHP agar dapat lebih fleksibel dalam menjangkau kasus-kasus tindak pidana mayantara yang berskala internasional;
3.      Memberikan pendidikan khusus bagi para penegak hukum baik Polisi, Jaksa maupun Hakim dibidang kejahatan mayantara.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahib dkk. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama Bandung, 2005
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1986

-------------- Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia, dikutip dari http://andi-hamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan.html, Rabu 28 Okyober 2009


Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bangung, 2003
-------------- Bunga Rampai Kebijakan Hukum PidanaPerkembangan Penyusunan KUHP baru, Kencana Praneda Media Group, Jakarta, 2008
Engelbrecht, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT internusa Jakarta 1989
Indra Safitri, Makalah tentang: Tindak Pidana Dunia Cyber, Inseden Legal Jurnal Form Indonesian Capital & Invesment Market; 1999
Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems (London Rautladge & Kegan Paul 1965
Mas Wigrantoro Roes Setyadi, situs internet “Seri Pengenalan Cyber Law; Apa dan Bagaimana? Global Internet Policy Initiative (GIPI)
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT Alumni Bandung, 2003
Opeinheim-Lauterpacht, International Law, vol. 8, London, 1955
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Elektronika dan Trasnsaksi Elektronika


[1]       Penulis adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu
[2]       Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems (London Rautladge & Kegan Paul 1965), hlm: 4-5
[3]       Opeinheim, International Law, vol. 8, hlm: 451
[4]       Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT Alumni Bandung, hlm: 18
[5]       Abdul Wahib dkk. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama Bandung, hlm: 40
[6]       Indra Safitri, Makalah tentang: Tindak Pidana Dunia Cyber, Inseden Legal Jurnal Form Indonesian Capital & Invesment Market;
[7]       Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bangung, hlm: 259

[8]       Andi Hamzah, Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia, dikutip dari http://andi-hamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan.html, Rabu 28 Okyober 2009


[9]       Mas Wigrantoro Roes Setyadi, “Seri Pengenalan Cyber Law; Apa dan Bagaimana? Global Internet Policy Initiative (GIPI)
[10]     Barda Nawawi Arif, Loc.cit, hlm: 244
[11]  Ibid, hlm: 224
[12] Abdul Wahib dkk. Op.cit hlm: 76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar