Mengenai Saya

Foto saya
Way Kanan, Lampung, Indonesia
Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu

Kamis, 17 Februari 2011

PIDANA CAMBUK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DI ACEH
D.Y. WITANTO, SH

Propinsi Nanggro Aceh Darussalam berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 1999 memiliki 4 (empat) keistimewaan yang antara lain:
-          Penyelenggaraan Kehidupan beragama,
-          Penyelenggaraan Kehidupan Adat,
-          Penyelenggaraan Pendidikan
-          Peran Ulama dalan penetapan kebijakan Daerah.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang tersebut disebutkan, bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam bagi para pemeluknya, dari momentum itulah kemudian Pemerintah Aceh menindaklanjuti dengan membentuk beberapa Qanun (peraturan setingkat PERDA) yang bertujuan untuk mengimplementasikan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat di bidang Aqidah, Ibadah, Syi’ar dan Jinayat.
Dalam penerapan Hukum Pidana Islam (Jinayat) di Aceh muncul beberapa lembaga hukum baru sebagai pembaharuan dalam sistem Hukum Pidana (Criminal Justice System) yang berlaku di Indonesia, konsep-konsep hukum berdasarkan Ketentuan Al-Qur’an dan Al Hadist yang di kemas menjadi aturan hukum positif mulai menjadi acuan yang konstruktif dalam pembangunan hukum dimasa yang akan datang, Aceh merupakan pemrakarsa pertama yang menerapkan Syariat Islam sebagai hukum posistif di Indonesia. Namun demikian dalam praktiknya tentu tidak terlepas dari berbagai kendala baik secara yuridis normatif maupun implementatif dilapangan, hal ini akan menjadi masa pembelajaran dan penyesuaian yang cukup panjang hingga sampai pada tujuan akhir untuk menciptakan Masyarakat Aceh yang tertib, aman dan tentram sesuai dengan fundamen-fundamen ke-Islaman yang kaffah.
Dalam Sistem Hukum Pidana Islam (jinayat) terdapat beberapa jenis sanksi pidana yang berlaku antara lain: Qishosh, Had, dan Ta’zir. Dari beberapa Qanun Jinayat yang saat ini berlaku diantaranya mulai mencantumkan ancaman hukuman berupa had dan Ta’zir yaitu cambuk dan denda yang dapat kita temukan dalam beberapa Qanun antara lain Qanun Khalwat, Meisir dan Khamer.
Hukuman cambuk (slash punishment) merupakan sebuah lembaga pemidanaan baru dalam sistem hukum pidana positif di Indonesia, yang mana dalam sistem pemidanaan menurut Pasal 10 Wetboek van Straftrecht (diterjemahkan: KUHP) tidak pernah mengenal jenis hukuman cambuk, jilid maupun dera, sehingga menjadi hal yang cukup unik untuk dikaji mengenai proses translasi dari sistem pemidanaan Eropa Continental ke sistem pemidanaan Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam ranah implementatif memang masih banyak terjadi pro dan kontra tentang penerapan hukuman pidana cambuk, baik dikalangan para ahli hukum maupun para praktisi berdasarkan berbagai sudut pandang dan latar belakang pemikiran yang beraneka ragam, namun ditengah wacana dan isu pro dan kontra terhadap proses penegakan Syariat Islam dengan sanksi hukuman cambuk tersebut, antusias masyarakat Aceh dalam penegakan Syariat Islam terus menjadi semangat dan motifasi bagi tegaknya Hukum Pidana Islam yang berbasis pada Al Qur’an dan Al Hadist.
Disatu sisi sebuah aturan hukum harus memiliki daya mengikat yang kuat sebagai dasar bagi pelaksanaan law enforcement, namun disisi lain aturan hukum juga tidak boleh kehilangan jati dirnya sebagai norma yang memiliki nilai kepastian (Recht Zekerheid) sehingga para pencari keadilan tidak menjadi kebingungan dalam menghadapi persoalan hukum, dan tentunya penegakan hukum itu sendiri harus memberikan manfaat yang lebih baik, bagi pelaku tindak pidana secara persoonen maupun bagi pembangunan hukum secara universal.
Penerapan Hukum Pidana Islam di Aceh merupakan sebuah Pilot Project bagi sebuah system hukum pidana di Indonesia, yang sampai saat ini pelaksanaanya masih dalam tahap adaptasi, sehingga perlu adanya suatu penyesuaian-penyesuain dan perbaikan-perbaikan untuk menuju tertib hukum yang lebih baik dan yang tidak kalah pentingya adalah, perlu adanya suatu tolok ukur yang jelas bagi efektifitas penerapan Syariat Islam di Aceh, sehingga segi-segi kemanfaatan hukum dan tujuan hukum sebagai sarana untuk menciptakan masyarakat yang aman dan tertib dapat tercapai dengan baik.
Sistem pemidanaan yang berlaku dalam hukum pidana nasional memang harus kita akui belum dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi pembinaan prilaku, karena ditinjau dari segi efek jera ternyata hukuman penjara tidak begitu menjadi shock terapy bagi para pelaku tindak pidana, hal mana terbukti dengan banyaknya pelaku kejahatan yang telah menjalani hukuman penjara kemudian mengulangi kembali perbuatannya, bahkan banyak yang diantaranya keluar masuk penjara karena sistem pembianaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan ketika menjalani hukuman tidak mampu merubah prilaku para narapidana menjadi lebih baik..
Penerapan hukuman cambuk cukup menjadi harapan dalam memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana, karena dengan dilakukannya eksekusi cambuk dimuka umum diharapkan secara psykologis akan berdampak lebih besar ketimbang hukuman penjara yang pelaksanaannya dilakukan secara ter-isolir di tempat yang tertutup. Selain itu dampak positif yang juga diharapkan adanya efek pencegahan (prefentif power) bagi masyarakat secara luas untuk tidak melakukan perbuatan yang serupa.
Dari beberapa ukuran yang dapat menentukan efektifitas penerapan Syariat Islam, aspek jera dari hukuman cambuk akan menjadi sebuah variable yang cukup significant, sehingga dapat menjadi sarana pembinaan prilaku bagi para terpidana dan dapat mencegah bagi timbulnya inisiatif kejahatan. Dari beberapa pelanggaran Syari’at yang terjadi, hanya beberapa persen saja yang perkaranya dilanjutkan ke pengadilan, hal itu debabkan karena dalam sistem penegakan Syari’at Islam lebih menggunakan pendekan pembinaan, sehingga para Polisi Syari’at (wilayatul hisbah) lebih banyak dibekali pendidikan yang berbasis pembinaan ahlak sedangkan penindakan (law enforcement) merupakan upaya yang bersifat ultimum remidium, artinya tindakan refresif baru dilakukan terhadap pelaku pelanggaran yang telah melewati beberapa proses peringatan atau jika telah melanggar aturan syariat dalam katagori yang berat.
 Selain sulitnya mengejawantahkan unsur-unsur delik dalam rumusan Qanun, para penegak hukum juga harus berhadapan dengan proses implementasi yang rumit dari hukum materiil yang berbasis Al Qur’an kepada hukum acara yang berbasis undang-undang (KUHAP) yang pembentukannya tidak berorientasi pada ketentuan Syariat, sehingga timbul beberapa persoalan pelik ketika KUHAP dijadikan sebagai hukum acara dalam pelaksanaan Penegakan Syari’at yang ada di Aceh.
Itu hanya merupakan salah satu contoh kecil dari banyaknya persoalan hukum yang terjadi dalam penerapan Syariat Islam di Aceh, sehingga memang perlu adanya proses yang panjang dalam mencapai kemapanan hukum melalui pranata-pranata hukum baru yang sesuai dengan sumber-sumber hukum yang melandasinya. Teramat sulit untuk memaksakan KUHAP sebagai hukum acara dalam Peradilan Syari’at, karena ancaman pidana cambuk tidak pernah dikenal dalam sistem pidana nasional.
Ironisnya belum selesai persoalan itu mendapatkan solusi, muncul lagi gagasan-gagasan baru untuk memperluas ruang lingkup Hukum Pidana Islam dengan mencoba merumuskan beberapa tindak pidana yang berlaku nasional dalam bentuk pelanggaran Syariat, misalnya Tindak Pidana Korupsi, dan Ilegal loging dengan menerapkan ancaman pidana cambuk bahkan ada wacana untuk menerapkan pidana ”potong tangan” bagi para koruptor dan pelaku Ilegal loging. Hal ini akan menjadi beban persoalan baru, ketika permasalahan yang ada belum terpecahkan sudah mulai membuat wacana pembaharuan hukum yang jauh lebih rumit.
Fenomena ini mungkin sebagai ekspresi dan espektasi masyarakat Aceh yang begitu antusias untuk menegakan Syariat Islam di wilayah Aceh secara universal,  semangat keIslaman itu terus mendorong agar semua pranata hukum berorientasi kepada hukum agama. Hal ini bisa berimplikasi posistif manakala ada harmonisasi antara sumber hukum yang mendasari pembentukan hukumnya dengan aturan-aturan organik yang menjadi wahana implemetasi di lapangan, karena jika aturan pelaksanaan itu tidak sejalan dengan aturan dasarnya, yang akan timbul justru adalah kesemberawutan didalam tatanan hukum yang ada di Aceh. 
Harus kita akui bahwa proses Islamisasi normatif yang terjadi di Aceh merupakan sebuah revolusi hukum di Indonesia, namun tahapan penyesuaian dengan para pelaku kepentingan di masyarakat tetap akan berjalan secara evolusi karena kesiapan mental dan psikologis dari masyarakat Aceh sendiri tidak begitu serta merta mampu menerima perubahan ini dalam waktu sekejap, maka yang perlu dilakukan oleh para penentu kebijakan di Aceh adalah memberikan sebuah pembekalan dan pemahaman yang memadai tentang makna yuridis, sosiologis dan filosofis dari pemberlakuan hukuman cambuk, agar orang tidak berfikiran bahwa dengan pelaksanaan hukuman cambuk yang dilakukan ditengah-tengah khalayak ramai itu, sebagai  pelanggaran hak asasi manusia.
METODA PENYELESAIAN KONFLIK
DALAM DIMENSI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PESISIR PANTAI SABANG[1]
(Perspektif Dalam Sudut Pandang Sosio-Cultural)
 D.Y. WITANTO, SH [2]



A.     PENDAHULUAN
Sabang terletak di sebuah pulau kecil diantara persimpangan Selat Malaka yang berjarak dua setengah jam dari kutaraja,[3] pulau itu bernama ”Pulau Weh” yang konon menurut hikayat sejarah pernah menjadi tempat pembuangan dan pengasingan para penjahat kelas kakap di jaman Kerajaan Aceh dan pernah menjadi pusat rehabilitasi penyakit jiwa di jaman kolonial Belanda.[4] Secara geografis wilayah Pulau Weh dikelilingi oleh laut dengan struktur garis pantai yang berliku-liku, sehingga pada beberapa tempat terlihat perairan yang menjorok ke darat membentuk sebuah kuala (lhok)[5].
Penduduk Sabang berdasarkan jenis mata pencahariannya termasuk ke dalam golongan penduduk yang heterogen, namun khusus pada wilayah pesisir pantai mulai dari ujong bau[6] sampai dengan ujong sekei[7] menunjukan klasifikasi jenis penduduk yang homogen, yaitu: sebagai nelayan tradisional dan pelaku bisnis-bisnis perikanan. Pola homogenitas dari jenis mata pencaharian tersebut dipengaruhi oleh struktur alam di Pulau Weh yang pada umumnya terdiri dari pantai dan bukit-bukit karang, sehingga tidak begitu cocok untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.
Dalam komunitas masyarakat pesisir terdapat sebuah kearifan lokal (local wisdom) yang menjadi bagian dari identitas budaya (cultural identity) dalam melakukan pola-pola interaksi, baik secara individual maupun komunal, kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam aktifitas kehidupan masyarakat pesisir itu biasa disebut ”Hukom Adat Laot[8] yaitu suatu ketentuan adat tentang segala persoalan kelautan dan bisnis perikanan tradisional. Lembaga Hukom Adat Laot dipimpin dan diketuai oleh seorang pemangku adat yang bernama ”panglima laut”.
Panglima laut adalah seorang pemimpin adat yang dipilih dari seorang pawang laut yang berpengalaman dan menguasai seluk beluk tentang hukum adat yang berlaku di wilayah setempat. Eksistensi panglima laut sebenarnya telah diakui sejak jaman Kesultanan Aceh, bahkan pada masa itu panglima laut merupakan jabatan formal dalam sebuah pemerintahan. Menurut Hoesein Djajadiningrat Panglima Laot adalah “Hoofd eener baai ie hoofd van een gilde van poekat bazen (pawang met toesteming van den oeleebalang ook Panglima Laot genoemd)”[9] yang artinya pemimpin atau ketua dalam sebuah lhok atau kuala yang mengetuai sebuah pukat ikan yang dipilih dari pawang pukat dengan persetujuan pemerintahan pada saat itu.
Hukum adat laut memiliki karakteristik yang mengagumkan karena mengandung nilai-nilai kearifan yang mampu memelihara ketentraman, kerukunan, keseimbangan dan kedamaian hidup.[10] Hukum adat laut mengandung nilai-nilai religius berdasarkan Syariat Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat pesisir. Dalam kaitannya dengan local wisdom, maka keberadaan hukum adat laut sangat berperan dalam membentuk prilaku dan kebiasaan para nelayan ketika melakukan aktifitas kelautan dan proses penyelesaian konflik yang terjadi dilingkungan komunitas adat.
Dalam hal yang berhubungan dengan pemanfaatan laut, konflik kepentingan diantara para nelayan tidak bisa dihindari, terlebih Sabang memiliki 10 (depuluh) wilayah hukum adat laut yang masing-masing memiliki aturan adat yang berbeda-beda, hal itu diakibatkan oleh perbedaan letak geografis dan struktur garis pantai di masing-masing lhok. Dalam hal terjadi konflik dalam komunitas adat, metode penyelesaian yang digunakan oleh para pemangku adat sangat menarik karena menggunakan pendekatan sosio kultural dan kearifan-kearifan para pemangku adat.
Hasil keputusan adat cukup efektif karena hampir semua konflik yang terjadi selalu dapat diselesaikan secara tuntas. Sosok panglima laut begitu berpengaruh dalam menentukan keputusan adat, namun dia tidak menjelma sebagai seorang pemimpin yang otoriter karena setiap keputusan adat yang diambil selalu merupakan hasil musyawarah dengan tokoh-tokoh adat nelayan. Terdapat beberapa indikator kenapa sosok panglima laut sangat dihormati dikalangan para nelayan, salah satu indikator itu adalah karena panglima laut dipilih oleh para nelayan berdasarkan seleksi moral yang sangat panjang, sehingga seorang panglima laut benar-benar adalah orang yang terpilih diantara sekian banyak pawang-pawang laut diwilayah itu.

B.   BENTUK-BENTUK KONFLIK, SANKSI DAN ATURAN ADAT YANG BERLAKU DALAM HUKUM ADAT LAUT
Konflik merupakan konsekwensi dari sebuah interaksi, dalam komunitas adat nelayan di Sabang konflik dibagi menjadi 3 katagori yang antara lain: pelanggaran, sengketa, dan perselisihan ketiga jenis konflik tersebut dibedakan berdasarkan ruang lingkup persoalannya, berdasarkan hasil korespondensi dari para stake holder, maka ketiga katagori konflik tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut:
-        Pelanggaran adalah suatu bentuk tindakan yang telah menyalahi ketentuan yang dilarang atau mengabaikan sesuatu yang diwajibkan oleh hukum adat laut.
-        Sengketa adalah persoalan tentang hak-hak keperdataan adat antara seorang nelayan  dengan nelayan lainnya dalam hal pemanfaatan laut dan bisnis perikanan.
-        Perselisihan adalah persoalan-persoalan lain yang bersifat pertengkaran, pertikaian, perkelahian atau bentuk-bentuk lain yang menimbulkan keresahan dilingkungan para nelayan.
Konflik yang terjadi di kalangan nelayan dapat dipicu oleh banyak hal misalnya ketika melaut mereka sama-sama memperebutkan sekawanan ikan pada saat sedang berpayung[11] atau karena adanya pembagian hareukat[12] yang tidak adil antara pawang,[13] toke bangku[14] dan toke perahu.[15] hal itu sudah menjadi kelaziman dalam situasi keseharian para nelayan, konflik itu terkadang sampai menimbulkan perkelahian dan pertumpahan darah bahkan ada yang melebar menjadi konflik antar kelompok. Selain konflik yang terjadi karena adanya pertentangan kepentingan diantara dua pihak, konflik juga bisa terjadi karena adanya aturan adat yang terlanggar oleh salah seorang anggota nelayan, terhadap pelanggaran tersebut lembaga adat akan memberikan sanksi terhadap si pelanggar berdasarkan jenis dan sifat pelanggarannya.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat sekurang-kurangnya 5 bentuk pantangan adat yang berlaku antara lain:
1.      Pantang melaut pada malam jumat;
2.      Pantang melaut pada hari khandur;,
3.      Pantang penggunaan jenis alat tangkap tertentu seperti pukat harimau, zat kimia dan bahan peledak;
4.      Pantang melaut pada hari musibah laut;
5.      Pantang melaut pada hari-hari besar nelayan.
Selain aturan yang bersifat larangan (pantangan), hukum adat laut juga memiliki aturan yang bersifat keharusan yang biasa dikenal dengan ”adat sosial laut” antara lain berbentuk:
1.      Kewajiban untuk memberikan pertolongan pada nelayan yang sedang mendapat musibah di laut;
2.      Kewajiban untuk melakukan pencarian terhadap nelayan yang hilang/hanyut di laut selama 3 hari penuh
3.      Kewajiban untuk melakukan gotong royong yang diwajibkan oleh lembaga adat
Terhadap bentuk-bentuk pelanggaran diatas lembaga hukum adat laut memiliki beberapa jenis sanksi yang dapat diterapkan terhadap para pelanggar antara lain:
1.      Peringatan/teguran
2.      Kewajiban melaksanakan khanduri
3.      Pelarangan perahu untuk melaut dalam jangka waktu tertentu,
4.      Penarikan hasil tangkapan,
5.      Denda
6.      Perampasan alat tangkap yang membahayakan.
Keistimewaan dari hukum adat bukanlah pada jenis dan bentuk sanksi, namun pada pengaruh terhadap pola prilaku masyarakat, efek psycologis dari sanksi adat jauh lebih besar dibandingkan dengan sanksi dalam hukum formal, sehingga ada dua kecenderungan untuk mengartikan sanksi tersebut dalam hukum adat sebagai suatu rangsangan untuk berbuat atau tidak berbuat.[16]

C. METODE PENYELESAIAN KONFLIK DALAM KOMUNITAS ADAT MASYARAKAT PESISIR
Hukum adat laut yang berlaku di Sabang pada prinsipnya merupakan bentuk perpaduan antara hukum agama (Syariat Islam) dan adat istiadat murni (budaya dan animisme) namun dalam implementasinya Hukum Islam lebih mendominasi dan terus mendesak keberadaan unsur animisme dalam setiap prilaku dan prosesi adat, hal ini disebabkan karena 94,56%[17] penduduk di Sabang adalah pemeluk Agama Islam yang termasuk dalam katagori pemeluk agama yang fanatik. Hukum adat di Sabang dan juga di Aceh pada umumnya merupakan refleksi dari hukum agama,[18] kondisi ini sering digambarkan sebagai bukti dari teory receptio in complexu yang berlaku di Aceh.[19] Proses Islamisasi pada kehidupan adat dapat tercermin dalam beberapa ritual adat seperti ”peusijuk[20] dan ”khanduri[21] dimana tata cara pelaksanaannya telah banyak mengalami persesuaian-persesuaian dengan ajaran Islam, seperti doa dan bahasa pengantarnya telah menggunakan bacaan-bacaan dari ayat-ayat suci Al Qur’an.
Proses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh lembaga hukom adat laot diselenggarakan di sebuah tempat yang biasa dinamakan ”bale pasi[22] yaitu suatu tempat yang berbentuk bangunan panggung tanpa dinding pembatas ruangan. Penyelesaian konflik dilakukan secara ”duek pakat[23] atau musyawarah dengan prosesi yang hampir mirip dengan persidangan pada proses litigasi.[24] Panglima laut selain akan mengundang para pihak yang terlibat konflik juga akan mengundang seluruh pawang-pawang, nelayan dan tokoh-tokoh adat untuk berkumpul guna menyelesaikan permasalahan yang terjadi, jika permasalahan itu dianggap cukup besar, maka akan diundang juga seorang Imeum Meunasah[25] yang biasanya adalah seorang ulama di wilayah setempat.
Waktu penyelesaian sengketa selalu dipilih pada hari Jum’at yaitu mulai dari pagi hari sampai dengan sesaat sebelum Shalat Jum’at, alasan pemilihan hari Jumat sebagai waktu penyelesaian konflik adalah karena dianggap bahwa hari Jumat merupakan hari yang sakral bagi umat Islam. Dalam setiap proses penyelesaian konflik terdapat sebuah semangat bahwa sebelum Adzan Shalat Jumat berbunyi semua permasalahan yang dimusyawarahkan harus sudah selesai, sehingga penyelesaian konflik akan diakhiri dengan Shalat Jumat dan makan-makan bersama.
Walaupun prosedur penyelesaian konflik dalam lembaga adat masih sangat konservatif dan tradisional,[26] namun dalam proses penyelenggaraannya menunjukan beberapa prinsip yang dapat dipandang sangat efektif. Beberapa prinsip tersebut antara lain:
-        Proses penyelesaian dengan menggunakan pendekatan musyawarah mufakat
-        Pengaruh dan kewibawaan para pemangku adat berperan sangat besar dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi;
-        Keputusan adat bersifat final dan hampir selalu tidak ada pengingkaran dari pihak-pihak yang terlibat konflik
-        Penjatuhan sanksi disesuaikan dengan kemampuan si pelanggar sehingga tidak menyengsarakan anak istri dan keluarga si pelanggar.
-        Pelaksanaan keputusan adat dilakukan secara sularela
-        Sengketa dan pertikaian berakhir dengan terjalinnya ikatan persaudaraan dan kekerabatan baru diantara yang bertikai misalnya: antara mereka yang bertikai akan ditetapkan secara adat sebagai saudara angkat.
Sanksi adat yang telah dijatuhkan akan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi si pelanggar, sehingga si pelanggar akan berusaha untuk melaksanakan atau menjalani sanksi itu secara sukarela tanpa harus dipaksa oleh perangkat-perangkat adat. Jika dia tidak melaksanakan sanksi yang telah ditetapkan oleh lembaga adat, maka dia akan ditetapkan sebagai orang yang berkhianat terhadap adat, dan itu akan menimbulkan aib seumur hidup bagi si pelanggar. Perasaan malu dan tanggung jawab yang ditunjukan oleh masyarakat adat dalam melaksanakan sanksi secara sukarela merupakan bentuk kearifan yang sangat berharga, sehingga perlu dikembangakan dan ditularkan kedalam aspek-aspek sosial yang lain secara lebih luas dalam kehidupan masyarakat modern.
Panglima Laut memiliki peranan yang dominan dalam mengarahkan proses penyelesaian konflik, terkadang dia bertindak layaknya seorang mediator, kadang seperti seorang moderator bahkan sesekali dia menunjukan sikap layaknya seorang Hakim ketika harus menjatuhkan keputusan kepada pihak-pihak yang telah melanggar aturan adat yang berlaku.
Dalam konflik yang terjadi antar beberapa wilayah hukum adat, para pemangku adat pada masing-masing wilayah akan bernegosiasi untuk mengambil jalan penyelesaian yang terbaik. Pada setiap akhir penyelesaian akan ditandai dengan penyelenggaraan khanduri, jika konflik itu bersifat besar dan melibatkan masyarakat banyak, maka akan diadakan khanduri kampung (khanduri besar) dengan penyembelihan beberapa ekor lembu dan para nelayan dari dua kelompok yang bertikai akan berbaur bergotong royong dalam penyelenggaraan acara khanduri tersebut. Pada saat pelaksanaan khanduri pasca konflik suasana kerukunan akan terlihat begitu harmonis bahkan tidak terlihat lagi adanya tanda-tanda bahwa mereka pernah bertikai karena semua terlibat dalam suasana meriah prosesi khanduri, inilah yang kemudian menjadi adagium yang berkembang di kalangan masyarakat adat pesisir pantai Sabang bahwa: ”setiap konflik yang terjadi selalu diakhiri dengan makan bersama”.

D.    TITIK SINGGUNG PENEGAKAN HUKUM ANTARA LEMBAGA ADAT DAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM FORMAL
Suatu tindakan yang dipandang sebagai pelanggaran aturan adat terkadang juga termasuk dalam ruang lingkup pelanggaran hukum pidana, misalnya: tindakan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak atau terjadinya perkelahian antar nelayan. Dalam kaitannya dengan persoalan koneksitas pada peristiwa yang dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap dua aturan hukum yang berlaku dalam dua kompetensi yang berbeda, maka antara lembaga adat dan lembaga penegak hukum formal akan melakukan koordinasi tentang proses penegakan hukum yang paling efektif.
Diantara para pemangku adat dan lembaga penegak hukum formal telah terjadi kesepakatan secara tidak tertulis tentang proses penyelesaian persoalan-persoalan yang mencakup dua lingkup kewenangan lembaga hukum tersebut. Kesepakatan itu diletarbelakangi oleh alasan bahwa hukum adat laut masih hidup dan berlaku efektif di lingkungan masyarakat pesisir sehingga lembaga hukum formal tidak punya alasan untuk mengesampingkan eksistensi lembaga adat dalam menyelesaikan persoalan dalam ruang lingkup hukum adat yang berlaku. Selain itu, penyelesaian konflik secara adat dipandang dapat memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan dengan penyelesaian secara hukum positif, sehingga tujuan dari penegakan hukum formal untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat pada hakekatnya telah tercapai dengan sendirinya.
Ada kecenderungan secara implementatif bahwa bagi konflik-konflik yang berskala kecil dan sederhana biasanya penegak hukum formil akan memberikan kesempatan yang luas kepada lembaga adat untuk menyelesaikannya, sedangkan bagi konflik-konflik yang berskala besar dan dapat menimbulkan keresahan di masyarakat yang tidak mampu diselesaikan oleh lembaga adat, maka penegak hukum formil akan mengambil alih penanganannya berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, namun tetap tidak menghilangkan hak bagi lembaga adat untuk tetap menjatuhkan sanksi adat kepada si pelanggar setelah si pelanggar selesai menjalani proses berdasarkan prosedur hukum negara yang berlaku.

E.     PENUTUP
Diantara realita potret penegakan hukum yang semakin menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat dan justitiabelen, ternyata konsep dan nilai-nilai kultural Bangsa Indonesia yang dianggap kuno, konservatif dan ketinggalan jaman justru menunjukan asumsi yang positif karena terbukti memiliki metode penyelesaian konflik yang lebih efektif dibandingkan dengan konsep yang ditawarkan oleh hukum positif, hasil penyelelesaian yang tuntas bahkan mampu menciptakan hubungan kekerabatan baru pasca konflik dalam proses penyelesaian secara adat merupakan suatu kondisi yang kontradiktif dengan metoda penyelesaian konflik secara litigasi, permusuhan dan pertikaian abadi diantara pihak-pihak yang bersengketa hampir selalu tidak bisa dihindari pasca proses penyelesaian konflik secara litigasi, karena penyelesaian yang dihasilkan hanya bersifat formil dan pragmatis.
Kearifan lokal merupakan asset bangsa yang harus dikembangkan karena substansinya memiliki karakteristik yang khas dan asli dari nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia yang tercermin dalam prilaku dan pola hidup masyarakat adat di wilayah tertentu. Semoga dengan tulisan ini kita selalu teringatkan bahwa budaya dan adat istiadat kita memiliki teknik dan cara penyelesaian konflik yang cukup arif dalam menyelesaikan segala persoalan yang terjadi di masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS) dan BAPPEDA Kota Sabang. Sabang Dalam Angka Tahun 2004
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2007
I Gede AB Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
Mia Koning van der veen, Dromen over Sabang, Avanti Zaltbommel, Rhenen, 1991
Muhammad Adli Abdullah dkk, Selama Kearifan Adalah Kekayaan, Lembaga Hukom Adat Laot Aceh/Panglima Laot Aceh dan Yayasan Kehati, Banda Aceh
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologis Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial, Alumni Bandung, 1982
T. Djuned, Pengaruh Hukum Islam Terhadap Pembentukan Hukum Adat, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Banda Aceh
-------------, Panglima Laot dalam Hukum Positif di Indonesia, Makalah dalam acara Duek Pakat Adat laut/Panglima Laot se-Aceh



[1]       Tulisan ini merupakan intisari dari hasil penelitian penulis tentang Hukum Adat Laut di Sabang.

[2]       Penulis adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Blambangan Umpu

[3]     Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2007, hal: 70. ket: Kutaraja merupakan nama penyebutan untuk Banda Aceh pada jaman Kesultanan Aceh, Kutaraja berarti kota tempat berdiamnya raja

[4]       Mia Koning van der veen, Dromen over Sabang, Avanti Zaltbommel, Rhenen, 1991, hal: 104

[5]       Lhok adalah teluk atau kuala yang menjadi daerah atau wilayah penambatan perahu dan pusat aktifitas para nelayan.

[6]       Ujong Bau adalah wilayah terjauh Pulau Weh dimana terletak titik kilometer 0 Indonesia.

[7]       Ujong sekei adalah wilayah yang menghadap ke Pulau Sumatera terletak di samping Pelabuhan Balohan

[8]       Hukom Adat Laot jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya adalah Hukum Adat Laut

[9]       T. Mohd. Juned, Panglima Laot dalam Hukum Positif di Indonesia, dalam acara Duek Pakat Adat laut/Panglima Laot se-Aceh

[10]     Muhammad Adli Abdullah dkk, Selama Kearifan Adalah Kekayaan, Lembaga Hukom Adat Laot Aceh/Panglima Laot Aceh dan Yayasan Kehati, Banda Aceh, hal: 51

[11]     Berpayung adalah kegiatan menebar pukat dilaut, oleh karena biasanya pukat ditebar secara memutar membentuk lingkaran maka terlihat seperti sebuah payung besar.

[12]     Hareukat adalah hak pembagian atas hasil tangkapan ikan menurut hukum adat yang berlaku, pembagian tersebut dihitung berdasarkan besaran prosentase

[13]     Pawang adalah nahkoda kapal atau perahu.

[14]     Toke bangku adalah pemilik modal dalam usaha (bisnis) penangkapan ikan

[15]     Toke perahu adalah pemilik sarana transportasi yang digunakan oleh pawang untuk melakukan aktifitas perikanan.

[16]     Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologis Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial, hal: 20

[17]     Sabang Dalam Angka Tahun 2004 Badan Pusat Statistik (BPS) dan BAPPEDA Kota Sabang.

[18]     T. Djuned, Pengaruh Hukum Islam Terhadap Pembentukan Hukum Adat, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, hal: 263

[19]     I Gede AB Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal: 64

[20]     Istilah “peusijuk” asal katanya adalah sijuk yang berasal dari Bahasa Aceh artinya dingin atau damai, sehingga peusijuk dapat diartikan suatu proses ritual adat untuk mendapatkan suatu suasana yang damai atau tentram. Disebut sebagai proses ritual adat, karena bersumber kepada adat istiadat walaupun dalam pelaksanaannya lebih merupakan suatu acara keagamaan yaitu berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar diberikan suatu kesejukan dan kedamaian terhadap suasana yang baru.

[21]     Khanduri berdasarkan dari beberapa sumber berarti “Syukuran dengan makan-makan bersama” yaitu suatu acara memotong hewan ternak berupa kerbau atau sapi yang dagingnya dibuat gule atau sayur, lalu diundanglah seluruh warga kampung, untuk makan bersama biasanya khanduri dilakukan pasca perdamaian konflik atau dalam hal khanduri laot dilakukan secara rutin dalam rentang waktu tertentu.

[22]     Bale pasi adalah balai tempat para nelayan untuk berkumpul dan bermusyawarah, bale pasi terletak di daerah pesisir pantai yang lokasinya tidak jauh dari areal penambatan perahu, selain sebagai tempat bermusyawarah bale pasi juga biasanya sekaligus berfungsi sebagai meunasah.

[23]     Duek Pakat dalam Bahasa Indonesia artinya: Duek= duduk sedangkan pakat= sepakat, sehingga jika digambungkan, maka akan berarti ”suatu proses duduk bersama untuk mencari sebuah kesepakatan bersama”.

[24]     Dalam proses persidangan adat, panglima laut bertindak seperti seorang hakim pada proses persidangan di pengadilan yaitu sebagai pemimpin persidangan, walaupun dalam hal pengambilan keputusan agak berbeda karena dilakukan berdasarkan musyawarah dengan para tokoh adat dan pawang-pawang.

[25]     Imeum Meunasah adalah seorang imam pada mesjid di daerah setempat yang berasal dari kalangan “teungku” (ulama)

[26]     I Gede AB Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa ke Masa, Op.Cit, hal: 68
PARATE EKSEKUSI vs EKSEKUSI GROSSE AKTA
Dalam Lembaga jaminan Hak Tanggungan

D.Y. Witanto, SH


A.     PENDAHULUAN
Dalam perjanjian kredit sering pihak kreditur berada dalam posisi yang tidak diuntungkan ketika lawan janjinya (debitur) lalai dalam melaksanakan prestasinya (wanprestasi) padahal utangnya telah melewati batas jatuh tempo pembayaran, hal ini disebabkan karena proses untuk mengambil pelunasan melalui penjualan objek jaminan tidak semudah seperti yang kita bayangkan, apalagi jika debitur atau si pemilik jaminan tidak beritikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya, maka akan selalu ada cara untuk dapat menghambat proses pelunasan dengan objek jaminan, baik dengan upaya-upaya yang disediakan menurut prosedur hukum acara perdata,[2] maupun dengan cara-cara lain yang pada akhirnya dimaksudkan agar si kreditur gagal atau tidak berhasil mendapatkan pelunasan dengan objek jaminan miliknya.
Pada asasnya tidak ada kredit yang tidak mengandung jaminan,[3] karena undang-undang telah menentukan bahwa setiap kebendaan milik debitur baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan atas utang-utangnya (ex: Pasal 1131 KUH Perdata), namun meskipun undang-undang telah menentukan demikian bukan berarti bahwa setiap proses pelunasan dengan objek jaminan akan berjalan dengan lancar dan mudah, karena kenyataanya pihak kreditur yang menghadapi persoalan kredit macet (wanprestasi) selalu harus dihadapkan dengan segala macam problem dan masalah dalam upaya mengambil pelunasan piutangnya.
Kreditur pemegang hak kebendaan yang diberikan oleh jaminan hipotik, gadai, hak tanggungan dan fidusia adalah jaminan yang bersifat perbendaan (zakelijk zakerheidsrechten).[4] Para pemegang jaminan kebendaan akan selalu didahulukan dari kreditur-kreditur kongkuren untuk dapat mengambil pelunasan dari objek jaminan milik debitur.  Hak-hak istimewa itu antara lain: hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) dan hak untuk melakukan eksekusi secara grosse dengan menggunakan titel eksekutorial ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang tercantum dalam jaminan-jaminan kebendaan melalui fiat ketua pengadilan negeri berdasarkan Pasal 244 HIR/258 Rbg.
Hak jaminan kebendaan berisi hak untuk pelunasan utang (vehaalsrecht) dan tidak mengandung hak untuk memiliki bendanya (verval beding), kreditur pemegang jaminan diberikan hak oleh undang-undang maupun hak untuk memperjanjikan kuasa untuk menjual sendiri objek jaminan tersebut ketika dikemudian hari debitur wanprestasi.[5] Berdasarkan ketentuan undang-undang, kreditur pemegang jaminan kebendaan, dapat memilih beberapa alternatif pelunanasan piutangnya melalui beberapa cara antara lain:
1.      Dengan cara melakukan penjualan objek jaminan atas kekuasaanya sendiri atau yang kemudian disebut parate eksekusi bagi pemegang jaminan pertama;
2.      Dengan menggunakan titel eksekutorial melalui fiat ketua pengadilan negeri dengan menggunakan ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg tentang eksekusi grosse akta;
3.      Dengan cara penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak untuk mendapatkan harga penjualan yang lebih tinggi;
Beberapa alternatif diatas dapat menjadi pilihan bagi pemegang jaminan kebendaan untuk melunasi hak-hak piutangnya, sejumlah utang pokok dan bunga. Kemudahan yang ditawarkan undang-undang dalam kenyatannya tidak selalu mudah untuk ditempuh, terlebih didalam praktiknya proses pelaksanaan parate eksekusi telah mengalami pergeseran makna, karena dewasa ini penjualan objek jaminan dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi) tidak dapat lagi dipergunakan oleh para kreditur pertama dalam Jaminan Hak Tanggungan dengan alasan bahwa setiap penjualan umum (lelang) terhadap objek jaminan harus melalui fiat ketua pengadilan.[6] Secara logika, jika parate eksekusi masih harus melalui fiat dari ketua pengadilan, maka dimana lagi letak parat-nya sebagai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri? Bukankah parate eksekusi pada prinsipnya merupakan suatu pelaksanaan eksekusi yang disederhanakan tanpa melibatkan pengadilan? Jika dalam parate eksekusi masih harus adanya perintah berdasarkan penetapan ketua pengadilan, maka penjualan tersebut bukan lagi ”atas kekuasaan sendiri” melainkan ”atas kekuasaan pengadilan” sehingga tidak lagi ada bedanya dengan eksekusi grosse akta dan eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT).
Kesemberawutan diatas dilatarbelakangi oleh adanya kekeliruan para pembentuk undang-undang dan lembaga peradilan dalam memahami dua lembaga eksekusi yaitu antara parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta. Pendirian lembaga peradilan (Yurisprudensi) yang kemudian ditindak lanjuti oleh keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan Hak Tanggungan yang telah mencampuradukan antara pengertian parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, hal ini menimbulkan kebingungan pada banyak kalangan terutama para pemegang jaminan (kreditur) yang sebelumnya telah memperjanjikan hak untuk melakukan penjualan objek jaminan atas kekuasaannya sendiri, apalagi dengan dengan adanya pertimbangan Putusan MA-RI Nomor: 3201 K/Pdt/1984 yang menyatakan bahwa penjualan objek jaminan tanpa melalui pengadilan merupakan ”perbuatan melawan hukum”, hal tersebut telah menimbulkan ketakutan bagi para pelaksana lelang untuk menerima permohonan pelelalangan berdasarkan titel parate eksekusi dari para pemegang jaminan pertama. 

B.     PENGATURAN PARATE EKSEKUSI MENURUT UNDANG-UNDANG
Parate eksekusi atau hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri dapat kita temukan dalam beberapa lembaga jaminan kebendaan antara lain:
·          Gadai;
·          Hipotik (yang saat ini hanya berlaku atas benda berg)
·          Hak tanggunganrak selain tanah)
·          Fidusia
Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata mengatur tentang hak parate eksekusi pada lembaga gadai:
”apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka siberpiutang adalah berhak, jika siberutang atau si pemberi gadai bercidera janji setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika telah tidak ditentukan suatu tenggang waktu setelah dilakukannya suatu peringatan, untuk membayar, menyuruh menjual barangnya gadai di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut”
Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata mengatur tentang hak parate eksekusi untuk lembaga hipotik:
”namun diperkenankanlah kepada siberpiutang hipotik pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutang tidak bayar ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan dimuka umum untuk mengambil pelunasan uang pokok maupun bunga serta biaya dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebut dibukukan dalam register-register umum sedangkan penjualan lelang harus dilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam Pasal 1211”
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Jaminan Hak Tanggungan menyebutkan:
”Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”
Pasal 15 Ayat (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia menyebutkan:
”Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”
Kalau kita perhatikan Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata diatas, maka sebenarnya pembentuk undang-undang telah menentukan bahwa setiap pemegang jaminan gadai demi hukum selalu akan memiliki kewenangan parate eksekusi, kecuali jika sejak awal para pihak telah memperjanjikan lain. Artinya sekalipun tidak diperjanjikan, maka dianggap hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri itu selalu turut diperjanjikan. Hal ini dapat kita fahami mengingat pada jaminan gadai objek jaminannya dikuasai oleh si kreditur, sehingga dengan adanya peralihan penguasaan itu (atas objek benda bergerak) sepatutnya si pemegang jaminan memiliki hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri ketika si debitur wanprestasi.
Berbeda dengan prinsip yang diberikan undang-undang terhadap lembaga hipotik undang-undang mensyaratkan agar hak untuk dapat melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri itu dinyatakan secara tegas dalam perjanjiannya. Prinsip ini di ikuti oleh Jaminan Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996. Sedangkan jaminan fidusia memiliki karakteristik yang sama dengan jaminan gadai dimana para pihak tidak perlu memperjanjikan akan ada hak parate eksekusi undang-undang telah secara otomatis memberikan hak tersebut kepada si kreditur.
C.     KONFLIK PENALARAN MENGENAI KLAUSULA ”MENJUAL ATAS KEKUASAAN SENDIRI
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), kita dapat menemukan klausula ”hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri” atau ”beding van eigenmactig verkoop” adalah dari kalimat  ”... maka ia akan diberi kuasa secara mutlak untuk menjual persil yang terikat itu dimuka umum...” dalam Pasal 1178 ayat (2)  KUH Perdata yang mengatur tentang lembaga jaminan hipotik. Ketentuan tersebut diberikan oleh undang-undang kepada pemegang hipotik pertama dalam bentuk sarana/cara pelunasan yang selalu siap ditangan pada waktu ia membutuhkannya, sehingga orang menyebutnya sebagai eksekusi yang selalu siap di tangan atau parate eksekusi.[7] Ketentuan yang maknanya sejenis dengan Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata diatas dapat kita temukan juga dalam Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata yang mengatur tentang jaminan gadai, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Ketentuan hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri dalam jaminan hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, mengalami miss understanding dari pembuat undang-undang karena telah memberikan pengertian yang tidak konsisten dan saling bersinggungan dengan apa yang dimaksud dalam Pasal 224 HIR/258 Rbg tentang eksekusi grosse akta. Hal itu dapat kita lihat pada ketentuan penjelasan atas Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 tahun 1996 pada bagian umum sub 9 dimana terdapat pernyataan yang berbunyi sebagai berikut: ...”dipandang perlu untuk memasukan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini yaitu yang mengatur tentang lembaga parate eksekusi sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 224 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui dan Pasal 258 Reglemen Acara Perdata untuk Daerah Luar jawa dan Madura”. Jika kita telaah penjelasan undang-undang diatas menggambarkan bahwa pembentuk undang-undang tidak memahami perbedaan antara parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, sehingga pembentuk undang-undang menganggap bahwa parate eksekusi tunduk pada ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg padahal parate eksekusi sama sekali tidak berhubungan dengan Pasal 224HIR/258 Rbg. Berbeda dengan apa yang disebutkan dalam penjelasan sub 9 tersebut justru dalam ketentuan Pasal 20 Ayat (1) Bab V dua lembaga eksekusi tersebut dipisahkan secara tegas. Jadi disinilah letak inkonsistensinya karena antara ketentuan dalam batang tubuh Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 dengan ketentuan penjelasannya telah saling bertentangan.
Jauh sebelum adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 memang telah terjadi pencampuradukan pengertian antara lembaga parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, yaitu dengan munculnya Putusan MA-RI Nomor: 3201 K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1986 terhadap sengketa tentang pelaksanaan parate eksekusi yang dilakukan oleh kreditur pemegang hipotik, dalam putusannya MA-RI memberikan perimbangan bahwa penjualan lelang (parete eksekusi) tersebut sebagai perbuatan melawan hukum,[8] sehingga Sutardjo dalam makalahnya yang berjudul ”Penyelesaian Kredit macet Melalui Lelang” pernah menyebutkan bahwa: ketentuan Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata telah dilumpuhkan oleh Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3201/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986.[9]
Riwayat pendirian pengadilan menyangkut penjualan lelang melalui hak parate eksekusi berawal dari masuknya gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung yang mana atas gugatan tersebut PN Bandung menjatuhkan putusan tertanggal 20 Mei 1980 No. 425/1979/G/Bdg yang amar putusannya antara lain:
menyatakan bahwa tindakan perbuatan Tergugat I dan II dengan perantaraan Tergugat III melelang umum tanah dan bangunan setempat terkenal dengan nama ”shoping center kandaga” pada hari Senin Tanggal 10 Desember 1979, tanpa melalui Ketua Pengadilan Negeri Klas I Bandung adalah merupakan perbuatan yang melawan hukum.[10]
Pada tingkat banding atas permohonan Tergugat telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dengan putusannya tanggal 17 November 1981 No. 76/1981/Perd/Pt.B yang amar putusannya dalam pokok perkara antara lain:
Menyatakan bahwa pembelian lelang yang dilaksanakan Terbanding, semula Tergugat IV dalam konvensi, Penggugat IV dalam rekonvensi untuk sebagian dengan perantaraan Kantor Lelang Negara Bandung atas persil serta bangunan pertokoan sebagaimana terurai dalam risalah lelang tanggal 10 Desember 1979 No. 184 adalah sah menurut hukum.[11]
Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung memberikan pertimbangan pada intinya sebagai berikut:
a.       bahwa berdasarkan Pasal 224 HIR pelaksanaan pelelangan sebagai akibat adanya Groose Akta Hipotik dengan memakai kepala ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan hukum sama dengan suatu putusan pengadilan, seharusnya dilaksanakan atas perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri apabilan ternyata tidak terdapat perdamaian pelaksana
b.      bahwa ternyata di dalam perkara ini, pelaksanaan pelelangan tidak atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Bandung, tetapi dilaksanakan sendiri oleh Kepala kantor Lelang Negara Bandung atas perintah Tergugat asal I (Bank Kreditur), oleh karenanya, maka lelang tersebut adalah bertentangan dengan Pasal 224 HIR sehingga pelelangan tersebut adalah tidak sah.
c.       Bahwa dengan demikian, maka para Tergugat asal (Bank Kreditur-Kantor Lelang Negara dan pembeli lelang) telah melakukan perbuatan melawan hukum.[12]
Kesesatan dalam memahami pengertian parate eksekusi pernah disampaikan juga oleh Budi Harsono dalam sebuah seminar dengan menyatakan bahwa ”bagi kreditor pemegang hipotik atas tanah, hukum menyediakan 2 (dua) kemudahan dalam melaksanakan eksekusi jika debitur cidera janji. Tanpa harus melalui pengajuan gugatan perdata biasa menurut Pasal 224 HIR kreditor dapat minta kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk diadakan apa yang disebt parate eksekusi”.[13] Memang benar bahwa jaminan hipotik/hak tanggungan memiliki dua lembaga eksekusi yaitu eksekusi grosse akte dan parate eksekusi berdasarkan hak yang telah diperjanjiakan antara kreditur dan debitur bahwa kreditur diberikan hak untuk menjual objek jaminan dalam kekuasaanya sendiri. Namun walaupun kedua lembaga tersebut melekat pada satu kreditur karena kebetulan sebagai pemegang hipotik/hak tanggungan pertama, secara substansial dua lembaga tersebut jelas sangat berbeda karena hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) tidak tunduk pada Pasal 224 HIR/258 Rbg.
Beberapa kesimpangsiuran ini bukan hanya membuat para pemegang jaminan hak tanggungan menjadi kebingungan, namun juga telah membuat para petugas pelaksana lelang menjadi ragu untuk melaksanakan penjualan umum atas objek jaminan yang tidak melalui fiat ketua pengadilan negeri dan akibatnya para petugas kantor lelang selalu menolak pengajuan penjualan umum yang dimintakan tanpa adanya penetapan dari ketua pengadilan,[14] dengan alasan khawatir jika dikemudian hari penjualan lelangnya dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, hal ini jelas akan mempersulit kreditur pemegang jaminan pertama untuk melakukan pelunasannya secara secerhana dan mudah.
D.    PARATE EKSEKUSI DAN TITEL EKSEKUTORIAL
Titel eksekutorial yang berbunyi ”DEMI KETUHANAN YANG MAHA ESA” memang merupakan simbol bahwa suatu dokumen atau naskah memiliki kekuatan eksekusi (pelaksanaan secara paksa) dengan bantuan alat negara. Dokumen atau naskah tersebut bisa dalam bentuk putusan pengadilan, grosse akta hipotik, sertifikat hak tanggungan, sertifikat fidusia, surat paksa yang dikeluarkan oleh PUPN maupun grosse akta pengakuan utang. Atas adanya titel eksekutorial tersebut si pemegangnya dapat mengajukan permohonan pelaksanaan secara paksa kepada pengadilan dan pengadilan akan melaksanakannya melalui prosedur eksekusi.
Ada anggapan bahwa parate eksekusi dijalankan berdasarkan titel eksekutorial yang tercantum dalam grosse akta hipotik atau sertifikat hak tanggungan/fidusia,[15] padahal kekuatan untuk melaksanakan parate eksekusi bukan didasarkan atas suatu titel eksekutorial melainkan didasarkan atas kuasa mutlak yang diberikan oleh si pemberi jaminan (debitur) kepada si pemegang jaminan (kreditur) dalam bentuk mandat.[16] Sebagai bukti sederhana adalah pada jaminan gadai, meskipun pada jaminan gadai tanpa adanya titel eksekutorial namun pemegang jaminan tetap dapat melakukan parate eksekusi jika batas waktu penebusan telah terlewati, sehingga ada atau tidaknya titel eksekutorial sama sekali tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya kewenangan kreditur pemegang jaminan pertama untuk melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri.
Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan maupun Undang-Undang Fidusia pada bab yang mengatur tentang eksekusi telah dirumuskan secara terpisah antara eksekusi dengan menggunakan titel eksekutorial dengan parate eksekusi berdasarkan hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri. Jadi sebenarnya aturan hukum yang ada sudah cukup jelas walaupun disatu sisi dan lainnya terdapat kesimpangsiuran pengertian antara parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, sehingga keragu-raguan selama ini karena adanya pendapat bahwa pelaksanaan penjualan umum objek jaminan tanpa fiat ketua pengadilan adalah suatu perbuatan melawan hukum sudah mulai dijawab dengan keluarnya beberapa Surat Edaran Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) No. SE-21/PN/1998 jo SE-23/PN/2000/ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, maka lembaga parate eksekusi seharusnya dapat dihidupkan kembali untuk membantu para kreditor dalam mengatasi masalah kredit macet di dunia perbankan.

DAFTAR PUSTAKA
J. Satrio, Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, cet ke-5 Intermasa, Jakarta, 1986.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda cet ke-4, Liberty, Yogyakarta, 1981.
Yahya Harahap, Kedudukan Grosse Akte Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Media Notariat no: 8-9 tahun III Oktober 1988.
J Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan Buku I, Citra Aditya Bakti Bandung, 1997, hal: 224, lihat juga J. Satrio Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bandung, 1993.
H.P. Panggabean, Himpunan Keputusan MA-RI mengenai Perjanjian Kredit Perbankan jilid I.
Sutardjo, Penyelesaian Kredit Macet Melalui Lelang, Makalah Dalam Panel Diskusi UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Tantangan dan Pelaksanaannya
Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Objek Hak Tanggungan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2007.


Sumber: Varia Peradilan Bulan September 2010