Mengenai Saya

Foto saya
Way Kanan, Lampung, Indonesia
Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu

Selasa, 21 Mei 2013

PROBLEMATIKA PENERAPAN LEMBAGA ACTIO PAULIANA DALAM PERKARA KEPAILITAN

Oleh: D.Y. Witanto

Abstrak
Lembaga actio pauliana dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditor yang dirugikan oleh tindakan hukum debitor yang tidak diwajibkan oleh undang-undang untuk mengalihkan hak kebendaannya. Pengajuan tuntutan actio pauliana terhadap debitur pailit dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan diajukan oleh kurator kepada Pengadilan Niaga dimana domisili debitor berada, namun dalam praktiknya penerapan lembaga actio pauliana dalam perkara kepailitan menimbulkan banyak kendala dan permasalahan karena proses pembuktian terhadap tuntutan actio pauliana tidak selalu mudah dan sederhana karena pelaksanaannya tidak hanya akan melibatkan para pihak dalam perkara kepailitan saja, namun juga akan melibatkan pihak ketiga yang terkait dengan pengalihan asset dan kekayaan debitor.     
Kata kunci: actio pauliana, kepailitan, utang

Latar Belakang masalah

Sering tidak kita sadari bahwa setiap kebendaan yang kita miliki demi hukum menjadi jaminan dari seluruh utang-utang yang ada (vide: Pasal 1131 KUH Perdata), baik jaminan terhadap utang yang timbul dari sebuah perjanjian, maupun utang yang lahir dan ditentukan oleh undang-undang, namun dalam praktiknya lembaga jaminan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata itu banyak mengandung kelemahan, karena terhadap hak kebendaan tertentu yang tidak diikat oleh jaminan secara khusus (gadai, hak tanggungan dan fidusia), debitor tetap berwenang untuk mengalihkan setiap kebendaan itu kepada pihak ketiga, artinya seberapa pun besarnya utang yang di miliki debitor, ia masih tetap mempunyai hak untuk mengalihkan harta bendanya kepada pihak lain. 

Jika kita telaah lebih lanjut uraian diatas, maka seakan ada dua klausula yang saling tidak mendukung, disatu sisi undang-undang menyatakan bahwa seluruh kebendaan milik si debitor adalah jaminan bagi utang-utangnya, namun disisi lain debitor masih tetap bisa mengalihkan setiap kebendaan itu secara bebas, sehingga bukan tidak mungkin debitor-debitor yang tidak beritikad baik akan berusaha mengalihkan terlebih dahulu hak kebendaannya kepada pihak lain, sebelum utang-utangnya mulai jatuh tempo (opeisbaar) sehingga pada saatnya si kreditor akan kesulitan untuk mengambil pelunasan dari harta benda milik si debitor karena telah lebih dulu dialihkan kepada pihak ketiga. 
Terhadap persoalan diatas pembentuk undang-undang sebenarnya telah memberikan upaya perlindungan bagi kreditur yang beritikad baik untuk mengajukan pembatalan terhadap setiap perjanjian debitor dengan pihak ketiga yang dapat merugikan kepentingannya disaat kreditor memerlukan pemenuhan pembayaran utang-utang dari pihak debitor. Hak untuk membatalkan setiap tindakan hukum debitur itu kemudian dikenal dengan istilah “actio pauliana” 

Lembaga actio pauliana memiliki kemiripan dengan istilah “fraudulent transfer law” di America Serikat dan claw back di Italia. Fraudulent transfer law modern di Amerika Serikat berasal dari England’s Statute of 13 Elizabeth yang disahkan pada 1571 yang selanjutnya berkembang menjadi Uniform Fraudulent Convenyence Act (UFCA), the Bankruftcy Act of 1975 dan The Uniform Fraudulent Transfer Act (UFTA). Lembaga-lembaga tersebut ditujukan untuk melarang debitor melakukan tindakan-tindakan curang yang dilakukan dengan cara menghalangi, menunda, menipu para kreditornya melalui transfer harta kekayaan sebelum pernyataan pailit sehingga mengurangi harta kekayaan yang menjadi budel pailit.

Dalam perkembangannya the Bankruptcy Code memperluas istilah fraudulent transfer hingga mencakup constructively transfers, yaitu ketika debitor menjual harta kekayaannya dengan harga rendah dan dari hasil penjualan harta kekayaannya itu menyebabkan debitor menjadi pailit. Dalam penjualan asset dengan harga murah yang mengakibatkan debitor menjadi pailit dapat dipersangkapan telah melakukan Constructive fraud dengan syarat bahwa jika harga penjualan itu jauh sekali dari nilai kekayaan pada umumnya atau dengan kata lain nilai penjualan tersebut tidak masuk akal, maka hal ini dipandang sebagai bentuk tindakan debitor yang curang untuk menghindari kewajiban pembayaran utang-utangnya kepada para kreditor kongkuren berdasarkan pernyataan pailit. 

Dalam sistem hukum perdata Indonesia lembaga Actio Pauliana diatur dalam Pasal 1341 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “meskipun demikian tiap orang berpiutang boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh si berutang dengan nama apapun juga yang merugikan orang-orang berpiutang asal dibuktikan bahwa ketika perbuatan dilakukan baik si berutang maupun orang dengan atau untuk siapa si berutang itu berbuat mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orang-orang berpiutang” pengaturan norma yang sama juga ditemui dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (yang selanjutnya disebut UU Kepailitan dan PKPU) berbunyi “untuk kepentingan harta pailit kepada pegadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan” dua ketentuan tersebut pada prinsipnya memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk melindungi kepentingan kreditor atas tindakan debitor yang dapat merugikan kreditor.

Actio pauliana dalam Pasal 1341 ayat (1) KUH Perdata maupun dalam Pasal 41 UU Kepailitan dan PKPU mengandung beberapa unsur pokok antara lain:
  • Actio pauliana merupakan hak kreditur/kurator
  • Ditujukan kepada tindakan hukum debitur
  • Tidakan debitor tidak diwajibkan oleh undang-undang
  • Menimbulkan kerugian bagi kreditor.  


Dalam praktiknya tuntutan dengan menggunakan lembaga actio pauliana sering menemui kendala, karena dalam beberapa hal actio pauliana akan berbenturan dengan asas facta sun servanda berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata dan adanya kewajiban pembuktian dalam hukum perdata terhadap tuntutan atas dasar adanya itikad buruk dalam sebuah hubungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 533 KUH Perdata yang berbunyi “itikad baik selamanya harus dianggap ada pada tiap-tiap pemegang kedudukan, barangsiapa menuduh akan itikad buruk kepadanya harus membuktikan tuduhan itu” sedangkan dalam praktiknya tidak selalu mudah untuk membuktikan keberadaan itikad buruk pada perbuatan dobitor yang mengalihkan asset dan kekayaannya, karena menurut Pasal 1341 ayat (2) pihak ketiga yang mendapatkan haknya karena itikad baik harus tetap dilindungi oleh hukum, selain itu dalam perkara kepailitan yang yang menganut asas pemeriksaan sederhana juga tidak dapat diterapkan pada persoalan actio pauliana yang mengandung beban pembuktian yang rumit, sehingga ada beberapa Putusan Mahkamah Agung yang berpendapat bahwa mengenai gugatan actio pauliana dalam perkara pailit tetap harus diajukan ke Pengadilan Negeri, tentunya hal ini akan menimbulkan problem baru karena jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 41 jo Pasal 1 angka 7 UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan bahwa pengadilan sebagaimana disebutkan dalam UU Kepailitan adalah Pengadilan Niaga.

jika kita telaah bunyi rumusan pasal 42, Pasal 44 dan Pejelasan Pasal 43, UU Kepailitan dan PKPU, maka beban pembuktian dalam tuntutan actio pauliana terhadap perjanjian tidak atas beban berada di pihak debitor pailit dan pihak ketiga yang melakukan perbuatan hukum dengan debitor apabila perbuatan hukum debitor tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit yang membawa kerugian bagi kepentingan kreditor. Jadi, apabila kurator menilai bahwa ada perbuatan hukum tertentu misalnya jual-beli, hibah dan pemberian jaminan utang dari debitor dengan pihak ketiga dalam jangka waktu satu tahun (sebelum putusan pernyataan pailit) merugikan kepentingan kreditor, maka debitor dan pihak ketiga wajib membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hukum tersebut tidak merugikan harta pailit. Namun jika kita simak Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 43 UU Kepailitan dan PKPU, maka justru tersimpul bahwa beban pembuktian berada di pihak kurator. Disinilah ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara lebih mendalam menyangkut persoalan-persolaan yang melingkupi proses penyelesaian utang-utang debitor melalui lembaga actio pauliana

Permasalahan

Berdasarkan uraian-uraian diatas, dapat ditarik suatu benang merah permasalahan menyangkut penerapan lembaga actio pauliana dalam perkara kepailitan menyangkut apa sajakah kendala-kendala yang ada dalam penerapan lembaga actio pauliana di pengadilan niaga menyangkut perara kepailitan dan bagaimana alternatif solusi yang dapat dilakukan oleh para kreditor kongkuren?

Pembahasan

Kendala Kompetensi Pemeriksaan Gugatan Actio Pauliana Dalam Kasus Kepailitan
Kepailitan atau biasa disebut sita umum, merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang memiliki dua atau lebih kreditur, ia tidak melaksanakan kewajiban pembayaran utangnya kepada seorang atau beberapa orang kreditur, sehingga atas pernyataan dari pengadilan si debitur dinyatakan tidak cakap lagi untuk mengurusi harta kekayaannya dan menempatkan ia di bawah pengelolaan kurator dalam rangka pemberesan utang-utangnya kepada para kreditur kongkuren. Sejak debitor dinyatakan pailit, maka seluruh hartanya akan terhimpun dalam suatu budel yang kemudian akan menjadi bagian pelunasan utang-utangnya. Dalam hukum kepailitan tidak disyaratkan bahwa debitor harus telah tidak mampu untuk membayar utangnya, artinya bisa saja debitor dinyatakan pailit meskipun ia sebenarnya masih mampu untuk membayar utangnya, jika ia tidak melakukan kewajiban pembayaran terhadap salah satu dari beberapa kreditornya, sehingga pailit tidak sama pengertiannya dengan insolvensi. 

Dalam perkara kepailitan berlaku prinsip pembuktian sederhana (ex: Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU) dimana kreditor hanya cukup membuktikan bahwa benar ada satu atau beberapa utang yang telah jatuh tempo dan debitor tidak melakukan kewajiban pembayaran utangnya. Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja mengatakan bahwa prisip pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan meliputi eksistensi utang debitor yang telah jatuh tempo dan eksistensi dari dua atau lebih kreditor yang memiliki piutang terhadap debitor yang dimohonkan pailit. Pembuktian sederhana adalah pembuktian yang lazim disebut dengan pembuktian secara sumir.

Berdasarkan prinsip kesederhanaan diatas maka jika perkara permohonan kepailitan yang diajukan tersebut ternyata mengandung pembuktian yang rumit menyangkut keberadaan utang debitor atau masih ada perselisihan mengenai kebenaran utang debitor sehingga memerlukan pembuktian secara timbal balik dari kedua belah pihak, maka permohonan tersebut akan dianggap bukan menjadi kompetensi pemeriksaan perkara pailit akan tetapi menjadi wilayah kompetensi pemeriksaan perkara wanprestasi biasa, hal tersebut sebagaimana pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara Nomor: 843 K/Pdt.Sus/2009 tentang permohonan pailit atas PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang menyatakan bahwa pembuktian kasus pailit TPI tidak sederhana karena eksistensi adanya utang masih dalam konflik. Selain itu dalam perkara kepailitan keberadaan utang harus sudah jelas dan tidak dipersoalkan lagi, sehingga jika masih ada persoalan mengenai keberadaan utang, maka bukan menjadi kewenangan hukum kepailitan, hal mana diungkapkan oleh MA dalam Putusan Perkara Kepailitan Nomor: 08 K/N/2004 terhadap PT Prudential Life Assurance yang diajukan oleh Lee Boon Siong bahwa dalam sengketa PT Prudential Life Assurance keberadan utang masih disengketakan sehingga tidak dapat dibuktikan secara sederhana sesuai Pasal 8 Ayat (4) jo Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU.

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa jika terjadi keadaan dimana antara kreditor dan debitor masih mempertentangkan mengenai keberadaan utang, sehingga memerlukan pembuktian secara timbal balik dari kedua belah pihak, maka persoalan tersebut bukan menjadi kompetensi pemeriksaan dalam perkara kepailitan, lalu bagaimana dengan perkara gugatan actio pauliana yang timbul atas adanya pernyataan pailit dari Pengadilan Niaga, apakah tetap masih menjadi kewenangan Pengadilan Niaga ataukah menjadi kewenangan Pengadilan Negeri?

Pasal 41 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: untuk kepentingan harta pailit kepada pegadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sedangkan Pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa “pengadilan sebagaimana disebutkan dalam UU Kepailitan adalah Pengadilan Niaga” maka ada korelasi antara ketentuan Pasal 41 ayat (1) diatas dengan Pasal 1 angka 7 UU Kepailitan dan PKPU diatas, artinya kata “pengadilan” yang disebutkan dalam Pasal 41 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU tersebut tidak lain maksudnya adalah “Pengadilan Niaga.” Namun kemudian muncul persoalan apakah mungkin dalam perkara gugatan actio pauliana yang diajukan oleh kurator atas terjadinya kepailitan dapat diperiksa dengan proses pembuktian yang sederhana? mengingat tuntutan atas actio pauliana itu timbul karena adanya pernyataan pailit. Jika kita berbicara tentang actio pauliana, maka tidak bisa dilepaskan dari keterkaitan dengan keberadaan pihak ketiga yang menerima pengalihan harta kekayaan si debitor tersebut, lalu masih mungkinkan dilakukan proses pembuktian yang sederhana jika dalam suatu sengketa telah melibatkan pihak ketiga?

Bukti bahwa gugatan actio pauliana mengandung beban pembuktian yang tidak sederhana dapat kita lihat dalam rumusan Pasal 41 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi “Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor” berdasarkan ketentuan pasal diatas kurator harus mampu membuktikan bahwa pada saat debitor melakukan transaksi ia mengetahui atau sepatutnya mengetaui bahwa perbuatan hukum itu akan menimbulkan kerugian bagi kreditor. Dalam praktinya tidak selalu mudah untuk membuktikan keadaan itu, sehingga wajar jika Mahkamah Agung dalam Putusan Peninjauan Kembali perkara kepailitan PT Fiskaragung Perkasa Tbk yang menyebutkan bahwa actio pauliana sebagai pembatalan perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit dengan pihak ketiga merupakan suatu sengketa yang penyelesaiannya harus dilakukan melalui suatu gugatan perdata ke Pengadilan Negeri.

Namun timbul persoalan lain jika pengajuan gugatan actio pauliana atas adanya pernyataan pailit menjadi wewenang Pengadilan Negeri, karena hal itu akan menimbulkan antara perkara pailit dan perkara actio pauliana menjadi terpisah-pisah sehingga akan mempersulit upaya pemberesan dan pengurusan budel pailit dan hal ini akan menimbulkan penyelesaian perkara pailit menjadi berlarut-larut. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU memang telah menyebutkan secara tegas bahwa actio pauliana merupakan bagian dari kewenangan Pengadilan Niaga, namun oleh karena dalam actio pauliana tidak hanya terkait antara para pihak dalam perkara kepailitan akan tetapi juga terkait dengan pihak ketiga yang menerima pengalihan asset atau kekayaan debitor, maka seharusnya undang-undang juga mengatur mekanisme hukum acara yang lebih jelas bagi kedudukan pihak ketiga untuk bisa mempertahankan haknya dalam proses acara di Pengadilan Niaga.

Kendala Tentang Batasan Waktu Pengalihan Asset Debitor Yang Dianggap Beritikad Buruk
Pasal 42 UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa “apabila perbuatan hukum yang merugikan Kreditor dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan Debitor, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2)”… ketentuan tentang batasan waktu 1 (tahun) sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pasal diatas, menunjukan seakan-akan bahwa hukum hanya mengakui jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum adanya pernyataan pailit yang dapat menimbulkan kerugian bagi kreditor, padahal mungkin saja pengalihan asset itu telah dilakukan 2 (dua) tahun sebelum pernyataan pailit, namun pada saat itu jelas-jelas telah ada utang yang telah jatuh tempo pada salah satu kreditor dan pengalihan asset tersebut dilakukan dengan cara yang tidak wajar. Apakah perbuatan tersebut tidak dapat dikelompokan kedalam bentuk pengalihan asset yang beritikad buruk, hanya karena jangka waktunya melebihi 1 (satu) tahun sebelum pernyataan pailit?

Sebenarnya lebih tepat jika batasan untuk menentukan tempus dalam pengalihan asset atau kekayaan yang dianggap beritikad buruk itu didasarkan pada sejak telah adanya salah satu utang yang jatuh tempo (opeisbaar), sehingga lebih mudah untuk mengkonstruksikan mengenai adanya itikad buruk pada si debitor ketika kewajiban pembayaran utang telah timbul, namun justru debitur mengalihkan asset dan harta kekayaannya kepada pihak ketiga secara curang sehingga menimbulkan kerugian bagi kreditur-kreditur kongkuren yang dijamin utangnya dengan jaminan umum dari hak kebendaan debitur. Lain persoalan jika debitur mengalihkan hak kebendaannya itu dengan suatu tujuan untuk menimbulkan keuntungan secara ekonomi, sehingga akan menambah jumlah asset dan kekayaannya.
Dalam pengalihan asset yang sifatnya cuma-cuma seperti hibah, kurator tidak harus membuktikan bahwa debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor, ia akan dianggap mengetahui jika hibah tersebut terjadi dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pernyataan pailit. Ketentuan tersebut tidak menjelaskan secara tegas, mengenai jangka waktu satu tahun itu dihitung dari sejak tindakan hukum yang mana apakah sejak lahirnya kesepakatan hibah sebagai akibat dari perjanjian konsensuil atau sejak objek hibah tersebut dilevering. Hal ini tentunya membawa akibat hukum yang tidak sederhana, mengingat perjanjian dalam sistem hukum perdata menganut asas konsensuil dan obligaoir, dimana tidak selalu kesepakatan yang lahir itu dilanjutkan dengan penyerahan objek perjanjian pada saat itu juga.

Tidak semua pengalihan asset yang menimbulkan kekayaan debitor menjadi berkurang dapat menjadi dasar pengajuan tuntutan actio pauliana, asalkan kekayaan debitor yang berada dalam budel sita umum (kepailitan) masih mencukupi untuk membayar kewajiban-kewajiban pembayaran kepada kepada para kreditornya. Yang mejadi ukuran dapat atau tidaknya suatu pengalihan asset itu sebagai tindakan curang jika pada akhirnya menimbulkan jumlah kekayaan dalam budel pailit tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh kewajiban utang kepada pra kreditor.

Kendala Dalam Proses Pembuktian Gugatan Actio Pauliana Yang Tidak Selalu Mudah Dan Sederhana
Sekilas telah diulas diawal bahwa, terhadap tuntutan pembatalan setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor pailit yang mengakibatkan kerugian bagi para kreditornya tidaklah selalu mudah proses pembuktiannya, terutama menyangkut klausula hukum bahwa debitor dan pihak ketiga tersebut harus memenuhi unsur pengetahuan yaitu mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan hukum tersebut dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak kreditor. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “membuktikan” dalam arti yuridis adalah memberi dasar-dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran yang diajukan. Sehingga kurator harus dapat meyakinkan Hakim bahwa dalam pengalihan asset tersebut debitor dan pihak ketiga setidaknya dapat di pandang bahwa ia mengetahui atau sepatutnya mengetaui bahwa pengalihan itu akan menimbulkan kerugian bagi para kreditornya.

Terhadap pengalihan dalam bentuk hibah atau hadiah Pejelasan Pasal 43 UU Kepailitan dan PKPU telah menentukan bahwa kurator tidak perlu membuktikan bahwa penerima hibah tersebut mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor, sehingga kewajiban pembuktian itu ada pada pihak si penerima hibah, namun tidak begitu jika peralihan asset itu dilakukan dengan bentuk perjanjian timbale balik, maka berdasarkan Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 42 UU Kepailitan beban pembuktian itu diberikan oleh undang-undang kepada para pihak secara berimbang.

Setiap pihak ketiga yang menerima pengalihan asset dan kekayaan milik debitor harus tetap dilindungi sepanjang ia dapat dipandang sebagai pihak ketiga yang beritikad baik, misalnya bagi mereka yang melakukan transaksi jual beli melalui media internet terhadap harta dan kekayaan milik si debitor pailit dengan nilai jual yang wajar sebelum adanya pernyataan pailit sedangkan ia tidak pernah bertemu langsung dengan si penjual (debitor pailit). Dalam kasus lain mungkin saja bentuk perbuatan hukum yang dianggap merugikan pihak kreditor itu justru dilakukan oleh debitor dengan sesama kreditor yang lain dengan cara memberikan kedudukan yang istemewa terhadap sebagian harta-harta milik debitor yang pada umumnya dilakukan dengan membuat jaminan khusus dengan salah satu kreditor kongkuren padahal itu bukan tindakan yang diwajibkan, hal mana akan menimbulkan kerugian bagi kreditor-kreditor yang lain.

Dalam rumusan pasal 41 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan “akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor” sehingga sering terjadi perbedaan pendapat sejauh mana sebuah tindakan atau keadaan itu bisa dikatagorikan dapat mengakibatkan kerugian bagi kreditor, misalanya dalam sebuah tindakan tukar guling asset, pihak debitor memiliki sebidang tanah dengan harga NJOP 1 juta/ meter, namun harga dipasaran mungkin saja bisa melebihi nilai NJOP, lalu untuk kepentingan usahanya debitor melakukan tukar guling dengan sebidang tanah yang lain yang luasnya lebih kecil dan harga NJOP lebih rendah namun posisi tahah tersebut dipandang lebih menguntungkan bagi bidang usahanya. Jika dipandang dari segi nilai tanah mungkin perbuatan debitor bisa dianggap akan merugikan pihak kreditor karena nilai asset tersebut menjadi berkurang, namun dari sudut pandang lain meskipun debitor mengalami kerugian pada nilai tanahnya ia akan mendapatkan keuntungan dari sisi bisnis karena posisi tanahnya sangat strategis dengan bidang usaha yang dijalankannya, sehingga ia akan mendapatkan nilai keuntungan yang jauh lebih besar dari kerugian selisih nilai tanah tersebut, lalu tiba-tiba karena sesuatu hal usahanya kolep dan debitor dinyatakan pailit, apakah dalam konteks seperti itu perbuatan tukar guling antara debitor dan pihak ketiga bisa dikatagorikan sebagai tindakan yang beritikad buruk dan dapat merugikan pihak kreditor?

Pasal 49 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menentukan setiap orang yang telah menerima benda yang merupakan bagian harta debitor yang tercakup dalam perbuatan hukum yang dibatalkan, harus mengembalikan benda tersebut kepada kurator dan dilaporkan kepada Hakim Pengawas, muncul persoalan jika benda yang menjadi objek pembatalan tindakan hukum melalui actio pauliana itu ternyata telah musnah namun bukan diakibatkan oleh kesalahan pihak ketiga pemegang benda tersebut karena adanya keadaan di luar kemampuan orang itu untuk mempertahankan benda tersebut (force majeur), misalnya sebuah mobil dan pada saat setelah tuntutan actio pauliana itu dikabulkan ternyata mobilnya telah musnah di telan banjir, lalu siapa yang kemudian harus menanggung resiko mengganti nilai benda tersebut? Jika resiko itu tetap berada di tangan si pemegang benda terakhir, lalu bagaimana prosedur penuntutannya apakah kurator melalui pengadilan bisa melakukan eksekusi terhadap benda yang lain sebagai penggati benda yang musnah tersebut?

Inilah mungkin kesulitan-kesulitan jika actio pauliana tetap menjadi kewenangan pemeriksaan Pengadilan Niaga, karena dalam lembaga actio pauliana mengandung keterlibatan pihak lain diluar para pihak dala perkara kepailitan dan atas adanya tuntutan actio pauliana tidak menutup kemungkinan materi sengketanya menjadi berkembang ke masalah-masalah lain di luar persoalan kepailitan.

Kendala Mengenai Subjek Yang Dapat Mengajukan Tuntutan Actio Pauliana Yang Berkaitan Dengan Perkara Kepailitan
Jika kita simak ketentuan Pasal 47 UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi “Tuntutan hak berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 diajukan oleh Kurator ke Pengadilan” maka hanya kuratorlah yang berwenang untuk mengajukan tuntutan actio pauliana, sedangkan kreditor hanya memiliki kewenangan untuk mengajukan bantahan atas tuntutan actio pauliana yang diajukan oleh kurator, jika kita telaah lebih lanjut keberadaan lembaga actio pauliana sesungguhnya dibentuk untuk melindungi kepentingan kreditor, namun kreditor sendiri tidak diberi kewenangan untuk mengajukan tuntutan itu, artinya ia harus melalui kurator. Timbul persoalan jika ternyata kurator tidak mau mengajukan tuntutan itu sedangkan kreditor merasa dirugikan oleh tindakan debitor atas pengalihan asset sebelum adanya pernyataan pailit, apa yang dapat dilakukan oleh krediror?

Dalam suatu kasus justru kerugian yang diderita oleh pihak kreditor mengandung sebab karena tindakan kurator sendiri yang tidak cermat dalam melakukan pengelolaan budel pailit sehingga jumlah budel palit menjadi berkurang, hal ini sebagaimana terjadi dalam perkara tuntutan actio pauliana yang diajukan oleh kurator PT Omtraco Multi Arta ditolak oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi dengan alasan bahwa kerugian yang timbul terhadap kreditor merupakan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan kurator sendiri, mengenai kasus tersebut dapat diuraikan sebagaimana termuat dalam William E. Daniel kurator PT Ometraco Multi Arta v. PT Ometraco Multi Arta, dkk sebagai berikut:

Debitor PT Ometraco Multi Artha pada 13 November 1998 dinyatakan pailit. Kurator debitor telah menjual atau mengeksekusi obligasi-obligasi sebelum jatuh tempo dengan dibawah harga melalui pialang PT Citramas Securindo dan pialang PT Sentra Investindo seharga Rp 8.157.182.750,00, sehingga harga tidak sesuai dengan harga yang disetujui oleh debitor PT Ometraco Multi Artha dan PT Duta Trada Internusa, sehingga mengakibatkan kerugian bagi kreditor PT Ometraco Multi Artha. Mahkamah Agung berpendapat seharusnya kurator memberitahukan terlebih dahulu kepada PT Ometraco Multi Artha dan PT Duta Trada Internusa atau mengembalikan obligasiobligasi tersebut atau kurator menunggu sampai obligasi jatuh tempo, sehingga akan terlihat apakah tindakan PT Ometraco Multi Artha dan PT Duta Trada Internusa merugikan kreditor-kreditornya atau tidak. Kurator tidak seharusnya mengajukan actio pauliana setelah kurator sendiri menjual obligasi-obligasi tersebut. Apa yang dilakukan oleh PT Ometraco Multi Artha dan PT Duta Trada Internusa tidak terbukti telah merugikan kepentingan kreditor.

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung diatas bahwa jika kerugian itu justru muncul karena kekeliruan dari tindakan kurator sendiri, maka kerugian itu tidak dapat dituntut dengan lembaga actio pauliana, malaupun Mahkamah Agung sendiri tidak memberikan upaya alternatif yang bisa dilakukan oleh kreditor jika terjadi keadaan seperti itu agar ia bisa mendapatkan pelunasan utang secara penuh dari harta-harta milik debitor yang telah dinyatakan pailit.

Actio pauliana merupakan hak yang diberikan kepada kreditor melalui kurator untuk mengajukan pembatalan atas tindakan hukum yang dapat merugikan kepentingannya, oleh karena pengaturan actio pauliana dalam Pasal 41 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU sebagai hak, sehingga batalnya tindakan-tindakan hukum debitor tidak terjadi dengan sendirinya (ex tunc) melainkan harus ada upaya pembatalan (ex nunc), karena tuntutan actio pauliana tidak selalu harus ditujukan bagi semua perbuatan hukum debitor namun jika salah satu pembatalan atas pengalihan asset itu dianggap telah mencukupi untuk melunasi kewajiban pembayaran kepada para kreditor-kreditor, maka tindakan-tindakan hukum yang lainnya tidak perlu untuk dibatalkan.  

Penutup

Kesimpulan
Meskipun UU Kepailitan dan PKPU telah memberikan ketegasan bahwa actio pauliana dalam perkara kepailitan merupakan bagian dari kewenangan pemeriksaan Pengadilan Niaga, namun dalam praktiknya tidak selalu mudah untuk diperiksa dengan prinsip pemeriksaan perkara kepailitan, karena tuntutan actio pauliana bukan hanya akan melibatkan para pihak dalam perkara kepailitan saja namun juga akan melibatkan pihak ketiga diluar para pihak dalam perkara kepailitan, bahkan tidak menutup kemungkinan dalam tuntutan actio pauliana materinya aan berkembang menjadi luas karena benda yang dialihkan oleh debitor kepada pihak ketiga musnah dalam penguasaan pihak ketiga namun kemusnahan itu bukan karena kesalahan si pemegang terakhir benda tersebut. Hal-hal tersebut menimbulkan proses pembuktian menjadi tidak mudah dan sederhana lagi. Disamping itu pembatasan waktu satu tahun tidak selalu dapat memberikan perlindungan bagi pihak kreditur karena mungkin saja tindakan itu dilakukan sebelum jangka waktu satu tahun dari pernyataan pailit namun nyata-nyata dilakukan secara curang dan telah menimbulkan kerugian bagi kreditur.

Pemberian kewenangan untuk mengajukan tuntutan actio pauliana menurut UU Kepailitan dan PKPU hanya kepada kurator sehingga menimbulkan kecenderungan bahwa jika kurator tidak memiliki inisitaif yang baik untuk mengajukan tuntutan actio pauliana, padahal nyata-nyata dari tindakan-tindakan debitor itu telah menimbulkan jumlah bodel pailit menjadi tidak sepadan dengan utang-utang debitor kepada para kreditornya, maka kreditor tidak mampu untuk berbuat apa-apa, karena Pasal 47 ayat (2) UU Kepailitan menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan actio pauliana adalah kurator.

Saran
Dari uraian-uraian diatas, maka penulis memberikan saran agar para pembentuk undang-undang bisa memberikan aturan dan mekanisme yang lebih jelas menyangkut eksistensi pemeriksaan actio pauliana setelah adanya pernyataan pailit dengan merevisi UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, karena bagaimanapun juga proses pembuktian dalam perkara tuntutan actio pauliana tidak sama dengan proses pembuktian dalam perkara kepailitan, sehingga tidak menutup kemungkinan sifat yang mudah dan sederhana tidak mungkin lagi akan tercapai dalam proses pemeriksaan perkara actio pauliana.


Daftar Pustaka
Bravika Bunga Ramadhani, Penyelesaian Utang Piutang melalui Kepailitan (Study Kasus Pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang PT. Prudential Life Insurance), Makalah Hukum http://ejournal.undip.ac.id

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perihatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku II, Citra Aditya Bandung, 1996

Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan, 

Dianduan, blogspot.com, artikel berjudul “Pembuktian Sederhana Dalam Perkara Kepailitan” Juli 2012

Douglas G. Baird & Thomas H. Jackson, “Fraudulent Conveyence Law and its Proper Domain” 38 Vand. L. Rev. 829. 1985 

Kartini Mulyadi dan Gunawan Didjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, PT Raja Grafindi Persada, Jakarta, 2004, 

Man Sastrawidjaya, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. Alumni, Bandung, 2006

Martiman Prodjohamidjojo, Proses kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, CV. Mandar Maju, Bandung, 1999

Mc Coid, “Contructively Fraudulent Conveyances: Transfer for Inadequate Consideration, “ 62 Tex. L. Rev.639, 1983.

Siti Anisah, Perlindungan Terhadap Kepentingan Kreditor Melalui Actio Pauliana, Makalah Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Liberty, Yogyakarta, 1998, 
Victor. M Situmorang dan Hendri Sukarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993

Tuti Simorangkir, Kurator PT Fiskaragung Perkasa, Tbk. v. PT Fiskaragung Perkasa Tbk. dkk, dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor: 12 PK/N/2000 

Yulianto Trilaksono, Makna Actio Pauliana Sebagai Perlindungan Hukum Kreditor dalam kepailitan, http://yuliantotrilaksono.blogspot.com/

Perundang-undangan
Undang-Undang RI Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR).
Rechtsreglement Buitengewessen (RBg).
Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering (Rv).

Rabu, 01 Mei 2013

Artikel dalam Majalah Varia Peradilan edisi Januari 2013


BENARKAH PUTUSAN PEMIDANAAN YANG TIDAK MEMUAT AMAR PENAHANAN BATAL DEMI HUKUM DAN NON EXECUTABLE ?

Oleh: D.Y. Witanto, SH

Sejak munculnya pendapat hukum dari Prof. Yusril Ihza Mahendra tertanggal 15 Mei 2012 yang disampaikan kepada DPR-RI perihal amar penahanan di dalam putusan, sontak menimbulkan kebingungan di kalangan para hakim karena menurut pendapat tersebut putusan yang tidak memuat perintah penahanan sebagaimana di atur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP batal demi hukum (null and void) dan tidak dapat dieksekusi, padahal pemahaman di dalam praktik selama ini tidaklah demikian, karena penahanan merupakan tindakan yang bersifat diskresioner, hal ini dapat kita lihat dari beberapa ketentuan di dalam KUHAP antara lain dalam Pasal 20 ayat (3) yang berbunyi “untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan” dan Pasal 190 huruf a yang berbunyi “selama pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapannya untuk menahan terdakwa apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup.” Kata “berwenang” dan kata “dapat” dalam dua rumusan pasal diatas memberikan pengertian bahwa tindakan penahanan merupakan bentuk kewenangan (hak) bukan sebagai bentuk kewajiban, bahkan kewenangan itu bersifat limitatif karena hanya dapat diterapkan jika memenuhi syarat objektif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:
“penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut :
Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih
Tidak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3) Pasal 296, Pasal 335 ayat (1) Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi bea dan cukai, terakhir diubah dengan staatblaad tahun 1931 nomor 471) Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara tahun 1955 nomor 8) Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara tahun 1976 nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086)

Kewenangan diskresioner dalam tindakan penahanan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, bahwa hakim berhak untuk memilih apakah ia akan melakukan penahanan ataukah tidak, namun jika ada kekhawatiran bahwa terdakwa akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, maka hakim boleh memerintahkan agar terdakwa ditahan, sedangkan hak untuk menilai keadaan tersebut diberikan undang-undang kepada hakim secara subjektif.
Menyangkut penerapan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP memang banyak menimbulkan perdebatan karena menurut ketentuan Pasal 197 ayat (2) jika tidak dipenuhi ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan l pasal tersebut, mengakibatkan putusan batal demi hukum, sehingga jika diartikan secara kaku menurut makna tekstual, maka semua putusan yang tidak mencantumkan amar status penahanan sebagaimana disebutkan dalam pasal 197 ayat (1) huruf k adalah batal demi hukum, termasuk jika hakim tidak berkehendak untuk melakukan penahanan. Namun apakah makna sebenarnya memang demikian? Mari kita telaah lebih lanjut agar kita dapat memahami bahwa sesungguhnya ada konflik norma diantara beberapa ketentuan KUHAP sehingga menimbulkan perbedaan pendapat terhadap penerapan status penahanan di dalam amar putusan.

Telah disebutkan diatas bahwa berdasarkan Pasal 21 ayat (4) jo Pasal 190 huruf a penahanan hanya dapat diterapkan terhadap terdakwa yang disangka melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih atau diancam oleh tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam pasal 21 ayat (4) huruf b, sehingga selain dari tindak pidana yang disebutkan oleh pasal 21 ayat (4) tersebut, maka terdakwa tidak boleh ditahan, lalu kita hubungkan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k diatas, bahwa jika tidak ditentukan amar penahanan dalam putusan pemidanaan, maka putusan tersebut menjadi batal demi hukum, lalu apakah kemudian semua tidak pidana termasuk yang ancamannya dibawah 5 tahun juga harus tetap ditentukan status penahanannya padahal perkara tersebut tidak pernah ditahan dan memang tidak diperbolehkan untuk ditahan  berdasarkan Pasal 21 ayat (4) karena pasal tersebut mengandung kalimat “penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam bentuk tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.”

Kerancuan dapat terjadi ketika hakim hendak menjatuhkan pidana percobaan (vide pasal 14 a KUHP), karena jika kita mengikuti pendapat bahwa amar perintah penahanan itu harus ada di dalam setiap putusan pemidanaan bagi terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan, lalu bagaimana mungkin pada satu diktum dinyatakan terdakwa tidak perlu menjalani pidana, namun pada diktum yang lain terdakwa diperintahkan untuk ditahan, sehingga ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k itu sebenarnya hanya bisa diterapkan terhadap keadaan antara lain: jika sebelumnya terdakwa tidak ditahan kemudian hakim berpendapat perlu dilakukan penahanan atau jika sebelumnya terdakwa ditahan dan tetap akan dikenakan penahanan atau jika sebelumnya terdakwa ditahan kemudian hakim berpendapat perlu untuk dikeluarkan dari tahanan, sedangkan terhadap keadaan: jika sebelumnya terdakwa tidak ditahan dan hakim tetap berpendapat bahwa terdakwa tidak perlu ditahan, maka hal itu sesungguhnya tidak terikat oleh pasal 197 ayat (1) huruf k karena tidak ada keharusan untuk mencantumkan amar "memerintahkan agar terdakwa tetap tidak ditahan" hal tersebut mengandung makna yang homogen dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf i tentang "ketentuan barang bukti" jika dalam suatu perkara penuntut umum tidak pernah mengajukan barang bukti karena tindak pidana tersebut tidak ada barang buktinya, apakah hakim tetap wajib untuk mencantumkan ketentuan barang bukti di dalam amar putusan? Dan jika itu tidak dicantumkan, apakah putusannya menjadi batal demi hukum karena dalam pasal 197 ayat (2) menyebutkan, bahwa jika tidak memenuhi ketentuan pada ayat (1) huruf i putusan menjadi batal demi hukum? Tentunya tidaklah demikian karena ketentuan undang-undang harus memiliki makna yang rasional. Jika tidak ada keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf i maupun huruf k, maka kewajiban untuk menerapkan pasal tersebut juga menjadi tidak ada dan putusan itu tidak dapat dinyatakan batal demi hukum.

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (3) KUHAP, jelas disebutkan bahwa penahanan dilakukan untuk kepentingan “pemeriksaan” sehingga ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k yang mensyaratkan adanya perintah penahanan di dalam putusan sebenarnya mengandung makna yang kontraproduktif karena setelah putusan itu diucapkan, berarti seluruh proses mengadili dalam tingkat pengadilan tersebut telah selesai, sehingga tidak ada lagi kepentingan pemeriksaan atas penahan tersebut dan jika perkara itu diajukan upaya hukum, maka kewenangan melakukan penahanan akan beralih kepada pengadilan yang dimintakan upaya hukum pada saat terdakwa atau penuntut umum menyatakan banding/kasasi.

Pertentangan norma yang paling nyata dapat kita temukan dalam rumusan Pasal 193 ayat (2) huruf a yang berbunyi “pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan apabila dipenuhi ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan yang cukup untuk itu” kata “dapat” dalam ketentuan pasal tersebut tidak bisa ditafsirkan lain, bahwa perintah penahanan dalam putusan hanya sebatas hak yang boleh dipilih secara bebas oleh hakim, sehingga jika pasal 197 ayat (1) huruf k dimaknai sebagai sebuah kewajiban yang mengandung akibat batal demi hukum, maka pasal tersebut akan bertentangan dengan beberapa pasal KUHAP yang lain, yaitu: Pasal 21 ayat (4), Pasal 190 huruf a dan Pasal 193 ayat (2) huruf a yang kesemuanya merumuskan penahanan itu sebagai kewenangan hakim yang bersifat diskresioner.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka sebenarnya putusan yang batal demi hukum menurut  Pasal 197 ayat (1) huruf k jo Pasal 197 ayat (2) itu adalah jika dalam pertimbangan putusan, hakim menghendaki agar terdakwa ditahan, namun ternyata kehendak itu tidak di tuangkan di dalam amar putusan, sehingga antara pertimbangan dengan amar tidak memiliki korelasi, namun jika memang terdakwa sebelumnya tidak ditahan dan hakim berpendapat tetap tidak perlu dilakukan penahanan, maka putusan yang tidak memuat status penahanan itu tidak dapat dikatagorikan sebagai putusan yang batal demi hukum karena status penahanan itu tidak pernah ada dan keadaan tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup pengaturan Pasal 197 ayat (1) huruf k dan jika Pasal 197 ayat (1) huruf k itu kemudian diartikan bahwa perintah penahanan itu harus ada didalam setiap putusan pemidanaan, maka putusan-putusan yang telah dijatuhkan atas tindak pidana yang nilai ancaman hukumannya dibawah 5 tahun atau dalam perkara-perkara pelanggaran semuanya akan batal demi hukum dan non executable, karena terhadap perkara-perkara tersebut hakim dilarang untuk memerintahkan tindakan penahanan.

Jika pendapat tersebut kemudian dijadikan patokan oleh DPR untuk menganggap bahwa putusan pengadilan batal demi hukum, maka hal tersebut sangatlah keliru, mengingat semua kerancuan itu bermula dari adanya konflik norma di dalam KUHAP sendiri, sehingga seharusnya DPR (legislatif) lebih bertanggung jawab atas fenomena yang terjadi selama ini dan jika DPR hendak menyatakan putusan pengadilan tersebut batal demi hukum, maka DPR harus terlebih dahulu menyatakan bahwa KUHAP juga batal demi hukum, karena putusan pemidanaan yang tidak mencantumkan status penahanan dalam hal terdakwa tidak ditahan sesungguhnya didasarkan pada ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP, jadi jika saat ini terjadi kerancuan di didalam penerapan KUHAP lalu siapakah yang salah, hakimkah atau pembentuk undang-undangkah? Wallohualam…

Ket: tulisan ini hanya merupakan telaahan bebas terhadap fenomena hukum yang terjadi dan tidak ditujukan sebagai analisis terhadap sebuah kasus hukum tertentu.
Penulis adalah penulis dan pemerhati hukum

Kamis, 28 Maret 2013

KONFLIK PENALARAN MENYANGKUT UNSUR "KEKUATAN GAIB" DALAM PASAL 293 RUU KUHP

Oleh: D.Y. Witanto


Ketika RUU KUHP akan dilakukan pembahasan oleh DPR muncul polemik terhadap substansi beberapa pasal yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam Hukum Pidana, salah satu ketentuan pasal yang sering menjadi perdebatan tersebut adalah Pasal 293 yang oleh beberapa kalangan disebut dengan "delik santet" penulis sendiri sebenarnya tidak sependapat jika Pasal 293 RUU KUHP tersebut disebut dengan delik santet karena dalam rumusan unsur Pasal 293 sama sekali kita tidak temukan kata/istilah santet, yang ada hanyalah frasa "kekuatan gaib" sedangkan kekuatan gaib tidak selalu dalam bentuk santet dan selain itu unsur kekuatan gaib dalam pasal 293 bukanlah unsur pokok yang menjadi identitas.

Pasal 293 ayat (1) RUU KUHP selengkapnya berbunyi "setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak katagori IV" jika kita telaah secara cermat rumusan pasal diatas, maka sesungguhnya unsur kekuatan gaib itu tidak dirumuskan dalam bentuk perbuatan (kata kerja) karena unsur yang menunjukan bentuk perbuatan dalam pasal tersebut adalah "menyatakan dirinya", "memberitahukan" "menimbulkan harapan" "menawarkan" dan "memberikan bantuan jasa" sedangkan kekuatan gaib itu hanyalah sebatas isi (konten) dari perbuatan si pelaku dalam bentuk pernyataan diri.

Tindak pidana (strafbaarfeit) oleh beberapa sarjana sering juga diistilahkan sebagai perbuatan pidana atau peristiwa pidana. menurut Simon perbuatan pidana/peristiwa pidana adalah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. (CST. Cansil, 2007: 38), sehingga jika kita uraikan, maka pengertian tindak pidana tersebut terdiri dari beberapa komponen antara lain:
1. Komponen perbuatan
2. Komponen kesalahan dan sifat melawan hukum
3. Komponen ancaman pidana 
4. Komponen subjek hukum
5. Komponen pertanggungjawaban pidana

Unsur perbuatan dalam suatu rumusan delik merupakan unsur pokok yang menjadi identitas dan ciri khas dari delik tersebut, misalnya unsur "mengambil" pada Pasal 362 tentang Pencurian, atau unsur "menghilangkan nyawa" pada Pasal 338 tentang Pembununan. Unsur perbuatan pada umumnya dinyatakan dalam bentuk kata kerja baik yang bersifat aktif (en doen) maupun pasif (een nalaten). (Lamintang, 1997: 93) 

Kembali pada rumusan Pasal 293 RUU KUHP, bahwa pembentuk undang-undang telah merumuskannya dalam bentuk delik formil (formeel delict) yaitu suatu delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. (Lamintang, 1997: 213, ibid), sehingga Pasal 293 tidak memandang bahwa akibat dari perbuatan itu harus telah timbul, karena essensi dari suatu delict dalam katagori formil ada pada perbuatannya sendiri yang telah bertentangan dengan ketentuan yang diatur oleh undang-undang hukum pidana dan telah diancam pidana bagi siapa saja yang melanggarnya, sedangkan unsur "kekuatan gaib" dalam rumusan Pasal 293 bukanlan sebagai perbuatan melainkan isi dari sebuah pernyataan.

Memang harus kita akui bahwa unsur "kekuatan gaib" dalam Pasal 293 adalah unsur yang paling seksi, bahkan saking seksinya telah membuat para pakar dan ahli-ahli hukum terbuai oleh keberadaan unsur tersebut, sehingga orang yang membaca rumusan Pasal 293 langsung berkesimpulan bahwa kekuatan gaib telah ditarik oleh pembentuk undang-undang kedalam ranah hukum yang sebenarnya syarat dengan logika pembuktian secara rasional, maka tidak heran jika kebanyakan orang mempertanyakan tentang bagaimana cara membuktikan kekuatan gaib dengan metoda pembuktian secara hukum? Inilah barangkali yang sering kita dengar dalam diskusi-diskusi di berbagai media menyangkut eksistensi Pasal 293 RUU KUHP, padalah jika kita cermat dalam membaca rumusan Pasal tersebut, maka sebenarnya kekuatan gaib itu bukanlah unsur pokok dari tindak pidananya melainkan hanya isi dari pernyataan diri si pelaku, contoh perbuatan materiil yang dapat dipidana dengan Pasal 293 tersebut antara lain misalnya: "A berkata kepada B dan C bahwa ia memiliki kekuatan gaib dan bisa membuat orang lain mati dengan kekuatan itu" yang harus dibuktikan bukanlan bagaimana bentuk kekuatan gaib itu melainkan apakah benar A telah berkata kepada B dan C seperti itu? jadi sama sekali tidaklah sulit untuk bisa membuktikannya karena cukup B dan C bersaksi di pengadilan bahwa benar A telah berkata ia memiliki kekuatan gaib dan dapat membuat orang lain mati dengan kekuatan itu kepada B dan C, maka tindak pidana dalam Pasal 293 telah dianggap terbukti,hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh H. Sarifuddin Sudding bahwa fokus kriminalisasi dalam Pasal 293 ditekankan pada perbuatan menawarkan/memberikan jasa dengan ilmu santet untuk membunuh atau mencelakakan orang lain bukan pada substansi santetnya. (Sarifuddin Sudding, dikutip dari http://hanura.com/web/article)

Berbeda halnya jika Pasal 293 itu dirumuskan sebagai berikut:
"Setiap orang yang menyantet atau melakukan santet terhadap orang lain dipidana penjara paling lama 5 tahun" maka materi santet itu harus dibuktikan karena ia dirumuskan dalam bentuk perbuatan. Tidak mungkin undang-undang dirumuskan dalam bentuk seperti itu karena rumusan seperti itu akan memaksa hukum untuk menjangkau wilayah-wilayah yang non ilmiah.

Pasal 293 dalam RUU KUHP sebenarnya mirip dengan Pasal 546 ayat (1) KUHP yang berbunyi "barangsiapa menjual, menawarkan menyerahkan membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat penangkal atau benda lain yang dikatakan olehnya mempunyai kesaktian" coba perhatikan kata "yang dikatakan olehnya mempunyai kesaktian" jika kita tidak cermat memaknai kalimat tersebut, maka kita akan tersesat seakan-akan yang harus dibuktikan adalah "kesaktiannya" padahal kesaktian itu hanya merupakan isi dari perkataan si pelaku. Jadi sebenarnya Pasal 293 RUU KUHP itu merupakan tindak pidana tentang informasi yang menyesatkan meskipun tidak pula bisa kita katakan sama persis dengan tindak pidana penipuan sebagaimana dalam Pasal 378 KUHP.

Jika kita lihat penjelasan dari Pasal 293 maka sesungguhnya maksud pembentuk undang-undang merumuskan pasal tersebut untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet) sehingga misi pembentuk undang-undang mencantumkan ketentuan Pasal 293 dalam RUU KUHP adalah untuk meminimalisasi praktik-praktik perdukunan.

Suatu perbuatan dirumuskan sebagai tindak pidana karena perbuatan itu telah nyata-nyata meresahkan masyarakat dan menimbulkan terganggunya rasa aman dan tentram dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Yang menjadi persoalan dalam ketentuan Pasal 293 RUU KUHP adalah menyangkut apakah pernyataan seseorang tentang kepemilikan kekuatan gaib telah menimbulkan rasa nyaman dan tentram dalam masyarakat menjadi terganggu? Memang keberadaan santet di Indonesia telah menjadi fenomena sosial di masyarakat, sehingga menimbulkan miss persepsi dan miss interaksi diantara komponen masyarakat, sebagai contoh terjadinya tindakan main hakim sendiri terhadap orang yang diduga sebagai dukun santet padahal hal itu baru sebatas dugaan dan prasangka masyarakat, atau maraknya iklan-iklan di majalah klenik yang menawarkan jasa kepada masyarakat untuk melakukan santet. Konflik persepsi di masyarakat tidak berada dalam dimensi supranatural karena yang dijangkau oleh hukum bukan materi santet atau ilmu gaibnya, namun semata hanya ditujukan pada hubungan-hubungan sosial yang terganggu oleh adanya pernyataan atau informasi menyesatkan yang menimbulkan keresahan di masyarakat.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka tidak pada tempatnya jika kita mempersoalkan tentang bagaimana membuktikan ilmu santet dengan media pembuktian secara hukum, karena meskipun Pasal 293 RUU KUHP mengandung unsur ilmu gaib, namun pokok perbuatan materiilnya bukan pada substansi santet dan ilmu gaibnya akan tetapi pada proses perbuatan dalam bentuk pernyataan diri atau penawaran jasa. Masyarakat seharusnya bisa mendapatkan informasi yang lebih proporsional menyangkut essensi Pasal 293 ini agar tidak salah mengartikan substansi Pasal 293 RUU KUHP tersebut, walaupun kita cukup prihatin karena konflik penalaran itu justru timbul dari statement para pakar-pakar hukum yang telah tidak cermat dalam memahami substansi Pasal 293 RUU KUHP tersebut. Wallohualam...


Senin, 23 Juli 2012

HUKUM ACARA PERDATA
Tentang
Ketidakhadiran Para Pihak Dalam Proses Berperkara
(Gugur dan Verstek)

Oleh: D.Y. Witanto


S
empitnya ruang lingkup pengaturan undang-undang menyangkut persoalan ketidakhadiran dalam proses berperkara telah menimbulkan banyak masalah di dalam praktik persidangan perkara perdata, khususnya dalam perkara-perkara yang mengandung sengketa (contentiosa). Undang-undang hanya mengatur mengenai ketidakhadiran pihak penggugat hanya dalam Pasal 124 HIR/148 RBg saja, sedangkan terhadap ketidakhadiran pihak tergugat hanya diatur oleh Pasal 125-129 HIR/149-153 Rbg, sehingga tidak heran jika persoalan mengenai ketidakhadiran para pihak dalam proses berperkara tidak pernah menjadi bahan kajian secara khusus dan tersendiri, namun hanya sebatas menjadi bab atau bahkan sub-bab dari pembahasan tentang hukum acara perdata secara umum, padahal konsekuensi dan akibat hukum atas ketidakhadiran itu dapat berdampak luas bagi para pihak yang berperkara.
Banyak muncul problematika yang disebabkan oleh perbedaan pendapat di kalangan praktisi maupun akademisi menyangkut penerapan beberapa aturan di dalam hukum acara terhadap ketidakhadiran para pihak dalam proses berperkara, antara lain menyangkut mengenai keabsahan panggilan, ruang lingkup kehadiran dan ketidakhadiran, proses pembuktian dalam acara verstek, upaya hukum terhadap putusan di luar hadir dan jangka waktu untuk mengajukan perlawanan (verzet). Kondisi tersebut di picu oleh adanya kekosongan hukum (vacuum of law) dan ketidakjelasan secara tekstual dalam rumusan undang-undang hukum acara perdata yang berlaku saat ini (HIR, RBg maupun Rv) yang secara substansial merupakan hasil konkordansi dari undang-undang peninggalan kolonial.
Kesalahan dan kekeliruan hakim dalam menerapkan ketentuan acara terhadap ketidakhadiran para pihak, kerap merugikan kepentingan salah satu pihak, karena setiap putusan yang dijatuhkan di luar hadir selalu didahului oleh proses pemeriksaan secara sepihak. Dalam buku ini penulis mencoba untuk mengungkap segala seluk beluk dan persoalan mengenai ketidakhadiran para pihak dalam proses berperkara, bahkan penulis mencoba untuk menyajikan beberapa permasalahan menarik yang belum pernah diungkap dan dibahas sebelumnya, sekaligus dengan berbagai bentuk usulan solusinya, sehingga diharapkan buku ini dapat memberikan gambaran yang jelas, terang dan menyeluruh menyangkut konsekuensi hukum yang dapat diterapkan terhadap ketidakhadiran para pihak di dalam proses berperkara.
Untuk memperkaya kajian dan pembahasan dalam buku ini penulis mencoba memadukan antara aturan perundang-undangan, yurisprudensi, SEMA, teori-teori hukum dan konsep-konsep penalaran yang dibangun berdasarkan pengamatan dan pengalaman di dalam praktik, sehingga diharapkan dapat memberikan penjelasan secara lebih luas bagi khalayak pembaca yang ingin mempelajari tentang teknik-teknik persidangan dalam perkara perdata, khususnya menyangkut tentang putusan gugur dan verstek. Kandungan dalam buku ini juga akan bermanfaat bagi para praktisi (hakim dan advokat) maupun para akademisi (dosen dan mahasiswa) karena substansinya mencakup khasanah, baik teori maupun praktik. Buku tersebut rencananya terbagi atas 5 bab sebagai berikut:
BAB. I
PENDAHULUAN
A.    Kewenangan Pengadilan Negeri dalam Memeriksa
Perkara Perdata              (1)
B.     Sistematika Putusan Perkara Perdata                        (10)
1.      Judul Dan Nomor Putusan                 (10)
2.      Irah-Irah Putusan                   (11)
3.      Identitas Para Pihak                (14)
4.      Duduk Perkara                        (15)
5.      Alat-Alat Bukti                       (16)
6.      Pertimbangan Hukum            (17)
7.      Amar Putusan                        (20)
8.      Uraian Penutup                      (20)
9.      Tanda Tangan Hakim Dan Panitera              (21)
C.     Penggolongan Jenis-Jenis Putusan Dalam Perkara Perdata.          (21)
1.      Putusan Berdasarkan Fungsinya                   (21)
2.      Putusan Berdasarkan Sifatnya                       (24)
3.      Putusan Berdasarkan Isinya               (26)
4.      Putusan Berdasarkan Kehadiran Para Pihaknya                    (27)
D.    Fungsi Dan Makna Kehadiran Para Pihak Dalam Proses Berperkara (29)
E.     Pengertian Dan Penggunaan Istilah Bagi Ketidakhadiran Para Pihak (33)
F.      Pengaturan Putusan Di Luar Hadir Dalam Undang-Undang        (36)

BAB 2
PRINSIP-PRINSIP YANG BERLAKU PADA PUTUSAN DI LUAR HADIR
A.    Putusan Gugur Dan Verstek Berlaku Pada Perkara Contentiosa (49)
B.     Putusan Di Luar Hadir Dijatuhkan Dengan Prinsip Kehati-Hatian. (51)
  1. Penilaian Tentang Sah atau Tidaknya Panggilan Terhadap Para Pihak. (51)
  2. Penilaian Tentang Alasan Ketidakhadiran     (52)
  3. Penilaian Tentang Jarak antara Tempat Tinggal Para Pihak Dengan Pengadilan     (54)
C.     Dalam Putusan Verstek Hakim Wajib Memberikan Pertimbangan Yang Cukup (Voldoende Gemotiveerd)     (55)
D.    Prinsip Perlindungan Hak Dan Kepentingan Pihak Yang Hadir Mematuhi Panggilan.          (57)
E.     Putusan Di Luar Hadir Merupakan Sanksi Bagi Pihak Yang Ingkar Terhadap Panggilan Pengadilan      (58)
F.      Putusan Di Luar Hadir Menggunakan Prinsip Acara Persidangan Yang Sederhana                (59)
G.    Ketidakhadiran Salah Satu Pihak Mengesampingkan Kewajiban Mediasi                     (60)
H.    Prinsip Kehadiran Salah Satu Dari Tergugat Menghalangi Dijatuhkan Putusan Verstek                    (62)
I.        Prinsip Putusan Gugur Mengesampingkan Putusan Verstek       (63)

BAB 3
SYARAT-SYARAT  DIJATUHKAN PUTUSAN DI LUAR HADIR
A.    Penggugat/Tergugat Telah Dipanggil Secara Sah               (65)
B.     Prosedur Pemanggilan Dalam Perkara Perceraian              (81)
C.     Penggugat/Tergugat Tidak Memenuhi Panggilan Pengadilan. (83)
D.    Dalam Hal Penggugat/Tergugatnya Lebih Dari Seorang, Ketidakhadiran Bersifat Menyeluruh.     (91)
E.     Penggugat/Tergugat Tidak Mengutus Wakilnya Yang Sah.         (94)
Ad. 1. Kuasa Secara Umum         (91)
Ad. 2. Kuasa Khusus                   (97)
F.      Tidak Hadirnya Penggugat/Tergugat Tanpa Alasan Yang Sah. (104)
G.    Tergugat Tidak Mengajukan Eksepsi Kewenangan Mengadili. (110)
  1. Kompetensi Absolut    (111)
  2. Kompetensi Relatif      (113)
a.      Prinsip Gugatan Berdasarkan Domisili Tergugat (Actor Secquitor Forum Rei) (113)
b.      Prinisp Gugatan Berdasarkan Domisili Penggugat             (113)
c.       Prinsip Gugatan Berdasarkan Tempat Dimana Barang Tetap Berada (Forum Rei Sitae)      (114)
d.     Prinsip Gugatan Berdasarkan Domisili Pilihan       (114)
e.      Prinsip Gugatan Berdasarkan Pengadilan Yang Ditunjuk Oleh Undang-Undang         (115)

BAB. 4
BENTUK PUTUSAN  DI LUAR HADIR (GUGUR DAN VERSTEK)
A.    Pengantar            (119)
B.     Putusan Verstek Yang Berisi Mengabulkan Seluruh Gugatan      (132)
C.     Putusan Verstek Yang Berisi Mengabulkan Sebagian Gugatan  (134)
D.    Putusan Verstek Yang Berisi Penolakan Gugatan               (136)
E.     Putusan Verstek Yang Menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima (139)

BAB. 5
PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK (VERZET)
A.    Penggunaan Istilah Verzet Di Dalam Praktik           (143)
B.     Sifat Perlawanan Terhadap Putusan Verstek (Verzet)        (144)
C.     Tenggang Waktu Pengajuan Perlawanan      (148)
1.      Jika Diberitahukan Langsung Kepada Si Tergugat, Berlaku Jangka Waktu Perlawanan Selama 14 Hari Sejak Pemberitahuan            (150)
2.      Jika Tidak Diberitahukan Secara Langsung Kepada Si Tergugat, Maka Perlawanan Dapat Diajukan Sampai Hari Ke 8 Setelah Teguran (Aanmaning)       (152)
3.      Jika Atas Teguran (Aanmaning) Tergugat Tidak Hadir, Maka Dapat Diajukan Sampai Hari Ke 8 Sesudah Dijalankan Sita Eksekusi         (155)
4.      Hak Mengajukan Perlawanan Jika Pemberitahuan Dilakukan Secara Umum Melalui Pemerintah Daerah            (162)
5.      Beberapa Permasalahan Dalam Praktik Tentang Jangka Waktu Pengajuan Perlawanan (Verzet) Terhadap Putusan Verstek         (164)
D.    Pihak-Pihak Yang Berhak Mengajukan Perlawanan           (171)
  1. Hak Untuk Mengajukan Perlawanan Adalah Hak Bagi Tergugat Yang Dikalahkan Oleh Putusan Verstek            (172)
  2. Penggugat Tidak Memiliki Hak Untuk Mengajukan Perlawanan     (173)
  3. Dalam Hal Tergugat Meninggal Dunia Para Ahli Waris Dapat Menggantikan Posisi Tergugat Untuk Mengajukan Perlawanan  (174)
  4. Perlawanan Dapat Diajukan Oleh Kuasa Tergugat Yang Sah          (175)
  5. Dalam Hal Para Ahli Waris Belum Dewasa, Maka Perlawanan Dapat Diajukan Oleh Seorang Walinya Yang Sah      (176)
  6. Dalam Hal Tergugat Dinyatakan Tidak Cakap Bertindak Karena Gangguan Jiwa Setelah Putusan Verstek Dijatuhkan, Maka Pengampu Berhak Untuk Mengajukan Perlawanan        (177)
E.     Proses Acara Persidangan Verzet       (178)
  1. Perkara Perlawanan Terhadap Putusan Verstek Tidak Diberikan Nomor Perkara Baru.      (178)
  2. Pihak Pelawan Wajib Membayar Panjar Biaya Perkara         (178)
  3. Komposisi Para Pihak Dalam Acara Perlawanan (Verzet) Terhadap Putusan Verstek         (180)
  4. Ketidakhadiran Para Pihak Dalam Acara Verzet        (181)
a.      Ketidakhadiran Penggugat/Terlawan           (181)
b.      Ketidakhadiran Tergugat/Pelawan               (182)
c.       Ketidakhadiran Pelawan Maupun Terlawan            (185)
  1. Tata Cara Proses Persidangan Acara Perlawanan                 (186)
F.      Bentuk Dan Isi Putusan Perlawanan Terhadap Putusan Verstek  (214)
G.    Beberapa Permasalahan Yang Terjadi Di Dalam Praktik               (215)
1.      Permasalahan Menyangkut Amar Dapat Dijalankan Lebih Dulu (Uitvoerbaar Bij Voorraad)  Dalam Putusan Verstek            (215)
  1. Permasalahan Menyangkut Pembuktian Dengan Saksi-Saksi Dalam Putusan Verstek        (226)
  2. Pengajuan Banding Menutup Hak Bagi Tergugat Untuk Mengajukan Perlawanan           (229)
  3. Permasalahan Menyangkut Sita Eksekusi Yang Pernah Diletakan    (233)

DAFTAR PUSTAKA
Lampiran: