Mengenai Saya

Foto saya
Way Kanan, Lampung, Indonesia
Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu

Kamis, 17 Februari 2011

BENARKAH DEPONERING DAN PUTUSAN PRAPERADILAN ADALAH DUA 
PILIHAN BAGI JAKSA AGUNG?
(Tinjauan Terhadap Kasus Hukum Bibit dan Chandra)

D.Y. Witanto, SH



A.     PENDAHULUAN
Ketika Darmono selaku Plt. Jaksa Agung mengeluarkan keputusan untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (deponering) terhadap kasus Bibit Samad Rianto dan Candra M Hamzah, maka tidak lama setelah itu banyak bermunculan statement dalam bentuk pro dan kontra dari kalangan akademisi, praktisi dan politisi menyangkut proses penerbitan deponering tersebut yang oleh sebagian kalangan dianggap masih menyisakan beberapa persoalan, namun terlepas dari opini publik yang terus berkembang di masyarakat Kejaksaan Agung tetap berpegang teguh pada ketentuan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang telah memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Berkaitan dengan penulisan ini, penulis tidak bermaksud untuk mengomentari kewenangan Jaksa Agung dalam mengeluarkan deponering terhadap kasus Bibit dan Chandra dari sisi Hukum Tata Negara, namun oleh karena penerbitan deponering tersebut telah menimbulkan pengaruh pada dimensi hukum yang begitu luas, maka sulit untuk membatasi pengkajian ini hanya sebatas pada ranah hukum pidana saja, karena lembaga deponering sendiri bukan domain dari hukum pidana atau setidak-tidaknya bukan bagian dari proses penegakan hukum pidana.
Secara umum tulisan ini akan menyoal tentang “kedudukan hukum lembaga deponering dan putusan praperadilan di dalam undang-undang”. Kenapa setiap penelaahan terhadap kasus perkara Bibit dan Chandra ini selalu menjadi kajian yang menarik?, karena sejak awal kasus ini telah banyak menarik perhatian masyarakat dengan istilah “cicak versus buaya” yang di populerkan oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duaji. Sisi lain yang juga menjadi keunikan pada kasus ini adalah karena Presiden SBY selaku Kepala Negara ikut turun tangan dalam persoalan ini dengan membentuk “Tim Pencari Fakta” yang di ketuai oleh Adnan Buyung Nasution yang kemudian lebih populer dengan nama “Tim Delapan”.
Berdasarkan rekomendasi dari Tim Delapan dan himbauan dari Presiden SBY agar perkara Bibit dan Chandra dihentikan, maka Kejaksaan Agung pada tanggal 1 Desember 2009 mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) berdasarkan Pasal 140 Ayat (2) KUHAP. Atas keluarnya SKKP tersebut, Anggodo Widjojo kemudian mengajukan permohonan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan pada tanggal 19 April 2009 PN Jakarta Selatan menjatuhkan Putusan Praperadilan yang isinya mengabulkan permohonan Anggodo Widjojo dengan menyatakan bahwa “SKPP tertanggal 1 Desember 2009 tidak sah”. Atas putusan tersebut Kejaksaan Agung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta berdasarkan Pasal 83 Ayat (2) KUHAP dan Pengadilan Tinggi Jakarta kemudian menolak permohonan banding tersebut. Upaya Hukum terakhir yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung atas penolakan banding tersebut adalah mengajukan upaya Peninjuan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dan upaya tersebut pun di tolak juga oleh Mahkamah Agung,
Setelah semua upaya hukum telah dilalui, maka putusan praperadilan atas perkara Bibit dan Chandra menjadi berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewisde) dan mengikat kepada pihak-pihak yang terkait dengan putusan itu. Berdasarkan Pasal 82 Ayat (3) huruf b KUHAP menyebutkan bahwa: “dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan”. Jika kita telaah rumusan Pasal 82 huruf b di atas, maka jelas bahwa Kejaksaan Agung seharusnya terikat dengan bunyi pasal tersebut, karena makna yang terkandung dalam ketentuan tersebut bersifat imperatif.

B.     PERMASALAHAN
Menyimak kenyataan yang terjadi bahwa Kejaksaan Agung justru memilih untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (deponering) berdasarkan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan daripada melaksanakan Putusan Praperadilan berdasarkan Pasal 82 Ayat (3) huruf b KUHAP untuk melanjutkan penuntutan ke pengadilan, maka muncul dua pertanyaan menyangkut hal tersebut antara lain: Apakah antara deponering dan Putusan Praperadilan berdasarkan dua ketentuan undang-undang merupakan sebuah pilihan bagi Jaksa Agung? dan apakah konsekuensi hukum yang akan timbul jika putusan praperadilan tentang tidak sahnya penghentian penuntutan dikesampingkani oleh Kejaksaan Agung dengan mengeluarkan deponering?

C.     PEMBAHASAN
C.1. Secara Hukum Jaksa Agung Tidak Punya Pilihan
Sebagaimana disampaikan oleh Plt Jaksa Agung dalam sebuah Harian Suara Merdeka edisi 30 Oktober 2010, bahwa alasan dari keputusan deponering terhadap kasus Bibit dan Chandra adalah “untuk melindungi kepentingan yang lebih luas, yakni dalam rangka mengamankan dan menyelamatkan pemberantasan korupsi di Indonesia”. Memang berdasarkan sudut pandang sosiologis alasan penerbitan keputusan deponering tersebut sangat masuk akal, karena secara de facto mayoritas dari masyarakat Indonesia menghendaki agar kasus tersebut ditutup dan tidak dilanjutkan sampai ke pengadilan. Pada sisi lain dengan diajukannya Bibit dan Chandra ke pengadilan, maka status keduanya akan berubah menjadi “terdakwa” padahal menurut ketentuan Pasal 32 Ayat (1) huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan bahwa pimpinan KPK akan diberhentikan jika berstatus sebagai terdakwa, hal ini tentunya akan mengganggu kinerja dari lembaga KPK dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya.
Berbeda dengan cara pandang berdasarkan pendekatan sosiologis, maka hukum akan memandang kasus Bibit dan Chandra berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana setiap peraturan perundang-undangan memiliki dimensi tertentu dalam mengatur tugas dan kewenangan institusi hukum. Kejaksaan Agung sebagai lembaga penegakan hukum kedudukannya diatur oleh Undang-Undang No. 16 tahun 2004, namun dalam kaitannya sebagai bagian dari fungsi criminal justice system Kejaksaan tunduk pada hukum acara yang berlaku (KUHAP).
Penerbitan keputusan deponering tidak berhubungan dengan persoalan ketersediaan bukti-bukti dan substansi tindak pidana yang sedang ditangani, sehingga alasan deponering bersifat extra yudisial, berbeda dengan SKPP yang merujuk pada ketersediaan bukti-bukti dan substansi tindak pidana berdasarkan Pasal 140 Ayat 2 huruf a. Deponering bukan bentuk dari kebijakan hukum acara pidana sehingga tidak bisa diuji oleh lembaga praperadilan. Walaupun deponering merupakan hak prerogatif penuh dari Jaksa Agung, namun dalam proses penerbitannya jaksa Agung harus terlebih dahulu meminta saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut yaitu lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, walaupun sifatnya tidak mengikat. Definisi dari “kepentingan umum” berdasarkan Ketentuan Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
Kembali kepada pertanyaan menarik menyangkut apakah deponering dan Putusan Praperadilan merupakan pilihan yang dapat dipilih oleh Jaksa Agung? Mari kita telaah dua lembaga hukum tersebut berdasarkan masing-masing ketentuan yang mengaturnya, Pasal 35 huruf c UU No 16 Tahun 2004 menyebutkan “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum” jika kita golongkan diantara tugas dan wewenang menurut pasal di atas, maka jelas deponering bukan bagian dari tugas Jaksa Agung melainkan bagian dari kewenangan (hak oportunitas) yang dimiliki oleh Jaksa Agung, karena sifat dari deponering sendiri tidaklah wajib. Sekarang mari kita bandingkan dengan ketentuan Pasal 82 Ayat (3) huruf b KUHAP yang menyebutkan bahwa “dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan”. Kata “wajib” tentunya tidak dapat ditafsirkan lain selain dari makna imperatif dan memaksa, walaupun KUHAP sendiri tidak menentukan bentuk sanksi yang tegas jika ketentuan itu dilanggar.
Beranjak dari penelaahan dua aturan di atas, apakah masih mungkin kita mengatakan bahwa antara “deponering” dan “melanjutkan penuntutan” adalah dua pilihan bagi Jaksa Agung? Dan apakah mungkin kewajiban hukum dapat di kesampingkan oleh kewenangan hukum (hak)? Sehingga setelah adanya Putusan Praperadilan sesungguhnya Jaksa Agung sudah tidak bisa memilih selain dari melaksanakan isi putusan karena itulah yang diwajibkan oleh undang-undang (ex: Pasal 82 Ayat (3) huruf b KUHAP). Tentunya juga jangan lupa bahwa dua produk hukum yang mengatur masing-masing lembaga tersebut kedudukannya setingkat yaitu sama-sama diatur dalam undang-undang, berbeda halnya dengan kewenangan Presiden dalam memberikan Grasi, Rehabilitasi, Amnesti dan Abolisi yang kedudukannya diatur oleh konstitusi, sehingga dalam kasus ini tidak mungkin Jaksa Agung untuk menggunakan asas lex superiori derogat legi inferiori maupun asas lex specialis derogat legi generalis untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 82 Ayat (3) huruf b KUHAP oleh ketentuan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan, karena dua sifat pengaturannya jelas sangat berbeda, dimana UU Kejaksaan mengatur deponering dalam bentuk “kewenangan” atau “hak” sedangkan KUHAP mengatur pelaksanaan Putusan Praperadilan dalam bentuk “kewajiban”.
Terlepas dari apakah perkara ini mengandung muatan politik ataupun rekayasa dalam penanganannya, karena penulis memang tidak ingin terjebak untuk membahas persoalan itu, namun secara hukum Kejaksaan Agung sebenarnya telah terlambat dalam mengeluarkan deponering terhadap kasus Bibit dan Chandra. Jika deponering itu di keluarkan sebelum adanya Putusan Praperadilan, maka penghentian perkara tersebut secara hukum akan sempurna karena pada saat itu pengelolaan perkara masih merupakan “hak” atau “kewenangan” dari Kejaksaan Agung, untuk melanjutkan perkaranya kepengadilan atau dihentikan dengan penerbitan SKPP atau dikesampingkan dengan deponering, namun setelah adanya Putusan Praperadilan yang menyatakan “penghentian penuntutan tidak sah” maka hak pengelolaan perkara itu berubah menjadi “kewajiban” yaitu Kejaksaan menjadi wajib untuk melanjutkan penuntutan ke pengadilan, demikian ketentuan yang diatur dalam Pasal 82 Ayat (3) huruf b KUHAP.

C.2. Konsekwensi Hukum dari Tidak Dilaksanakannya Putusan 
          Praperadilan
Pada saat Majelis Permusyawaratan Rakyat melakukan amandemen terhadap UUD 1945, maka konsep tentang “negara hukum” merupakan salah satu ide yang mengemuka pada saat itu, sehingga dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen tertulis “Negara Indonesia adalah negara hukum”. pengertian negara hukum (rechtstaat) identik dengan istilah ”supremasi hukum” (supremacy of law) di mana hukum dijunjung tinggi sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep dasar dari negara hukum menurut F.J. Stahl adalah adanya pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten), pemisahan kekuasaan (scheiding van machten), pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigeheid van bestuur) dan peradilan tata usaha negara (administrative rechtspraak).
Jika kita berbicara tentang “supremasi hukum”, maka kita akan dihadapkan pada suatu konsep dimana hukum akan menjadi panglima dalam segala aspek kehidupan, sedangkan proyeksi dari hukum itu sendiri salah satunya adalah putusan pengadilan sebagai manifestasi dari kekuasaan kehakiman. Jika proses hukum dikesampingkan oleh proses politik atau proses-proses yang lain, maka sebenarnya kita telah menghianati konsep negara hukum yang dianut oleh konstitusi.
Konsekwensi lain yang akan timbul dari tidak dilaksanakannya putusan praperadilan adalah munculnya preseden buruk bagi proses penegakan hukum pidana dimasa yang akan datang. Ketika pembangkangan terhadap putusan praperadilan tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran hukum, karena tidak ada sanksi apapun terhadap hal itu, maka akan menjadi persoalan yang cukup serius ketika sikap kehati-hatian dan ketelitian dalam melakukan tindakan pro justisia oleh institusi penyidikan dan penuntutan tidak lagi menjadi hal yang penting, bahkan dalam bentuk yang ekstrim mungkin saja dikemudian hari terjadi tindakan penahanan yang terus dilakukan walaupun penahanan itu telah dinanyatakan tidak sah oleh Hakim Praperadilan. Bukankah kondisi yang demikian merupakan bentuk penegakan hukum yang kontra-produktif dengan tujuan keadilan?
Berdasarkan Pasal 80 KUHAP bahwa “permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya” berdasarkan putusan Praperadilan yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Selatan bahwa Anggodo diakui sebagai “Legal Standing” atau pihak ketiga yang berkepentingan dalam perkara tersebut. Terlepas dari apa yang menjadi alasan Hakim Praperadilan dalam menentukan legal standing bagi Anggodo yang jelas Lembaga Praperadilan menganggap bahwa Anggodo sebagai pihak ketiga yang telah dirugikan dengan adanya penghentian penuntutan oleh Kejaksaan Agung. Jika dipandang dari sisi prosedural, maka tindakan Jaksa Agung telah mengabaikan prinsip keadilan hukum (legal justice) bagi pihak Pemohon Praperadilan dengan menggunakan pendekatan keadilan masyarakat (social justice) ---terlepas dari kenyataan apakah pemohonnya itu adalah Anggodo (seorang terdakwa korupsi) atau bukan” ---

D.    PENUTUP
Memang harus kita akui bahwa perjalanan kasus Bibit dan Chandra penuh dengan problematika, keanehan dan keganjilan, karena ketika masih pada tahap penyidikan di Kepolisian penanganan kasus tersebut sempat terseok-seok karena diserang oleh opini publik yang demikian hebat, namun pada akhirnya Kejaksaan tetap mengeluarkan formulir P-21 yang artinya berkas penyidikan dianggap lengkap. Setelah menerima pelimpahan perkara dari Kepolisian justru Kejaksaan menyatakan bahwa perkara tersebut tidak cukup bukti, sehingga tidak bisa dilanjutkan ke pengadilan dengan menerbitkan SKPP tertanggal 1 Desember 2009. Inilah yang kemudian memicu persoalan, karena SKPP menimbulkan hak untuk diajukannya praperadilan, padahal jika dari sejak awal Kejaksaan mengeluarkan deponering, maka akan tertutup segala kemungkinan timbulnya miss understanding terhadap penerapan dua aturan hukum.
Secara pribadi penulis sebenarnya ber-empati dengan proses perkara yang melibatkan Bibit dan Chandra, karena jika status Bibit dan Chandra dinaikan menjadi terdakwa, maka keduanya akan di non aktifkan dari pimpinan KPK, hal itu tentu akan menghambat kinerja KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang terjadi di negeri ini, namun karena kita berbicara mengenai prosedur hukum, maka kita tidak bisa mengungkapkan pendapat berdasarkan perasaan dan rasa empati, karena dasar aturan yang menjadi acuannya sudah jelas dan terang dalam undang-undang, tinggal apakah kita akan melaksanakannya atau mencari perlunakan-perlunakan dari sisi yang kosong sebagai alasan untuk pembenaran.
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas penulis mengambil beberapa intisari yang menjadi kesimpulan dalam penulisan ini antara lain:
1.  Berdasakan ketentuan undang-undang, deponering merupakan bentuk “kewenangan” sedangkan putusan praperadilan merupakan bentuk “kewajiban” yang diamanatkan oleh undang-undang, sehingga keliru jika kewenangan hukum bisa mengeliminasi kewajiban hukum.
2.   Tidak melaksanakan putusan praperadilan sebagai penjelmaan dari lembaga kekuasaan kehakiman merupakan bentuk pelanggaran konstitusi menyangkut konsep tentang “Negara Hukum” (ex: Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945)
3.     Pengingkaran terhadap putusan praperadilan dapat menimbulkan preseden buruk dan dampak psikologis bagi institusi penegakan hukum (penyidik dan penuntut umum) dimasa mendatang bahwa tidak melaksanakan perintah putusan praperadilan tidak menimbulkan sanksi yuridis apapun
4.   Dari sudut pandang pemohon praperadilan, bentuk pengingkaran terhadap putusan praperadilan juga merupakan bentuk pengabaian terhadap nilai-nilai keadilan hukum bagi pihak pemohon
Terlepas dari asumsi yuridis terhadap problematika yang terjadi pada kasus Bibit dan Chandra, keputusan Jaksa Agung dalam menerbitkan deponering harus kita hargai, karena penyelesaian persoalan yang terjadi di negara ini terkadang tidak bisa dilakukan dengan pendekatan hukum yang normal, sehingga perlu adanya anomali-anomali untuk menanggulangi persoalan yang juga bersifat abnormal.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008
2.      Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, Suatu Pencarian, Mahkamah Agung RI, 2005
3.      Oemar Seno Adji Prasaran pada Seminar Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta Seruling Masa
4.      Yahya harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2005
5.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)
6.      Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
7.      Harian Suara Merdeka edisi 30 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar