PROBLEMATIKA
PENANGANAN CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF
ASAS TERITORIAL DI INDONESIA
D.Y. Witanto[1]
A. PENDAHULUAN
Dinamika
perubahan sosial (social changes) dalam
masyarakat tidak dapat dibatasi seiring dengan perkembangan teknologi dan
informasi yang terus berkembang dengan sangat pesat, bahkan diluar kontrol dan
kendali pranata hukum yang tersedia. Perkembangan itu telah mendesak pada perubahan
kultur dan prilaku masyarakat kearah dekadensi
psikososial. Perubahan prilaku pada sub
sistem masyarakat juga berpengaruh pada prevalensi
tingkat kejahatan dengan segmen-segmen tertentu
yang tidak lagi dilakukan secara konvensional
dan manual namun telah menggunakan
perangkat-perangkat teknologi yang sulit untuk dilacak baik locus, tempus maupun aktor
delictinya.
Berkembangnya
kejahatan berbasis teknologi yang terjadi pada dimensi maya ternyata belum mampu
ditanggulangi sepenuhnya melalui pendekatan hukum, khususnya hukum pidana (penal approach), maka untuk menyikapi
kenyataan itu, negara-negara di dunia dan pakar-pakar teknologi mulai melakukan
kajian untuk membentuk suatu kebijakan kriminal (criminal policy) dalam menanggulangi meluasnya kejahatan mayantara
(cyber crime) yang tanpa disadari terus
berkembang pesat, baik kualitas maupun kuantitasnya. Upaya pemberantasan
kejahatan dunia maya tidak cukup hanya dengan melakukan reformasi system hukum,
namun juga harus dibarengi dengan upaya membangun kerjasama antar negara dalam
penanganan kejahatan yang berskala internasional.
Lembaga-lembaga
profit maupun non profit yang menggunakan sistem teknologi informatika sebagai
basis penyimpan dan pengolah data mulai merasa resah dengan merajalelanya tindakan-tindakan
usil para hacker dan cracker, karena hampir pada setiap ruang
cyber yang menggunakan maximum security system ternyata masih
sanggup di jebol oleh para hacker dan
cracker. Disisi lain meluasnya pornografi
dan pornoaksi dengan menggunakan cyber
system juga menjadi problem yang belum terpecahkan melalui kebijakan hukum
nasional saat ini, karena meningkatnya kebutuhan manusia terhadap system
informasi global dalam setiap aspek kehidupan telah mendorong tingginya
penggunaan fasilitas internet dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan upaya-upaya
pembatasan yang saat ini terus dilakukan juga belum menunjukan hasil yang significan.
Kesulitan
yang terjadi dalam melakukan penganggulangan dan pemberatantasan kejahatan
mayantara lebih disebabkan karena antara pelaku dan korban pada umumnya tidak
berada pada suatu tempat yang sama, atau bahkan sama sekali tidak pernah
bertemu di dunia yang nyata. sehingga sangat sulit untuk menetukan locus dan tempus delictinya dengan
metode atau teori hukum pidana pada umumnya, sedangkan berkaitan dengan
penegakan hukum (law enforcement) terhadap
kejahatan mayantara yang berdimensi trans nasional para penegak hukum selalu
terkendala dengan batas yuridiksi suatu negara. Dalam ketentuan perundang-undangan
hukum pidana kewenangan penegakan hukum selalu dibatasi oleh batas yuridiksi (teritorialitas) yang tidak mungkin di
tembus tanpa adanya perjanjian ekstradisi
atau perjanjian khusus antar negara.
Seiring
dengan berkembangnya zaman yang terus bergerak menuju era serba teknologi yang
berbasis informatika dan telematika, maka aktifitas komunikasi manusia di
seluruh belahan dunia sudah tidak mungkin lagi dibatasi oleh batas kewenangan territorial
suatu negara. Dunia komunikasi dan transaksi bisnis yang berskala internasional
sudah menjadi bagian kehidupan manusia dan terus berkembang dengan sangat cepat
sebagai suatu kebutuhan yang tidak terelakan pada saat ini. Mewabahnya
kejahatan dunia maya (cyber crime)
baik dalam bentuk kejahatan informasi (information
crime) seperti pornografi dan pornoaksi maupun kejahatan lain yang
menggunakan fasilitas teknologi informatika seperti pembobolan sistem perbankan
yang dilakukan antar negara sudah menjadi persoalan seluruh negara di dunia,
sehingga untuk menanggulanginya tidak mungkin dilakukan secara manual dan parsial,
namun harus menggunakan sistem teknologi dan melibatkan seluruh negara-negara
yang ada di dunia.
B. CYBER CRIME MENURUT PANDANGAN HUKUM PIDANA
Menurut Marc Ansel bahwa Ilmu Hukum Pidana Modern (modern criminal science) mengandung tiga komponen yang antara lain
”criminology” ”criminal law” dan ”penal
policy” dikemukakan juga olehnya bahwa ”penal
policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai
tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang,
tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan[2]
Kejahatan ekstra teritorial (trans nasional) atau biasa disebut
Tindak Pidana Internasional adalah kejahatan yang melibatkan yuridiksi dari dua
atau beberapa negara sekaligus. Pertautan antara dua atau beberapa negara yang
sama-sama punya kewenangan untuk melakukan penegakan hukum dapat terjadi karena terdapat beberapa titik
singgung antara lain:
1.
Memiliki
dampak pada lebih dari satu negara;
2. Menyangkut
lebih dari satu kewarganegaraan;
3.
Menggunakan sarana/prasarana yang
melampaui batas-batas suatu negara;
Dalam hal suatu kejahatan mengandung
salah satu dari 3 (tiga) titik singgung diatas, maka sudah termasuk dalam
dimensi Hukum Pidana Internasional yang penanganannya tidak bisa lagi hanya
melibatkan kompetensi dari satu negara,[3]
namun harus melibatkan dua atau beberapa negara yang sama-sama berwenang untuk
melakukan proses penengakan hukum berdasarkan ketentuan hukum dinegaranya.
Kewenangan suatu negara menurut prinsip hukum internasional dibatasi oleh dua
hal:
1. kekuasaan itu terbatas pada batas
wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu; dan
2.
kekuasaan
itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain dimulai.[4]
Era globalisasi telah membawa semua
tatanan kehidupan serba teknologi dan internet, hampir semua sisi kehidupan
manusia bisa berhubungan dengan internet, baik siang maupun malam baik dalam
kehidupan bisnis, pendidikan maupun hiburan, dari fenomena itulah kemudian sisi
negatif dari penggunaan internet tidak bisa dihindari, pelaku-pelaku yang
memiliki kemampuan akses kedunia internet dapat menyalahgunakan pemanfaatannya
untuk sebuah tindakan jahat.
Menurut kepolisian Inggris Cyber
Crime adalah segala macam penggunaan
jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan/atau kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan
kemudahan teknologi digital[5].
Indra Safitri memberikan pembatasan
mengenai kejahatan dunia maya sebagai jenis
kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa
batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi
yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari
sebuah informasi yang disampaikan dan di akses oleh pelanggan internet.[6]
Sedangkan PBB dalam kongres ke X tahun
2000 menyatakan bahwa cyber crime
atau computer-related crime mencakup keseluruhan bentuk-bentuk baru dari
kejahatan yang ditujukan pada komputer, jaringan komputer dan para penggunanya,
dan bentuk kejahatan-kejahatan tradisional yang sekarang dilakukan dengan
menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer[7]
Menurut ketentuan Pasal 2 KUHP bahwa: ”ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu delik di
Indonesia” ketentuan tersebut merupakan landasan berlakunya asas teritorial terhadap penegakan hukum
pidana yang terjadi dalam wilayah Negara Indonesia, namun demikian terhadap
Pasal 2 diatas terdapat pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 3 yang
menyebutkan ”Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah
Indonesia melakukan delict didalam perahu atau pesawat udara Indonesia”, dan
Pasal 4 yang menyebutkan pengecualian berdasarka jenis-jenis kejahatan
tertentu.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memberikan beberapa fasilitas
menyangkut penanganan tindak pidana mayantara (cyber crime) yang dilakukan oleh orang yang berada di luar wilayah yuridiksi
Negara Indonesia, yaitu dengan melakukan kerjasama pada saat penangkapan dan penyidikan
kasus tersebut. Hampir pada setiap tindak pidana yang melibatkan beberapa
yuridiksi suatu negara memerlukan penangangan secara ekstra ordinary karena kewenangan dalam melakukan tindakan-tindakan
pro justicia akan terbentur dengan
batas kewenangan berlakunya sistem hukum pidana dalam suatu negara.
Beberapa perjanjian kerjasama yang dapat
menjadi contoh dalam penanganan kejahatan mayantara (cyber crime) dalam dimensi internasional antara lain seperti yang
pernah dilakukan oleh negara-negara di Eropa dengan ”Draft Convention on Cyber Crime” disitu diatur mengenai tata cara
penanganan kejahatan mayantara yang melibatkan negara-negara peserta kerjasama
tersebut. Sedangkan PBB sendiri telah beberapa kali melakukan kongres dalam
rangka membahas penanggulangan kejahatan ini, dengan dikeluarkanya beberapa
kebijakan dalam menyangkut pencegahan dan penanganan kejahatan mayantara.
C. CYBER
CRIME DALAM DIMENSI KEJAHATAN INTERNASIONAL
Dalam sistem penanggulangan kejahatan,
setiap kejahatan harus di bedakan antara kejahatan biasa (ordinary crime) dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Metoda penanggulangan kejahatannya tidak bisa disamakan antara satu
kejahatan dengan kejahatan yang lain tergantung dari jenis dan karakteristik
kejahannya. Kejahatan yang bersifat ekstra
ordinary tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan law inforcement pada umumnya, namun harus menggunakan sistem-sistem
dan pranata yang khusus karena akan berhadapan dengan beberapa persoalan dalam upaya
penanggulangannya antara lain:
1.
persoalan
teritorial
2.
persoalan
pembuktian
3.
persoalan
locus dan tempus delicti; dan
4.
persoalan
dampak/akibat yang ditimbulkannya
Cyber
Crime merupakan salah
satu genus dari kelompok kejahatan ekstra ordinary karena mengandung
beberapa variable seperti yang disebutkan
diatas, sehingga metode penanggulangannya harus dilakukan secara khusus
melibatkan para pemangku kepentingan (stake
holder) dan ahli-ahli dibidang cyber,
bahkan dalam kasus-kasus tertentu cyber
crime harus melibatkan kebijakan politik antar bangsa untuk bisa menaggulanginya,
baik dengan perjanjian ekstradisi maupun dengan perjanjian-perjanjian internasional
lainnya dalam bentuk konvensi intenasional.
Nazura Abdul Manap membedakan tipe-tipe
dari cyber crime menjadi 3 (tiga)
yaitu:
·
Cyber crimes
againts property, meliputi Theft (berupa theft of information, theft of
propoery dan theft of services), Fraud/Cheating, Forgery, dan Mischeif.
·
Cyber crimes
againts persons, meliputi pornography, cyberharassment, cyber stalking dan
cyber-trespass. Cyber-trespass meliputi Spam E-mail, Hacking a Web Page dan
Breaking into Personal Computer.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 43 Ayat (8) disebutkan bahwa “dalam rangka mengungkap tindak pidana informasi
elektronik dan transaksi elektronik penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik
negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti”ketentuan tersebut dapat
memberikan fasilitas hukum kepada para penegak hukum (penyelidik dan penyidik) untuk
melakukan kerjasama penyidikan lintas negara dengan penagak hukum di negara
lain, namun hal tersebut tetap tidak dapat terlepas dari respon dan hubungan
baik antar negara, artinya tanpa adanya hubungan ekstradisi dan kerjasama antar
negara para penegak hukum tetap tidak bisa menerobos batas kewenangan suatu
negara.
Ruang lingkup Cyber law antara lain sebagaimana diungkapkan oleh Jonathan Rosenoer dalam Cyber law, the law of internet sebagai
berikut:
- Hak Cipta (copy right)
- Hak Merek (trade mark)
- Pencemaran nama baik (defamation)
- Fitnah, penistaan, penghinaan (hate speech)
- Serangan terhadap fasilitas komputer (hacking, viruses, illegal access)
- Pengaturan sumber daya internet seperti IP address domein name dll
- Kenyamanan individu (privacy)
- Prinsip kehati-hatian (duty care)
- Tindakan kriminal biasa yang menggunakan TI sebagai alat;
- Isu prosedural seperti yuridiksi, pembuktian, penyidikan dll
- Kontrak/transaksi elektronik dan tanda tangan
digital;
- Pornografi termasuk pornografi anak;
- Pencurian melalui internet;
- Perlindungan konsumen;
- Pemanfaatan internet dalam aktivitas
keseharian manusia seperti e-commerce,
e-government, e-education dan lain sebagainya[9]
Dalam rangka upaya untuk menanggulangi cyber crime tersebut Resolusi Kongres
PBB ke VIII/1990 mengenai Computer
Related Crime mangajukan beberapa kebijakan antara lain sebagai berikut:
- Menghimbau negara anggota untuk
mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang
lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut:
- Melakukan modernisasi hukum pidana
materiil dan hukum acara pidana;
- Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan
dan pengamanan komputer;
- Melakukan langkah-langkah untuk
membuat peka (sensitif) warga
masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya
pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer (untuk selanjutnya
dalam kutipan ini disingkat dengan istilah Cyber Crime (CC)
- Melakukan upaya-upaya pelatihan
(training) bagi para hakim pejabat dan aparat penegak hukum mengenai
kejahatan ekonomi dan Cyber Crime
(CC)
- Memperluas rule of crime dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya
melalui kurikulum informasi;
- Mengadopsi kebijakan perlindungan
korban Cyber Crime (CC) sesuai
dengan deklarasi PBB mengenai korban dan mengambil langkah-langkah untuk
mendorong melaporkan adanya Cyber
crime (CC)
- Menghimbau negara anggota
meningkatkan kegiatan nasional dalam upaya penanggulangan Cyber crime (CC)”
- Merekomendasikan kepada komite
Pengendalian dan Pencegahan kejahatan (Committee
on Crime Prevention and Control) PBB untuk:
- Menyebarluaskan pedoman dan standar
untuk membantu negara anggota menghadapi Cyber crime (CC) ditingkat nasional, regional dan
internasional;
- Mengembangkan penelitian dan
analisis lebih lanjut guna menemukan cara-cara baru menghadapi problem Cyber crime (CC) dimasa yang akan
datang;
- Mempertimbangkan Cyber Crime (CC) sewaktu meninjau
pengimplementasian perjanjian ekstradisi dan bantuan kerjasama dibidang
penanggulangan kejahatan [10]
Selanjutnya menyangkut penangangan
kejahatan mayantara yang berdimensikan lintas negara (trans nasional) atau
internasional maka negara-negara di Eropa telah melakukan kerjasama dengan
membuat kesepakatan yang dikenal dengan ”Draft
Convention on Cyber Crime berisi:
- Tiap pihak (negara) akan mengambil
langkah-langkah legislatif dan pihak lain yang diperlukan untuk menetapkan
yuridiksi terhadap setiap tindak pidana yang ditetapkan sesuai dengan
Pasal 2 sampai Pasal 11 konvensi ini apabila tindak pidana itu dilakukan;
- Didalam wilayah teritorialnya;
- Diatas kapal yang mengibarkan bendera
negara yang bersangkutan;
- Diatas pesawat yang terdaftar
menurut hukum negara yang bersangkutan; atau
- Oleh seorang dari warga negaranya
apabila tindak pidana itu dapat dipidana menurut hukum pidana ditempat
tindak pidana itu dilakukan atau apabila tindak pidana itu dilakukan
diluar yuridiksi teritorial setiap negara;
- Setiap negara berhak untuk tidak
menerapakan atau hanya menerapkan aturan yuridiksi sebagaimana disebut
dalam Ayat (1) b – Ayat (1) d pasal ini dalam kasus-kasus atau
kondisi-kondisi tertentu.
- Tiap pihak (negara) akan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk menerapkan yuridiksi terhadap tindak
pidana yang ditunjuk dalam Pasal 24 (1) konvensi ini (pasal tentang ekstradisi)
dalam hal tersangka berada dalam wilayahnya dan negara itu tidak
mengekstradisi tersangka itu kenegara lain (semata-mata berdasar alasan
kewarganegaraan tersangka) setelah adanya permintaan ekstradisi.
- Konvensi ini tidak meniadakan
yuridiksi kriminal yang dilaksanakan sesuai dengan hukum domestik (hukum
negara yang bersangkutan).
- Apabila lebih dari 1 (satu) pihak
(negara) menyatakan berhak atas yuridiksi tindak pidana dalam konvensi ini
maka para pihak yang terlibat akan melakukan konsultasi untuk menetapkan yuridiksi
yang paling tepat untuk penuntutan.[11]
Berdasarkan ketentuan 1 sub (a) diatas
bahwa penanganan dilakukan berdasarkan asas teritorial atau yuridiksi
teritorial yang berlaku, baik apabila pelaku dan korbannya berada diwilayah
teritorialnya ataupun komputer yang diserang berada diwilayahnya tetapi
sepelaku penyerangan terhadap keamanan komputer tidak berada diwilayahnya. Ketentuan
ini merupakan perluasan dari asas teritorial yang berlaku pada sistem hukum
pidana di masing-masing negara, sedangkan pada ketentuan 1 sub (b) diatas
menyangkut menganai asas nasionalitas. Pada ketentuan ayat (2) menunjukan bahwa
masing-masing negara berhak untuk mengajukan keberatan (reservasi) terhadap pemberlakuan pada ketentuan Ayat (1) sub b, c
dan d, kecuali pada sub a yang harus diperlukan untuk menjamin negara yang
menolak melakukan ekstradisi warga negaranya, tetap mempunyai kemampuan untuk
melakukan investigasi dan proses menurut hukumnya sendiri.[12]
Tata cara penanganan diatas merupakan contoh
yang pernah dilakukan oleh negara-negara di Eropa sehingga terhadap kejahatan
mayantara yang ruang lingkupnya internasional dapat ditangani dan ditanggulangi
berdasarkan ketentuan yang telah disepakati oleh negara-negara yang membuat
kesepakatan tersebut, hal ini mengingat bahwa penanganan kejahatan (tindak
pidana) pada setiap negara yang berdaulat memiliki kekuasaan yuridiksi
masing-masing yang harus senantiasa dihormati oleh negara lain, sehingga tidak
mudah untuk melakukan penerobosan kedalam yuridiksi negara lain tanpa adanya
perjanjian antar negara.
D.
PENUTUP
Cyber crime menurut sifatnya adalah
kejahatan yang sulit untuk dideteksi dengan pendekatan hukum pidana pada
umumnya karena terjadi pada dunia maya yang perbuatannya sulit dibuktikan
secara nyata, disamping itu kejahatan mayantara (cyber crime) kerap dilakukan oleh orang yang pandai dan ahli
dibidang teknologi dan terkadang menembus batas teritorial suatu negara,
seperti seseorang yang melakukan kejahatannya terhadap sistem komputer di
Indonesia namun sipelaku tersebut berada di luar Indonesia.
Dalam keadaan demikian, maka perlu adanya
penangan secara khusus yang dimulai dari reformasi kebijakan hukum pidana (penal policy) sampai kepada kebijakan
politik dengan negara-negara lain untuk mengantisipasi dan menanggulangi
kejahatan yang ruang lingkupnya internasional. Pemerintah saat ini sudah mulai
melakukan reformasi hukum di bidang teknologi informasi dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik, sehingga secara substansial penyalahgunaan teknologi informasi
telah mulai di kriminalisasi dalam bentuk yang lebih kongkrit.
Dampak yang dialami sekarang dengan
meluasnya kejahatan mayantara telah memaksa adanya suatu sikap dan upaya dari
pemerintah yang lebih serius dalam menanggulangi kejahatan mayantara dengan
beberapa pendekatan sebagai berikut:
1.
Pemerintah
Indonesia harus terus melakukan kerjasama dengan negara-negara lain didunia menyangkut
pencegahan dan penanganan kejahatan mayantara yang melibatkan yuridiksi
internasional
2.
Memperbaiki
sistem hukum pidana di Indonesia terutama menyangkut asas teritorial dalam KUHP
agar dapat lebih fleksibel dalam menjangkau kasus-kasus tindak pidana mayantara
yang berskala internasional;
3.
Memberikan
pendidikan khusus bagi para penegak hukum baik Polisi, Jaksa maupun Hakim
dibidang kejahatan mayantara.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahib dkk. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime),
Refika Aditama Bandung, 2005
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1986
--------------
Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan
Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia, dikutip dari http://andi-hamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan.html,
Rabu 28 Okyober 2009
Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana,
Citra Aditya Bangung, 2003
-------------- Bunga
Rampai Kebijakan Hukum PidanaPerkembangan Penyusunan KUHP baru, Kencana Praneda Media Group, Jakarta,
2008
Engelbrecht, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT internusa Jakarta 1989
Indra
Safitri,
Makalah tentang: Tindak Pidana Dunia
Cyber, Inseden Legal Jurnal Form Indonesian Capital & Invesment
Market; 1999
Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems (London Rautladge &
Kegan Paul 1965
Mas Wigrantoro Roes Setyadi, situs
internet “Seri Pengenalan Cyber Law;
Apa dan Bagaimana? Global Internet Policy Initiative (GIPI)
Mochtar
Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT Alumni Bandung , 2003
Opeinheim-Lauterpacht, International Law, vol. 8, London , 1955
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Elektronika dan
Trasnsaksi Elektronika
[1] Penulis adalah Hakim pada Pengadilan
Negeri Blambangan Umpu
[2] Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems (London
Rautladge & Kegan Paul 1965), hlm: 4-5
[3] Opeinheim,
International Law, vol. 8, hlm: 451
[4] Mochtar
Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, PT Alumni Bandung, hlm: 18
[5] Abdul
Wahib dkk. Kejahatan Mayantara (Cyber
Crime), Refika Aditama Bandung, hlm: 40
[6] Indra
Safitri, Makalah tentang: Tindak Pidana
Dunia Cyber, Inseden Legal Jurnal Form Indonesian Capital & Invesment
Market;
[7] Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bangung, hlm: 259
[8] Andi
Hamzah, Upaya Pencegahan Dan
Penanggulangan Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia, dikutip dari http://andi-hamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan.html,
Rabu 28 Okyober 2009
[9] Mas
Wigrantoro Roes Setyadi, “Seri Pengenalan
Cyber Law; Apa dan Bagaimana? Global
Internet Policy Initiative (GIPI)
[10] Barda
Nawawi Arif, Loc.cit, hlm: 244
[11] Ibid,
hlm: 224