Mengenai Saya

Foto saya
Way Kanan, Lampung, Indonesia
Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu

Kamis, 17 Februari 2011

PIDANA CAMBUK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DI ACEH
D.Y. WITANTO, SH

Propinsi Nanggro Aceh Darussalam berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 1999 memiliki 4 (empat) keistimewaan yang antara lain:
-          Penyelenggaraan Kehidupan beragama,
-          Penyelenggaraan Kehidupan Adat,
-          Penyelenggaraan Pendidikan
-          Peran Ulama dalan penetapan kebijakan Daerah.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang tersebut disebutkan, bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam bagi para pemeluknya, dari momentum itulah kemudian Pemerintah Aceh menindaklanjuti dengan membentuk beberapa Qanun (peraturan setingkat PERDA) yang bertujuan untuk mengimplementasikan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat di bidang Aqidah, Ibadah, Syi’ar dan Jinayat.
Dalam penerapan Hukum Pidana Islam (Jinayat) di Aceh muncul beberapa lembaga hukum baru sebagai pembaharuan dalam sistem Hukum Pidana (Criminal Justice System) yang berlaku di Indonesia, konsep-konsep hukum berdasarkan Ketentuan Al-Qur’an dan Al Hadist yang di kemas menjadi aturan hukum positif mulai menjadi acuan yang konstruktif dalam pembangunan hukum dimasa yang akan datang, Aceh merupakan pemrakarsa pertama yang menerapkan Syariat Islam sebagai hukum posistif di Indonesia. Namun demikian dalam praktiknya tentu tidak terlepas dari berbagai kendala baik secara yuridis normatif maupun implementatif dilapangan, hal ini akan menjadi masa pembelajaran dan penyesuaian yang cukup panjang hingga sampai pada tujuan akhir untuk menciptakan Masyarakat Aceh yang tertib, aman dan tentram sesuai dengan fundamen-fundamen ke-Islaman yang kaffah.
Dalam Sistem Hukum Pidana Islam (jinayat) terdapat beberapa jenis sanksi pidana yang berlaku antara lain: Qishosh, Had, dan Ta’zir. Dari beberapa Qanun Jinayat yang saat ini berlaku diantaranya mulai mencantumkan ancaman hukuman berupa had dan Ta’zir yaitu cambuk dan denda yang dapat kita temukan dalam beberapa Qanun antara lain Qanun Khalwat, Meisir dan Khamer.
Hukuman cambuk (slash punishment) merupakan sebuah lembaga pemidanaan baru dalam sistem hukum pidana positif di Indonesia, yang mana dalam sistem pemidanaan menurut Pasal 10 Wetboek van Straftrecht (diterjemahkan: KUHP) tidak pernah mengenal jenis hukuman cambuk, jilid maupun dera, sehingga menjadi hal yang cukup unik untuk dikaji mengenai proses translasi dari sistem pemidanaan Eropa Continental ke sistem pemidanaan Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam ranah implementatif memang masih banyak terjadi pro dan kontra tentang penerapan hukuman pidana cambuk, baik dikalangan para ahli hukum maupun para praktisi berdasarkan berbagai sudut pandang dan latar belakang pemikiran yang beraneka ragam, namun ditengah wacana dan isu pro dan kontra terhadap proses penegakan Syariat Islam dengan sanksi hukuman cambuk tersebut, antusias masyarakat Aceh dalam penegakan Syariat Islam terus menjadi semangat dan motifasi bagi tegaknya Hukum Pidana Islam yang berbasis pada Al Qur’an dan Al Hadist.
Disatu sisi sebuah aturan hukum harus memiliki daya mengikat yang kuat sebagai dasar bagi pelaksanaan law enforcement, namun disisi lain aturan hukum juga tidak boleh kehilangan jati dirnya sebagai norma yang memiliki nilai kepastian (Recht Zekerheid) sehingga para pencari keadilan tidak menjadi kebingungan dalam menghadapi persoalan hukum, dan tentunya penegakan hukum itu sendiri harus memberikan manfaat yang lebih baik, bagi pelaku tindak pidana secara persoonen maupun bagi pembangunan hukum secara universal.
Penerapan Hukum Pidana Islam di Aceh merupakan sebuah Pilot Project bagi sebuah system hukum pidana di Indonesia, yang sampai saat ini pelaksanaanya masih dalam tahap adaptasi, sehingga perlu adanya suatu penyesuaian-penyesuain dan perbaikan-perbaikan untuk menuju tertib hukum yang lebih baik dan yang tidak kalah pentingya adalah, perlu adanya suatu tolok ukur yang jelas bagi efektifitas penerapan Syariat Islam di Aceh, sehingga segi-segi kemanfaatan hukum dan tujuan hukum sebagai sarana untuk menciptakan masyarakat yang aman dan tertib dapat tercapai dengan baik.
Sistem pemidanaan yang berlaku dalam hukum pidana nasional memang harus kita akui belum dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi pembinaan prilaku, karena ditinjau dari segi efek jera ternyata hukuman penjara tidak begitu menjadi shock terapy bagi para pelaku tindak pidana, hal mana terbukti dengan banyaknya pelaku kejahatan yang telah menjalani hukuman penjara kemudian mengulangi kembali perbuatannya, bahkan banyak yang diantaranya keluar masuk penjara karena sistem pembianaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan ketika menjalani hukuman tidak mampu merubah prilaku para narapidana menjadi lebih baik..
Penerapan hukuman cambuk cukup menjadi harapan dalam memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana, karena dengan dilakukannya eksekusi cambuk dimuka umum diharapkan secara psykologis akan berdampak lebih besar ketimbang hukuman penjara yang pelaksanaannya dilakukan secara ter-isolir di tempat yang tertutup. Selain itu dampak positif yang juga diharapkan adanya efek pencegahan (prefentif power) bagi masyarakat secara luas untuk tidak melakukan perbuatan yang serupa.
Dari beberapa ukuran yang dapat menentukan efektifitas penerapan Syariat Islam, aspek jera dari hukuman cambuk akan menjadi sebuah variable yang cukup significant, sehingga dapat menjadi sarana pembinaan prilaku bagi para terpidana dan dapat mencegah bagi timbulnya inisiatif kejahatan. Dari beberapa pelanggaran Syari’at yang terjadi, hanya beberapa persen saja yang perkaranya dilanjutkan ke pengadilan, hal itu debabkan karena dalam sistem penegakan Syari’at Islam lebih menggunakan pendekan pembinaan, sehingga para Polisi Syari’at (wilayatul hisbah) lebih banyak dibekali pendidikan yang berbasis pembinaan ahlak sedangkan penindakan (law enforcement) merupakan upaya yang bersifat ultimum remidium, artinya tindakan refresif baru dilakukan terhadap pelaku pelanggaran yang telah melewati beberapa proses peringatan atau jika telah melanggar aturan syariat dalam katagori yang berat.
 Selain sulitnya mengejawantahkan unsur-unsur delik dalam rumusan Qanun, para penegak hukum juga harus berhadapan dengan proses implementasi yang rumit dari hukum materiil yang berbasis Al Qur’an kepada hukum acara yang berbasis undang-undang (KUHAP) yang pembentukannya tidak berorientasi pada ketentuan Syariat, sehingga timbul beberapa persoalan pelik ketika KUHAP dijadikan sebagai hukum acara dalam pelaksanaan Penegakan Syari’at yang ada di Aceh.
Itu hanya merupakan salah satu contoh kecil dari banyaknya persoalan hukum yang terjadi dalam penerapan Syariat Islam di Aceh, sehingga memang perlu adanya proses yang panjang dalam mencapai kemapanan hukum melalui pranata-pranata hukum baru yang sesuai dengan sumber-sumber hukum yang melandasinya. Teramat sulit untuk memaksakan KUHAP sebagai hukum acara dalam Peradilan Syari’at, karena ancaman pidana cambuk tidak pernah dikenal dalam sistem pidana nasional.
Ironisnya belum selesai persoalan itu mendapatkan solusi, muncul lagi gagasan-gagasan baru untuk memperluas ruang lingkup Hukum Pidana Islam dengan mencoba merumuskan beberapa tindak pidana yang berlaku nasional dalam bentuk pelanggaran Syariat, misalnya Tindak Pidana Korupsi, dan Ilegal loging dengan menerapkan ancaman pidana cambuk bahkan ada wacana untuk menerapkan pidana ”potong tangan” bagi para koruptor dan pelaku Ilegal loging. Hal ini akan menjadi beban persoalan baru, ketika permasalahan yang ada belum terpecahkan sudah mulai membuat wacana pembaharuan hukum yang jauh lebih rumit.
Fenomena ini mungkin sebagai ekspresi dan espektasi masyarakat Aceh yang begitu antusias untuk menegakan Syariat Islam di wilayah Aceh secara universal,  semangat keIslaman itu terus mendorong agar semua pranata hukum berorientasi kepada hukum agama. Hal ini bisa berimplikasi posistif manakala ada harmonisasi antara sumber hukum yang mendasari pembentukan hukumnya dengan aturan-aturan organik yang menjadi wahana implemetasi di lapangan, karena jika aturan pelaksanaan itu tidak sejalan dengan aturan dasarnya, yang akan timbul justru adalah kesemberawutan didalam tatanan hukum yang ada di Aceh. 
Harus kita akui bahwa proses Islamisasi normatif yang terjadi di Aceh merupakan sebuah revolusi hukum di Indonesia, namun tahapan penyesuaian dengan para pelaku kepentingan di masyarakat tetap akan berjalan secara evolusi karena kesiapan mental dan psikologis dari masyarakat Aceh sendiri tidak begitu serta merta mampu menerima perubahan ini dalam waktu sekejap, maka yang perlu dilakukan oleh para penentu kebijakan di Aceh adalah memberikan sebuah pembekalan dan pemahaman yang memadai tentang makna yuridis, sosiologis dan filosofis dari pemberlakuan hukuman cambuk, agar orang tidak berfikiran bahwa dengan pelaksanaan hukuman cambuk yang dilakukan ditengah-tengah khalayak ramai itu, sebagai  pelanggaran hak asasi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar