Mengenai Saya

Foto saya
Way Kanan, Lampung, Indonesia
Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu

Senin, 21 Mei 2012


PROBLEMATIKA PENANGANAN CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF ASAS TERITORIAL DI INDONESIA

D.Y. Witanto[1]



A.    PENDAHULUAN
Dinamika perubahan sosial (social changes) dalam masyarakat tidak dapat dibatasi seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang terus berkembang dengan sangat pesat, bahkan diluar kontrol dan kendali pranata hukum yang tersedia. Perkembangan itu telah mendesak pada perubahan kultur dan prilaku masyarakat kearah dekadensi psikososial. Perubahan prilaku pada sub sistem masyarakat juga berpengaruh pada prevalensi tingkat kejahatan dengan segmen-segmen tertentu yang tidak lagi dilakukan secara konvensional dan manual namun telah menggunakan perangkat-perangkat teknologi yang sulit untuk dilacak baik locus, tempus maupun aktor delictinya.
Berkembangnya kejahatan berbasis teknologi yang terjadi pada dimensi maya ternyata belum mampu ditanggulangi sepenuhnya melalui pendekatan hukum, khususnya hukum pidana (penal approach), maka untuk menyikapi kenyataan itu, negara-negara di dunia dan pakar-pakar teknologi mulai melakukan kajian untuk membentuk suatu kebijakan kriminal (criminal policy) dalam menanggulangi meluasnya kejahatan mayantara (cyber crime) yang tanpa disadari terus berkembang pesat, baik kualitas maupun kuantitasnya. Upaya pemberantasan kejahatan dunia maya tidak cukup hanya dengan melakukan reformasi system hukum, namun juga harus dibarengi dengan upaya membangun kerjasama antar negara dalam penanganan kejahatan yang berskala internasional.
Lembaga-lembaga profit maupun non profit yang menggunakan sistem teknologi informatika sebagai basis penyimpan dan pengolah data mulai merasa resah dengan merajalelanya tindakan-tindakan usil para hacker dan cracker, karena hampir pada setiap ruang cyber yang menggunakan maximum security system ternyata masih sanggup di jebol oleh para hacker dan cracker. Disisi lain meluasnya pornografi dan pornoaksi dengan menggunakan cyber system juga menjadi problem yang belum terpecahkan melalui kebijakan hukum nasional saat ini, karena meningkatnya kebutuhan manusia terhadap system informasi global dalam setiap aspek kehidupan telah mendorong tingginya penggunaan fasilitas internet dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan upaya-upaya pembatasan yang saat ini terus dilakukan juga belum menunjukan hasil yang significan.
Kesulitan yang terjadi dalam melakukan penganggulangan dan pemberatantasan kejahatan mayantara lebih disebabkan karena antara pelaku dan korban pada umumnya tidak berada pada suatu tempat yang sama, atau bahkan sama sekali tidak pernah bertemu di dunia yang nyata. sehingga sangat sulit untuk menetukan locus dan tempus delictinya dengan metode atau teori hukum pidana pada umumnya, sedangkan berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement) terhadap kejahatan mayantara yang berdimensi trans nasional para penegak hukum selalu terkendala dengan batas yuridiksi suatu negara. Dalam ketentuan perundang-undangan hukum pidana kewenangan penegakan hukum selalu dibatasi oleh batas yuridiksi (teritorialitas) yang tidak mungkin di tembus tanpa adanya perjanjian ekstradisi atau perjanjian khusus antar negara.
Seiring dengan berkembangnya zaman yang terus bergerak menuju era serba teknologi yang berbasis informatika dan telematika, maka aktifitas komunikasi manusia di seluruh belahan dunia sudah tidak mungkin lagi dibatasi oleh batas kewenangan territorial suatu negara. Dunia komunikasi dan transaksi bisnis yang berskala internasional sudah menjadi bagian kehidupan manusia dan terus berkembang dengan sangat cepat sebagai suatu kebutuhan yang tidak terelakan pada saat ini. Mewabahnya kejahatan dunia maya (cyber crime) baik dalam bentuk kejahatan informasi (information crime) seperti pornografi dan pornoaksi maupun kejahatan lain yang menggunakan fasilitas teknologi informatika seperti pembobolan sistem perbankan yang dilakukan antar negara sudah menjadi persoalan seluruh negara di dunia, sehingga untuk menanggulanginya tidak mungkin dilakukan secara manual dan parsial, namun harus menggunakan sistem teknologi dan melibatkan seluruh negara-negara yang ada di dunia.

B.  CYBER CRIME MENURUT PANDANGAN HUKUM PIDANA
Menurut Marc Ansel bahwa Ilmu Hukum Pidana Modern (modern criminal science) mengandung tiga komponen yang antara lain ”criminology” ”criminal law” dan ”penal policy” dikemukakan juga olehnya bahwa ”penal policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan[2]
Kejahatan ekstra teritorial (trans nasional) atau biasa disebut Tindak Pidana Internasional adalah kejahatan yang melibatkan yuridiksi dari dua atau beberapa negara sekaligus. Pertautan antara dua atau beberapa negara yang sama-sama punya kewenangan untuk melakukan penegakan hukum dapat terjadi karena terdapat beberapa titik singgung antara lain:
1.      Memiliki dampak pada lebih dari satu negara;
2.      Menyangkut lebih dari satu kewarganegaraan;
3.      Menggunakan sarana/prasarana yang melampaui batas-batas suatu negara;
Dalam hal suatu kejahatan mengandung salah satu dari 3 (tiga) titik singgung diatas, maka sudah termasuk dalam dimensi Hukum Pidana Internasional yang penanganannya tidak bisa lagi hanya melibatkan kompetensi dari satu negara,[3] namun harus melibatkan dua atau beberapa negara yang sama-sama berwenang untuk melakukan proses penengakan hukum berdasarkan ketentuan hukum dinegaranya. Kewenangan suatu negara menurut prinsip hukum internasional dibatasi oleh dua hal:
1.      kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu; dan
2.      kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain dimulai.[4]
Era globalisasi telah membawa semua tatanan kehidupan serba teknologi dan internet, hampir semua sisi kehidupan manusia bisa berhubungan dengan internet, baik siang maupun malam baik dalam kehidupan bisnis, pendidikan maupun hiburan, dari fenomena itulah kemudian sisi negatif dari penggunaan internet tidak bisa dihindari, pelaku-pelaku yang memiliki kemampuan akses kedunia internet dapat menyalahgunakan pemanfaatannya untuk sebuah tindakan jahat.
Menurut kepolisian Inggris Cyber Crime adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan/atau  kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi digital[5]. Indra Safitri memberikan pembatasan mengenai kejahatan dunia maya sebagai jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan di akses oleh pelanggan internet.[6] Sedangkan PBB dalam kongres ke X tahun 2000 menyatakan bahwa cyber crime atau computer-related crime mencakup keseluruhan bentuk-bentuk baru dari kejahatan yang ditujukan pada komputer, jaringan komputer dan para penggunanya, dan bentuk kejahatan-kejahatan tradisional yang sekarang dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer[7]
Menurut ketentuan Pasal 2 KUHP bahwa: ”ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu delik di Indonesia” ketentuan tersebut merupakan landasan berlakunya asas teritorial terhadap penegakan hukum pidana yang terjadi dalam wilayah Negara Indonesia, namun demikian terhadap Pasal 2 diatas terdapat pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 3 yang menyebutkan ”Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan delict didalam perahu atau pesawat udara Indonesia”, dan Pasal 4 yang menyebutkan pengecualian berdasarka jenis-jenis kejahatan tertentu.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memberikan beberapa fasilitas menyangkut penanganan tindak pidana mayantara (cyber crime) yang dilakukan oleh orang yang berada di luar wilayah yuridiksi Negara Indonesia, yaitu dengan melakukan kerjasama pada saat penangkapan dan penyidikan kasus tersebut. Hampir pada setiap tindak pidana yang melibatkan beberapa yuridiksi suatu negara memerlukan penangangan secara ekstra ordinary karena kewenangan dalam melakukan tindakan-tindakan pro justicia akan terbentur dengan batas kewenangan berlakunya sistem hukum pidana dalam suatu negara.
Beberapa perjanjian kerjasama yang dapat menjadi contoh dalam penanganan kejahatan mayantara (cyber crime) dalam dimensi internasional antara lain seperti yang pernah dilakukan oleh negara-negara di Eropa dengan ”Draft Convention on Cyber Crime” disitu diatur mengenai tata cara penanganan kejahatan mayantara yang melibatkan negara-negara peserta kerjasama tersebut. Sedangkan PBB sendiri telah beberapa kali melakukan kongres dalam rangka membahas penanggulangan kejahatan ini, dengan dikeluarkanya beberapa kebijakan dalam menyangkut pencegahan dan penanganan kejahatan mayantara.

C.  CYBER CRIME DALAM DIMENSI KEJAHATAN INTERNASIONAL
Dalam sistem penanggulangan kejahatan, setiap kejahatan harus di bedakan antara kejahatan biasa (ordinary crime) dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Metoda penanggulangan kejahatannya tidak bisa disamakan antara satu kejahatan dengan kejahatan yang lain tergantung dari jenis dan karakteristik kejahannya. Kejahatan yang bersifat ekstra ordinary tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan law inforcement pada umumnya, namun harus menggunakan sistem-sistem dan pranata yang khusus karena akan berhadapan dengan beberapa persoalan dalam upaya penanggulangannya  antara lain:
1.      persoalan teritorial
2.      persoalan pembuktian
3.      persoalan locus dan tempus delicti; dan
4.      persoalan dampak/akibat yang ditimbulkannya
Cyber Crime merupakan salah satu genus dari kelompok kejahatan ekstra ordinary karena mengandung beberapa variable seperti yang disebutkan diatas, sehingga metode penanggulangannya harus dilakukan secara khusus melibatkan para pemangku kepentingan (stake holder) dan ahli-ahli dibidang cyber, bahkan dalam kasus-kasus tertentu cyber crime harus melibatkan kebijakan politik antar bangsa untuk bisa menaggulanginya, baik dengan perjanjian ekstradisi maupun dengan perjanjian-perjanjian internasional lainnya dalam bentuk konvensi intenasional.
Nazura Abdul Manap membedakan tipe-tipe dari cyber crime menjadi 3 (tiga) yaitu:
·         Cyber crimes againts property, meliputi Theft (berupa theft of information, theft of propoery dan theft of services), Fraud/Cheating, Forgery, dan Mischeif.
·         Cyber crimes againts persons, meliputi pornography, cyberharassment, cyber stalking dan cyber-trespass. Cyber-trespass meliputi Spam E-mail, Hacking a Web Page dan Breaking into Personal Computer.
·         Cyber-terrorism.[8]
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 43 Ayat (8) disebutkan bahwa “dalam rangka mengungkap tindak pidana informasi elektronik dan transaksi elektronik penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti”ketentuan tersebut dapat memberikan fasilitas hukum kepada para penegak hukum (penyelidik dan penyidik) untuk melakukan kerjasama penyidikan lintas negara dengan penagak hukum di negara lain, namun hal tersebut tetap tidak dapat terlepas dari respon dan hubungan baik antar negara, artinya tanpa adanya hubungan ekstradisi dan kerjasama antar negara para penegak hukum tetap tidak bisa menerobos batas kewenangan suatu negara.
Ruang lingkup Cyber law antara lain sebagaimana diungkapkan oleh Jonathan Rosenoer dalam Cyber law, the law of internet sebagai berikut:
  1. Hak Cipta (copy right)
  2. Hak Merek (trade mark)
  3. Pencemaran nama baik (defamation)
  4. Fitnah, penistaan, penghinaan (hate speech)
  5. Serangan terhadap fasilitas komputer (hacking, viruses, illegal access)
  6. Pengaturan sumber daya internet seperti IP address domein name dll
  7. Kenyamanan individu (privacy)
  8. Prinsip kehati-hatian (duty care)
  9. Tindakan kriminal biasa yang menggunakan TI sebagai alat;
  10. Isu prosedural seperti yuridiksi, pembuktian, penyidikan dll
  11. Kontrak/transaksi elektronik dan tanda tangan digital;
  12. Pornografi termasuk pornografi anak;
  13. Pencurian melalui internet;
  14. Perlindungan konsumen;
  15. Pemanfaatan internet dalam aktivitas keseharian manusia seperti e-commerce, e-government, e-education dan lain sebagainya[9]
Dalam rangka upaya untuk menanggulangi cyber crime tersebut Resolusi Kongres PBB ke VIII/1990 mengenai Computer Related Crime mangajukan beberapa kebijakan antara lain sebagai berikut:
  1. Menghimbau negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut:
    1. Melakukan modernisasi hukum pidana materiil dan hukum acara pidana;
    2. Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer;
    3. Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka (sensitif) warga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer (untuk selanjutnya dalam kutipan ini disingkat dengan istilah Cyber Crime (CC)
    4. Melakukan upaya-upaya pelatihan (training) bagi para hakim pejabat dan aparat penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan Cyber Crime (CC)
    5. Memperluas rule of crime dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya melalui kurikulum informasi;
    6. Mengadopsi kebijakan perlindungan korban Cyber Crime (CC) sesuai dengan deklarasi PBB mengenai korban dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong melaporkan adanya Cyber crime (CC)
  2. Menghimbau negara anggota meningkatkan kegiatan nasional dalam upaya penanggulangan Cyber crime (CC)”
  3. Merekomendasikan kepada komite Pengendalian dan Pencegahan kejahatan (Committee on Crime Prevention and Control) PBB untuk:
    1. Menyebarluaskan pedoman dan standar untuk membantu negara anggota menghadapi Cyber crime (CC) ditingkat nasional, regional dan internasional;
    2. Mengembangkan penelitian dan analisis lebih lanjut guna menemukan cara-cara baru menghadapi problem Cyber crime (CC) dimasa yang akan datang;
    3. Mempertimbangkan Cyber Crime (CC) sewaktu meninjau pengimplementasian perjanjian ekstradisi dan bantuan kerjasama dibidang penanggulangan kejahatan [10]
Selanjutnya menyangkut penangangan kejahatan mayantara yang berdimensikan lintas negara (trans nasional) atau internasional maka negara-negara di Eropa telah melakukan kerjasama dengan membuat kesepakatan yang dikenal dengan ”Draft Convention on Cyber Crime berisi:
  1. Tiap pihak (negara) akan mengambil langkah-langkah legislatif dan pihak lain yang diperlukan untuk menetapkan yuridiksi terhadap setiap tindak pidana yang ditetapkan sesuai dengan Pasal 2 sampai Pasal 11 konvensi ini apabila tindak pidana itu dilakukan;
    1. Didalam wilayah teritorialnya;
    2. Diatas kapal yang mengibarkan bendera negara yang bersangkutan;
    3. Diatas pesawat yang terdaftar menurut hukum negara yang bersangkutan; atau
    4. Oleh seorang dari warga negaranya apabila tindak pidana itu dapat dipidana menurut hukum pidana ditempat tindak pidana itu dilakukan atau apabila tindak pidana itu dilakukan diluar yuridiksi teritorial setiap negara;
  2. Setiap negara berhak untuk tidak menerapakan atau hanya menerapkan aturan yuridiksi sebagaimana disebut dalam Ayat (1) b – Ayat (1) d pasal ini dalam kasus-kasus atau kondisi-kondisi tertentu.
  3. Tiap pihak (negara) akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menerapkan yuridiksi terhadap tindak pidana yang ditunjuk dalam Pasal 24 (1) konvensi ini (pasal tentang ekstradisi) dalam hal tersangka berada dalam wilayahnya dan negara itu tidak mengekstradisi tersangka itu kenegara lain (semata-mata berdasar alasan kewarganegaraan tersangka) setelah adanya permintaan ekstradisi.
  4. Konvensi ini tidak meniadakan yuridiksi kriminal yang dilaksanakan sesuai dengan hukum domestik (hukum negara yang bersangkutan).
  5. Apabila lebih dari 1 (satu) pihak (negara) menyatakan berhak atas yuridiksi tindak pidana dalam konvensi ini maka para pihak yang terlibat akan melakukan konsultasi untuk menetapkan yuridiksi yang paling tepat untuk penuntutan.[11]
Berdasarkan ketentuan 1 sub (a) diatas bahwa penanganan dilakukan berdasarkan asas teritorial atau yuridiksi teritorial yang berlaku, baik apabila pelaku dan korbannya berada diwilayah teritorialnya ataupun komputer yang diserang berada diwilayahnya tetapi sepelaku penyerangan terhadap keamanan komputer tidak berada diwilayahnya. Ketentuan ini merupakan perluasan dari asas teritorial yang berlaku pada sistem hukum pidana di masing-masing negara, sedangkan pada ketentuan 1 sub (b) diatas menyangkut menganai asas nasionalitas. Pada ketentuan ayat (2) menunjukan bahwa masing-masing negara berhak untuk mengajukan keberatan (reservasi) terhadap pemberlakuan pada ketentuan Ayat (1) sub b, c dan d, kecuali pada sub a yang harus diperlukan untuk menjamin negara yang menolak melakukan ekstradisi warga negaranya, tetap mempunyai kemampuan untuk melakukan investigasi dan proses menurut hukumnya sendiri.[12]
Tata cara penanganan diatas merupakan contoh yang pernah dilakukan oleh negara-negara di Eropa sehingga terhadap kejahatan mayantara yang ruang lingkupnya internasional dapat ditangani dan ditanggulangi berdasarkan ketentuan yang telah disepakati oleh negara-negara yang membuat kesepakatan tersebut, hal ini mengingat bahwa penanganan kejahatan (tindak pidana) pada setiap negara yang berdaulat memiliki kekuasaan yuridiksi masing-masing yang harus senantiasa dihormati oleh negara lain, sehingga tidak mudah untuk melakukan penerobosan kedalam yuridiksi negara lain tanpa adanya perjanjian antar negara.

D.    PENUTUP
Cyber crime menurut sifatnya adalah kejahatan yang sulit untuk dideteksi dengan pendekatan hukum pidana pada umumnya karena terjadi pada dunia maya yang perbuatannya sulit dibuktikan secara nyata, disamping itu kejahatan mayantara (cyber crime) kerap dilakukan oleh orang yang pandai dan ahli dibidang teknologi dan terkadang menembus batas teritorial suatu negara, seperti seseorang yang melakukan kejahatannya terhadap sistem komputer di Indonesia namun sipelaku tersebut berada di luar Indonesia.
Dalam keadaan demikian, maka perlu adanya penangan secara khusus yang dimulai dari reformasi kebijakan hukum pidana (penal policy) sampai kepada kebijakan politik dengan negara-negara lain untuk mengantisipasi dan menanggulangi kejahatan yang ruang lingkupnya internasional. Pemerintah saat ini sudah mulai melakukan reformasi hukum di bidang teknologi informasi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, sehingga secara substansial penyalahgunaan teknologi informasi telah mulai di kriminalisasi dalam bentuk yang lebih kongkrit.
Dampak yang dialami sekarang dengan meluasnya kejahatan mayantara telah memaksa adanya suatu sikap dan upaya dari pemerintah yang lebih serius dalam menanggulangi kejahatan mayantara dengan beberapa pendekatan sebagai berikut:
1.      Pemerintah Indonesia harus terus melakukan kerjasama dengan negara-negara lain didunia menyangkut pencegahan dan penanganan kejahatan mayantara yang melibatkan yuridiksi internasional
2.      Memperbaiki sistem hukum pidana di Indonesia terutama menyangkut asas teritorial dalam KUHP agar dapat lebih fleksibel dalam menjangkau kasus-kasus tindak pidana mayantara yang berskala internasional;
3.      Memberikan pendidikan khusus bagi para penegak hukum baik Polisi, Jaksa maupun Hakim dibidang kejahatan mayantara.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahib dkk. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama Bandung, 2005
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1986

-------------- Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia, dikutip dari http://andi-hamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan.html, Rabu 28 Okyober 2009


Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bangung, 2003
-------------- Bunga Rampai Kebijakan Hukum PidanaPerkembangan Penyusunan KUHP baru, Kencana Praneda Media Group, Jakarta, 2008
Engelbrecht, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT internusa Jakarta 1989
Indra Safitri, Makalah tentang: Tindak Pidana Dunia Cyber, Inseden Legal Jurnal Form Indonesian Capital & Invesment Market; 1999
Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems (London Rautladge & Kegan Paul 1965
Mas Wigrantoro Roes Setyadi, situs internet “Seri Pengenalan Cyber Law; Apa dan Bagaimana? Global Internet Policy Initiative (GIPI)
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT Alumni Bandung, 2003
Opeinheim-Lauterpacht, International Law, vol. 8, London, 1955
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Elektronika dan Trasnsaksi Elektronika


[1]       Penulis adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu
[2]       Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems (London Rautladge & Kegan Paul 1965), hlm: 4-5
[3]       Opeinheim, International Law, vol. 8, hlm: 451
[4]       Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT Alumni Bandung, hlm: 18
[5]       Abdul Wahib dkk. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama Bandung, hlm: 40
[6]       Indra Safitri, Makalah tentang: Tindak Pidana Dunia Cyber, Inseden Legal Jurnal Form Indonesian Capital & Invesment Market;
[7]       Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bangung, hlm: 259

[8]       Andi Hamzah, Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia, dikutip dari http://andi-hamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan.html, Rabu 28 Okyober 2009


[9]       Mas Wigrantoro Roes Setyadi, “Seri Pengenalan Cyber Law; Apa dan Bagaimana? Global Internet Policy Initiative (GIPI)
[10]     Barda Nawawi Arif, Loc.cit, hlm: 244
[11]  Ibid, hlm: 224
[12] Abdul Wahib dkk. Op.cit hlm: 76

PROBLEMATIKA SEPUTAR "KANIBALISME" PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
 (Suatu Kajian Normatif dan Empirik)

D.Y. Witanto[1]


A. PENDAHULUAN.
Istilah "kanibalisme[2]" memang tidak lazim digunakan dalam sebuah tulisan hukum terlebih menyangkut persoalan penerapan undang-undang, namun penulis sengaja memilih menggunakan istilah tersebut agar bisa memberikan kesan yang ekstrim bagi fenomena hukum yang terjadi selama ini dalam proses penerapan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, karena ternyata undang-undang tersebut bukan hanya bisa melindungi hak dan kepentingan anak, namun juga bisa memangsa dan membinasakan anak, hal ini bisa kita lihat dari fakta yang terjadi dilapangan, dimana sejak lahirnya UU Perlindungan Anak sampai dengan saat ini, puluhan bahkan ratusan anak telah dipidana oleh undang-undang tersebut. Suatu kenyataan yang sangat ironis mengingat judul undang-undang tersebut berbunyi "Perlindungan Anak" tapi kenyataannya malah menjadi media untuk memenjarakan anak. Berpijak dari realita tersebut, maka tidak ada istilah lain yang lebih pantas untuk menggambarkan keadaan itu selain dengan kata "kanibalisme".
Semangat tulisan ini dilatarbelakangi oleh buah pikiran Bapak Gatot Supramono (Hakim Tinggi PT Banjarmasin) dalam artikel Varia Peradilan edisi Nomor 313 Bulan Desember 2011 yang berjudul "Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Hubungannya Dengan UU Perlindungan Anak"[3] menurut penulis ide-ide progresif dalam tulisan tersebut perlu terus dikaji secara lebih mendalam menyangkut beberapa hal yang sering menjadi pertentangan batin dalam proses penegakan hukum yang melibatkan pelaku dan korban dari kalangan anak-anak, atau setidaknya tulisan ini dapat menyajikan gambaran yang lebih jelas menyangkut problematika seputar penerapan UU Perlindungan Anak yang dalam beberapa hal  sering tidak sejalan dengan tujuan lahirnya undang-undang tersebut.
Penulis sependapat dengan intisari tulisan Bapak Gatot Supramono bahwa UU Perlindungan Anak tidak mungkin diterapkan terhadap pelaku tindak pidana yang berasal dari kalangan anak-anak, karena kewajiban perlindungan yang dibebankan oleh undang-undang tentunya hanya tertuju kepada mereka (subjek hukum) yang telah dewasa, sehingga tidak mungkin seorang anak dibebankan kewajiban oleh undang-undang untuk melindungi sesama anak yang lain, sedangkan ia sendiri adalah orang yang masih dipandang belum cakap untuk melindungi kepentingannya sendiri, oleh karena itu tidak mungkin seorang anak harus dipidana karena telah melanggar kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan  perlindungan.
Idealnya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak cukup hanya diterapkan KUHP, walaupun melibatkan korban dari kalangan anak-anak, karena KUHP mengadung ancaman pidana yang lebih ringan dibandingkan UU Perlindungan Anak. Namun demikian kerumitan yang ada saat ini tidak sebatas sampai disitu, karena banyak perkara anak yang sudah terlanjur di ajukan ke pengadilan dengan dakwaan UU Perlindungan Anak, sedangkan menurut Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan dilarang menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau kurang jelas hukumnya. Berkaitan dengan hal itu, maka muncul beberapa pertanyaan antara lain: Apa yang dapat dilakukan oleh pengadilan terhadap anak yang didakwa melakukan tindak pidana perlindungan anak dan bagaimana seorang hakim dapat menggunakan diskresinya bagi persoalan tersebut jika unsur-unsur perbuatannya memang terbukti dan apakah mungkin penerapan UU Perlindungan Anak dapat di kesampingkan meskipun perbuatan materiilnya nyata-nyata terpenuhi?
Memang persoalannya cukup pelik, namun jika hakim berpijak pada bunyi irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" pada setiap kepala putusan, maka sesungguhnya seorang hakim masih memiliki alasan untuk menentukan setiap perkara dengan pendekatan yang lebih progresif, asalkan tetap memiliki landasan keadilan yang dapat dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan YME dan hukum itu sendiri.[4] Melakukan terobosan hukum terhadap ketentuan yang telah baku bagi sebagian kalangan memang akan dianggap sebagai anomali penegakan hukum, karena menurut faham kaum legisme substansi penegakan hukum itu tidak lain hanya sebagai simbol dari kepastian hukum semata (rechtzekerheid). Namun tidak begitu bagi aliran faham hukum progresif dimana penerobosan hukum bukanlah suatu hal yang tabu, karena jiwa penegakan hukum bukanlah yang bersifat tekstual, namun terkandung pada nilai keadilan yang dapat dirasakan oleh para justitiabel dan masyarakat.

B. BEBERAPA ALASAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK TIDAK DAPAT DITERAPKAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA DARI KALANGAN ANAK-ANAK.
1. Anak adalah pribadi yang belum mampu dibebani kewajiban untuk melakukan perlindungan.
Anak merupakan insan pribadi yang memiliki dimensi khusus dalam kehidupannya, dimana selain tumbuh kembangnya memerlukan bantuan orang tua, faktor lingkungan juga memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi kepribadian si anak ketika menyongsong pase kedewasaannya kelak. Anak adalah sosok yang akan memikul tanggung jawab di masa yang akan datang, sehingga atas kesadaran itu negara merasa perlu untuk campur tangan dalam melakukan perlindungan terhadap hak dan kepentingan anak demi kelangsungan masa depan bangsa yang lebih baik.
Pase usia yang dikatagorikan sebagai anak menurut pandangan Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak adalah sejak manusia itu masih dalam kandungan, usia balita, sampai ia menginjak remaja dengan batas usia 18 (delapan belas) tahun. Para pembentuk undang-undang mungkin memandang bahwa pada usia 18 tahun terjadi pase peralihan dalam pribadi manusia dari anak-anak menuju dewasa, walaupun secara sosiologis dan psikologis hal itu tidak selalu menjadi ukuran yang tepat karena banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat kedewasaan manusia, seperti kematangan intelektual dan sosial.
Menurut John Locke anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. Augustinus menyebutkan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa, Sobur mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasan. Sedangkan Haditono berpendapat bahwa anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.[5]
Anak merupakan analogi dari sosok manusia yang belum dewasa, karena ukuran kedewasaan salah satunya ditentukan oleh usia, selain oleh tindakan perkawinan dan kemadirian sosial. Memang pengertian pasal 1 angka 1 dalam UU Perlindungan Anak mengandung keganjilan karena hanya usia saja yang menjadi ukuran, sedangkan perkawinan tidak turut menjadi penentu, padahal Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak definisi anak ditentukan oleh usia dan tindakan perkawinan, sehingga timbul pertanyaan apakah pelanggaran terhadap seseorang yang usianya dibawah 18 tahun, namun telah atau pernah melakukan perkawinan tetap harus dinyatakan melanggar ketentuan perlindungan anak?
Kedewasaan menunjuk pada suatu pase dalam diri manusia, dimana kepribadian seseorang telah mencapai suatu tingkat kematangan. berdasarkan pada pengertian tersebut, maka secara a contratio anak dapat diartikan sebagai sebuah pase pada pertumbuhan manusia yang belum sampai pada tingkat kematangan  secara emosional dan sosial, sehingga mustahil jika orang yang belum matang pribadinya harus dibebankan kewajiban-kewajiban yang tidak mungkin mampu untuk dipikulnya. Menurut pasal 19 UU Perlindungan Anak, seorang anak memiliki beberapa kewajiban antara lain:
a)      Menghormati orang tua, wali dan guru.
b)      Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman.
c)      Mencintai tanah air, bangsa dan negara.
d)     Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
e)      Melaksanakan etika dan akhlak mulia (ditambah dengan kewajiban-kewajiban lain yang layak dibebankan kepada anak seperti belajar dan menuntut ilmu; red).
2.   Penerapan UU Perlindungan Anak Terhadap Seorang Anak Bertentangan dengan Tujuan Lahirnya Undang-Undang.
Sebagaimana disebutkan dalam konsideran UU Perlindungan Anak huruf d yang berbunyi: "bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi", maka jelas bahwa anak adalah pihak yang berhak mendapatkan perlindungan, sedangkan kewajiban perlindungan itu hanya ditujukan kepada mereka yang dipandang cakap oleh hukum  untuk bertindak dengan penuh tanggung. Hal itu bisa kita lihat juga dalam pasal 20 yang menyebutkan bahwa "Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak" rumusan pasal tersebut sesungguhnya telah menutup kemungkinan bahwa anak juga menjadi bagian yang ditunjuk sebagai pihak yang harus bertanggung jawab dalam tugas penyelenggaraan perlindungan.
Untuk menerjemahkan suatu aturan perundang-undangan tidak cukup hanya dengan memaknai rumusan dalam teks pasal demi pasal, namun perlu adanya pemahaman yang mendalam melalui pendekatan sosiologis, filosofis dan historis terhadap lahirnya undang-undang tersebut. Memang harus diakui bahwa pembentuk undang-undang telah lalai dalam mencantumkan klausul pembatas yang memberikan limitasi terhadap berlakunya aturan pidana dalam undang-undang tersebut, sehingga frase "setiap orang" dalam pasal-pasal ketentuan pidana dapat dikecualikan bagi subjek hukum yang berusia dibawah 18 tahun atau setidaknya bisa menambahkan kalimat dibelakang rumusan pasal 1 angka 16 UU Perlindungan Anak menjadi "setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang tidak termasuk dalam katagori sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 1 undang-undang ini" agar tidak menimbulkan multi tafsir dalam proses penegakan hukum dilapangan.
Sudah hampir sepuluh tahun sejak UU Perlindungan Anak diundangkan tidak pernah ada inisiatif dari pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan terhadap sesuatu yang krusial dalam ketentuan UU Perlindungan Anak, hal tersebut sangat berbeda dengan undang-undang yang lain, dimana dalam kurun waktu lima tahun saja bisa beberapa kali mengalami perubahan, padahal jika kita simak latar belakang lahirnya UU Perlindungan Anak tersebut, maka terlihat begitu sangat urgen dan penting atas keberadaannya bagi kelangsungan masa depan bangsa.
Setiap ketentuan perundang-undangan harus memiliki relevansi antara pasal yang satu dengan pasal yang lain, sehingga tidak boleh mengartikan suatu pasal hanya dengan membaca pasal itu secara parsial tanpa mengaitkan dengan pasal-pasal yang lain. Ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam Bab XII juga tidak bisa terlepas kaitannya dengan ketentuan pasal 20 yang mengatur tentang siapa saja yang mengemban tanggung jawab untuk menyelenggarakan perlindungan, sehingga akan terbentuk suatu pemahaman bahwa ketentuan pidana dalam pasal 77 sampai dengan pasal 90 itu hanya berlaku bagi mereka yang memikul tanggung jawab untuk melakukan perlindungan.
Jika UU Perlindungan Anak diterapkan juga terhadap anak yang melakukan tindak pidana, maka hal itu sesungguhnya akan menciderai makna dan cita-cita lahirnya undang-undang tersebut, karena tujuan dibentuknya UU Perlindungan Anak adalah untuk melindungi hak dan kepentingan anak, bukan menjadi media untuk memenjarakan anak seperti realita yang banyak terjadi saat ini. Karena berdasarkan pasal 59 jo pasal 64, anak yang sedang berhadapan dengan hukum justru berhak mendapatkan perlindungsn secara khusus.
Pembentuk undang-undang seharusnya mencantumkan secara jelas tentang siapa sebenarnya subjek hukum yang dapat dikenakan pelanggaran terhadap ketentuan pidana dalam UU Perlindungan Anak, sehingga tidak menimbulkan multi tafsir, yang pada akhirnya justru akan merugikan kepentingan anak. Para penegak hukum, baik polisi, jaksa dan hakim pada umumnya hanya melihat rumusan undang-undang secara tekstual, dimana ketika tidak ada pembatasan yang tegas menyangkut unsur "setiap orang" dalam rumusan delict selalu diasumsikan bahwa semua orang dapat dikenakan oleh undang-undang tersebut tidak terkecuali juga seorang anak, padahal hal tersebut tidak sesuai dengan jiwa dan kehendak yang terkandung dalam undang-undang itu sendiri.
3.   Ancaman Pidana Dalam UU Perlindungan Anak Tidak Sesuai untuk Diterapkan Terhadap Anak.
UU Perlindungan Anak mengandung ancaman pidana yang cukup berat, dari beberapa pasal yang ada, penulis akan mengambil contoh dua pasal yang menyangkut pelanggaran susila terhadap anak antara lain:
Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
 (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Kedua pasal tersebut mengandung ancaman pidana maksimum masing-masing selama 15 (lima belas) tahun dengan batas minimal pidana masing-masing selama 3 (tiga) tahun. Seperti halnya pidana penjara, pidana denda juga mengandung batas nilai minimum yaitu masing-masing sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). Disamping itu UU Perlindungan Anak juga mengandung sistem penjatuhan pidana pokok secara kumulatif, dimana antara penjara dan denda harus diterapkan secara bersamaan, karena kata yang digunakan untuk menghubungkan dua pidana pokok tersebut adalah kata “dan” sehingga hakim terikat untuk menerapkan kedua jenis pidana tersebut.
Berdasarkan bentuk dan jenis pidana yang terkandung dalam Pasal 81 dan 82 diatas, maka sesungguhnya tidak mungkin ancaman pidana tersebut dapat diterapkan bagi pelaku kejahatan dari kalangan anak-anak. Hal ini didasarkan pada dua alasan antara lain:
  1. Ancaman pidana tersebut mengandung batas minimal, baik pidana penjara maupun denda, sehingga hal itu akan bersinggungan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang mengatur bahwa pidana penjara bagi anak paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana umtuk orang dewasa. Persoalannya adalah apakah Pasal 26 ayat (1) tersebut dapat mereduksi batas minimal pidana dalam UU Perlindungan anak, meskipun UU Pengadilan anak menentukan jenis “tindakan” yang dapat diterapkan terhadap anak?
  2. Ancaman pidana denda dalam UU Perlindungan anak memiliki batas minimum yang cukup besar seperti dalam Pasal 81 dan 82 sebesar 60.000.000 (enam puluh juta rupiah), sehingga persoalannya adalah apakah ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU Pengadilan Anak juga dapat mereduksi batas minimum pidana denda? Karena sangat tidak rasional jika nilai denda sebesar itu diterapkan terhadap seorang anak.
Berdasarkan dua alasan diatas, maka sepatutnya kita menyimpulkan bahwa para pembentuk undang-undang tidak menghendaki ketentuan pidana tersebut diterapkan bagi seorang anak, karena bagaimana mungkin seorang anak harus dibebankan pidana denda sebesar itu, sedangkan ia sendiri belum memiliki penghasilan, sehingga penjatuhan pidana denda tersebut pada akhirnya akan menjadi hukuman bagi orang tuanya dan jika denda itu tidak mampu dibayar, maka akan menjadi tambahan penderitaan secara fisik bagi si anak karena pidana denda akan selalu disubstitusikan dengan pidana kurungan.
4.  Penerapan UU Perlindungan Anak Terhadap Beberapa Tindak Pidana Anak Akan   Meniadakan Makna Perlindungan.
Terdapat suatu kecenderungan, bahwa jika UU Perlindungan Anak juga diterapkan terhadap pelaku kejahatan dari kalangan anak-anak, maka pada akhirnya akan meniadakan makna perlindungan itu sendiri, kenapa demikian? Karena dalam beberapa tindak pidana seperti pada perkelahian antar anak-anak yang mengakibatkan luka pada kedua belah pihak atau perbuatan cabul/persetubuhan yang dilakukan secara suka sama suka oleh sesama anak, dimana antara pelaku dan korban keduanya memiliki peran yang seimbang, sehingga keduanya bisa dipandang sebagai pelaku. Lalu jika keduanya menjadi pelaku dan kemudian sama-sama dipidana. Lalu undang-undang tersebut sesungguhnya melindungi siapa? Dalam kasus persetubuhan antara sesama anak, dimana kedua belah pihak saling melaporkan satu dengan yang lain, maka meskipun pihak perempuan akan menjadi pihak yang lebih dirugikan, namun bukan berarti bahwa pihak laki-laki tidak berhak melaporkan perbuatan tersebut, karena UU Perlindungan Anak tidak membatasi korbannya harus berjenis kelamin perempuan.
Inilah sebenarnya problematika terbesar dalam proses impelentasi UU Perlindungan Anak, dimana makna perlindungan itu menjadi hilang karena telah salah kaprah dalam menerapkannya dan yang ada hanyalah proses “kanibalisme” dimana UU Perlindungan Anak digunakan untuk memangsa dan membinasakan anak yang seharusnya dilindungi oleh undang-undang tersebut.
Belum lagi tuntas dengan persoalan diatas, dalam praktik sering terjadi antara pelaku dan korban pelanggaran susila kemudian menikah. Dalam kondisi demikian, apakah si pelaku masih tetap layak untuk dipidana? Sedangkan ketentuan pidana dalam UU Perlindungan Anak tidak dirumuskan dalam bentuk delik aduan (klacht delict) sehingga tidak ada celah untuk menghentikan perkara yang telah mulai diproses dan apakah mungkin tindakan pernikahan itu bisa menjadi alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum (wederrechtelijk) pada perbuatan si pelaku.[6] Rasanya itu juga sulit untuk diterapkan karena tidak ada instrument dalam ketentuan hukum pidana yang bisa menjadikan tindakan perkawinan itu sebagai alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) yang dapat meniadakan pertanggungjawaban pidana (strafuitsluitingsgronden),[7] karena selain itu akan menimbulkan dampak negatif bagi nilai kesakralan sebuah perkawinan, disaat persetubuhan diluar nikah harus dilegitimasi menjadi suatu perbuatan yang tidak melanggar hukum oleh tindakan pernikahan dikemudian hari, selain itu akan memicu orang untuk dengan mudah melakukan persetubuhan diluar nikah dengan satu pertimbangan jika kemudian diproses secara hukum mereka lalu melakukan pernikahan untuk bisa menghindari sanksi pidana, padahal sesungguhnya dalam keadaan apapun persetubuhan diluar nikah tetap harus dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma agama dan norma kemasyarakan lainnya.

C. DISKRESI HAKIM DALAM UPAYA MEMECAHKAN PROBLEMATIKA PENERAPAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ANAK.
Ada beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan oleh hakim jika menghadapi persoalan sebagaimana diuraikan diatas, namun dari sekian kemungkinan itu masing-masing memiliki konsekuensi hukum. Beberapa kemungkinan tersebut antara lain:
1.      Metode pemecahan masalah melalui pendekatan unsur "setiap orang"
Seorang anak yang didakwa dengan UU Perlindungan Anak sesungguhnya mengandung persoalan pada essensi subjek hukumnya, walaupun bukan berarti bahwa subjek hukum yang diajukan itu keliru menyangkut orangnya (error in persona), karena rumusan tindak pidana dalam UU Perlindungan Anak termasuk dalam katagori delicta proria.[8] Yang menjadi persoalan disini adalah karena subjek hukum tersebut bukanlah kualitas yang dihehendaki oleh undang-undang seperti halnya beberapa delict dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang mensyaratkan subjek hukumnya harus seorang pegawai negeri. Sedangkan persoalan dalam penerapan UU Perlindungan Anak subjek hukum yang dihendaki adalah orang dewasa dan anak bukanlah orang yang dimaksud oleh unsur “setiap orang” dalam rumusan pasal UU Perlindungan Anak.
Ada dua kemungkinan jika kualitas subjek hukum yang diajukan mengandung kekeliruan antara lain dengan cara menyatakan unsur “setiap orang” tidak terpenuhi, sehingga terdakwa dinyatakan bebas dari dakwaan Penuntut Umum, namun hal itu mengandung sedikit pergesekan dengan pengertian putusan bebas menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa putusan bebas itu dijatuhkan jika kesalahan terdakwa atas “perbuatan” yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sedangkan unsur “setiap orang” dalam rumusan pasal bukanlah bagian dari unsur perbuatan, sehingga tidak terbuktinya unsur “setiap orang” sulit untuk disimpulkan sebagai alasan yang bisa membebaskan terdakwa, hal ini pernah terjadi pada perkara pembunuhan Udin wartawan bernas, dimana terdakwa Iwik diputus bebas dengan alasan tidak terbukti unsur “barangsiapa” yang sempat menjadi kontroversi.
Kemungkinan lain bahwa kekeliruan dalam unsur “setiap orang” itu bisa diakomodir melalui ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, diamana hakim dapat menyatakan bahwa dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima. Menurut M. Yahya Harahap ada beberapa keadaan yang dapat dipandang bahwa dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima antara lain karena:
a.       Tindak pidana yang didakwakan sedang bergantung pemeriksaannya
b.      Orang yang diajukan sebagai terdakwa keliru
c.       Sistematika dakwaan keliru
d.      Bentuk dakwaan yang diajukan keliru[9]
Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah hakim tetap berwenang untuk menentukan dakwaan tidak dapat diterima dengan alasan adanya kekeliruan dalam unsur “setiap orang”, meskipun tanpa adanya eksepsi dari terdakwa atau penasehat hukum terdakwa? dengan berpegang teguh pada prinsip bahwa prosedur penyelesaian perkara pidana harus dilakukan secara tepat dan sempurna, maka meskipun tidak ada eksepsi dari terdakwa/penasehat hukum seyogyanya hakim tetap berwenang untuk menyatakan suatu dakwaan tidak dapat diterima untuk menghindari pelanggaran HAM bagi orang yang diajukan kepersidangan dengan dakwaan yang tidak cermat.
Menyangkut amar putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima bisa kita temukan dalam Putusan Peninjauan Kembali MA-RI Nomor: 13 PK/Pid/2011. Majelis Hakim PK menyatakan bahwa dakwaan Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat diterima, dengan alasan Penuntut Umum tidak cermat dalam membuat surat dakwaan yang tidak mempergunakan Undang-Undang Pers yang sifatnya khusus.[10] Putusan PK tersebut bisa menjadi dasar bahwa kekeliruan dalam menerapkan undang-undang dapat menjadi alasan suatu dakwaan tidak dapat diterima. Kekeliruan dalam menerapkan UU Perlindungan Anak terhadap seorang anak sesungguhnya mengandung persoalan yang hampir mirip, hanya perbedaannya bahwa disini Penuntut Umum telah tidak cermat dalam menggunakan undang-undang yang seharusnya hanya diberlakukan terhadap orang dewasa.
2.      Metode pemecahan masalah dengan tetap memberlakukan KUHP.
Opsi pemecahan kedua adalah dengan cara mengesampingkan UU Perlidungan Anak dan tetap menerapkan KUHP meskipun KUHP tidak turut didakwakan, hal ini dilatarbelakangi oleh alasan bahwa rumusan delict dalam UU Perlindungan Anak mengandung kemiripan dengan delict-delict dalam KUHP atau setidaknya masih dalam rumpun yang sama, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa KUHP tetap diterapkan meskipun dakwaan penuntut umum tidak memuat ketentuan KUHP.
Metode pemecahan ini tentunya akan mengandung resiko terhadap nilai kepastian hukum (rechtzekerheid), dimana hakim terkesan memutus perkara secara semena-mena dengan menentukan kesalahan terdakwa oleh pasal yang tidak didakwakan. Dasar logika yang dapat digunakan dalam menerapkan KUHP semata-mata karena ancaman pidana dalam KUHP lebih ringan dibandingkan ancaman pidana dalam UU Perlindungan Anak, sehingga hakim dapat menentukan ukuran pidana yang lebih adil dan manusiawi bagi si anak, jika hakim tetap memilih penjatuhan pidana ketimbang “tindakan” bagi si anak.
3.      Metode pemecahan masalah dengan cara menerobos batas minimal ancaman.
Opsi pemecahan lain adalah dengan cara menentukan ukuran pidana (strafmaat) tanpa memperhatikan batas minimal pidana yang tercantum dalam UU Perlindungan Anak, artinya hakim menerobos batas minimal tersebut seakan-akan tidak pernah ada pembatasan minimal. Memang dalam metode penerobosan batas minimal ini hakim akan terlihat lebih humanis, namun sesungguhnya dengan tetap menerapkan UU Perlindungan Anak, hakim telah melakukan kanibalisme penegakan hukum, karena undang-undang yang dibentuk untuk tujuan melindungi anak ternyata diterapkan untuk menghukum si anak.
Tindakan hakim dalam melakukan penerobosan batas minimal pidana dapat menjadi solusi yang efektif bagi jenis pelanggaran kesusilaan yang antara korban dan pelaku kemudian melakukan pernikahan secara sah, sehingga hukum tidak menjelma sebagai sarana memuaskan hasrat untuk memenjarakan orang, namun dapat menjadi media untuk mendorong para pihak (pelaku dan korban) untuk saling memafkan dan menyadari akan kekeliruannya. Penanggulangan kejahatan melalui metode penal tidak selalu menjadi jalan yang terbaik bagi upaya pemulihan prilaku yang menyimpang, karena sistem pembinaan di lembaga pemasyarakatan sendiri sampai dengan saat ini belum terbukti memberikan hasil yang optimal dalam membentuk para warga binaan menjadi pribadi yang lebih baik.

D. PENUTUP.
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1.      UU Perlindungan Anak merupakan suatu bentuk lex spesialis dari KUHP yang seharusnya hanya diterapkan kepada pelaku kejahatan dari kalangan orang dewasa (diatas usia 18 tahun)
2.      Kewajiban untuk menyenggarakan perlindungan bagi anak merupakan kewajiban yang dibebankan oleh undang-undang kepada mereka yang telah dewasa dan tidak dapat dibebankan kepada seorang anak. Berdasarkan hal tersebut mustahil seorang anak dapat dinyatakan melanggar kewajiban perlindungan.
3.      Penerapan UU Perlindungan Anak terhadap pelaku kejahatan dari kalangan anak-anak merupakan suatu tindakan “kanibalisme” dalam penegakan hukum, karena undang-undang yang dibuat untuk tujuan melindungi anak justru digunakan sebagai sarana untuk mempidana anak.
4.      Dalam hal seorang anak sudah terlanjur di hadapkan kepengadilan dengan dakwaan pelanggaran UU Perlindungan Anak, maka pengadilan dapat mengambil beberapa opsi sebagai terobosan hukum yang dipandang mampu melindungi kepentingan hukum bagi si anak.
Segala pemikiran dan hasil analisis dalam tulisan ini pada umumnya masih memerlukan kajian akademik yang lebih mendalam, sehingga suatu saat para penegak hukum dapat mengungkap maksud dan tujuan dibentuknya suatu aturan perundang-undangan sehingga proses penegakan hukum tidak kehilangan jati diri yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, edisi revisi 2008 cetakan III, Rineka Cipta, Jakarta, 2008
Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Prilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, Citra Aditya Bakti Bandung
Blog Dunia Psikologi http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/19/pengertian-anak-tinjauan-secara-kronologis-dan-psikologis/
Gatot Supramono, Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Hubungannya Dengan UU Perlindungan Anak, Varia Peradilan, Majalah Hukum tahun XXVII, Nomor 313 Desember 2011
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Departemen Pendidikan Nasional.
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Pmenerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta cetakan kelima, 2003
PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bandung,
Varia Peradilan Majalah Hukum edisi tahun XXVII Nomor 313 Desember 2011,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman


[1]   Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu
[2]   Istilah kanibalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Departemen Pendidikan Nasional, hlm: 632. Adalah manusia yang memakan manusia atau bisa juga diartikan sebagai pembunuhan yang sangat kejam. Penggunaan kata kanibalisme dalam tulisan ini sekedar untuk menggambarkan suatu kekejaman dalam proses penegakan hukum dimana seorang anak dipenjarakan oleh undang-undang yang seharusnya melindunginya.
[3]   Gatot Supramono, Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Hubungannya Dengan UU Perlindungan Anak, Varia Peradilan, Majalah Hukum tahun XXVII, Nomor 313 Desember 2011, hlm: 31
[4]   Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Prilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, Citra Aditya Bakti Bandung, hlm: 51
[5]   Blog Dunia Psikologi http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/19/pengertian-anak-tinjauan-secara-kronologis-dan-psikologis/
[6]   Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, edisi revisi 2008 cetakan III, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm: 102
[7]   PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bandung, 1997, hlm: 386
[8]   Ibid, hlm: 144
[9]   M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Pmenerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta cetakan kelima, 2003, hlm: 127
[10] Varia Peradilan Majalah Hukum edisi tahun XXVII Nomor 313 Desember 2011, hlm: 131 dan 133.